Ikan Terubuk: di Persimpangan Jalan Melawan Punah
“…Mula dikarang syair Ikan Terubuk//
Lalai memandang ikan di lubuk//
Hati dan jantung bagai serbuk//
Laksana kayu dimakan bubuk//…”
–Syair Ikan Terubuk
Bicara mengenai bagaimana peran dari ikan terubuk sehingga dijadikan sebagai ikon dari salah satu kabupaten terkaya di Indonesia (Bengkalis) tentu perlu mengkaji bagaimana keberadaan ikan terubuk dan perannya sebagai komoditas dagang pada masa silam. Sayangnya, tak banyak sumber yang bisa ditemukan secara bebas untuk mengkaji kedua hal tersebut. Salah satu sumber yang paling terkenal adalah Syair Ikan Terubuk. Syair yang bersumber dari sastra lisan masyarakat ini tidak diketahui persis kapan mulai beredarnya dan siapa yang menciptakannya.
Namun, sebagaimana kebanyakan sumber yang berakar pada tradisi lisan, keterkaitan yang kuat antara mitos dan beberapa kearifan lokal yang, jika dikaji menggunakan akal sehat, membuatnya tidak bisa dijadikan sebagai rujukan sejarah. Tersebab syair yang penuh kias dan majas tersebut lebih mendekatkannya terhadap mitos ketimbang sejarah. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa, meskipun sama-sama bercerita mengenai masa lalu, mitos memiliki perbedaan dengan sejarah. Mitos yang dalam bahasa Yunani mytos, dapat diartikan sebagai sebuah dongeng. Mitos sendiri bisa disebut sebagai sejarah cacat sebab tidak memiliki waktu yang jelas, dan ceritanya cenderung tidak masuk akal bagi orang masa kini. Biasanya mitos dimulai dengan frasa “Kata yang empunya cerita“, atau “Kata sahibul hikayat“. Ia mempunyai kegunaan sendiri namun mitos bukanlah sejarah. Mitos bersama dengan nyanyian, mantra, syair, dan pepatah yang termasuk tradisi lisan.
Meskipun demikian, keberadaan mitos yang berkembang tidak serta-merta langsung dimasukkan dalam “tong sampah” dan tidak diterima sama sekali dalam ilmu sejarah. Mengingat lazimnya budaya Melayu yang menyukai syair dan pantun, baik untuk nasihat maupun kegunaan lainnya, pada abad ke-19 hingga abad 20, pemakaian bentuk syair dan hikayat juga digunakan untuk mengisahkan perjuangan atau kisah epos yang diwariskan turun-temurun.
Penyajian syair dan pantun tersebut bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan, dan tersaji secara naratif yang dalam bahasa lain disebut sebagai karya sastra sejarah yang oleh A. Teeuw disebutkan bersifat ganda, yaitu bersifat sastra dan bersifat sejarah. Jika ditinjau dari sudut (pandang) sastra, sebuah karya sastra sejarah termasuk salah satu jenis sastra, yaitu karya sastra yang bernilai sejarah yang umumnya bahannya diambil dari sejarah.
Kondisi (keterpaksaan) ini dilatarbelakangi oleh kelangkaan sumber sejarah yang berasal dari kalangan orang Indonesia, sehingga mendorong para sejarawan Barat untuk menggunakan karya sastra sejarah sebagai sumber bagi penulisan sejarah Indonesia, yang barang tentu menghilangkan unsur khayalan yang kental (menurut alam pikiran Barat yang terkandung dalam karya sastra sejarah)—seperti tercermin dalam cerita legenda, mitologi, hagiografi, simbolisme—menimbulkan kesangsian dan bahkan penolakan penggunaannya sebagai sumber sejarah.
Meskipun dengan segala keterbatasan sumber, bukan tidak ada jurnal lama yang dianggap lebih akurat dan menggambarkan bagaimana pengaruh dari terubuk sebagai komoditas dagang masa silam terhadap devisa Bengkalis, yang ketika itu berada di bawah Kerajaan Siak. Sebut saja J.S.G. Gramberg (1986) yang dalam jurnalnya menyebutkan bahwa industri perikanan terubuk merupakan salah satu cabang usaha terbesar di Bengkalis, Bukit Batu, dan Kelapa Pati. Menurut catatannya, setidaknya terdapat sekitar tiga ratus kapal yang berlayar sebanyak delapan belas kali dalam setahun untuk mengangkap ikan tersebut. Adapun kemudian komoditas favorit adalah telur terubuk asin sebagai pengiring beras. Bahkan, pada tahun 1862, jumlah ekspor tersebut sejumlah 185.000 terubuk kering, yang mana, menurut Gramberg kembali, dari penjualan terubuk tersebut, Kerajaan Siak beroleh keuntungan 72.000 gulden. Dengan demikian, kegiatan ekspor ikan terubuk yang terpusat di Bengkalis sukses menjadikan Kerajaan Siak sebagai daerah hinterland yang mempunyai komoditi penting berupa hasil laut seperti ikan terubuk dan telurnya—yang mendapat julukan caviar dari Sumatra—di wilayah lautan dan pulau-pulau sepanjang Selat Malaka.
Dari sumber lainnya, berdasarkan hasil penelitian dari Muchtar Ahmad, pada periodisasi penelitian selama bulan Oktober 1996 sampai dengan September 1998, produksi ikan terubuk di Bengkalis berkisar antara 0,5-10 ton atau sekitar 4-37 ribu ekor perbulan dengan nilai sebesar 3,6-175 juta rupiah dengan laju tangkap bulanan berkisar antara 1-95 ekor/trip atau hanya 0,5-11 kg/trip.
Dampak dari nilai jual terubuk yang tinggi dan statusnya sebagai komoditas perikanan primadona tersebut membuat aktivitas penangkapan berbanding lurus dengan harganya. Dari tahun ke tahun aktivitas penangkapan mengalami peningkatan hingga mencapai yang dalam bahasa ekologi dikenal dengan maximum sustainable yield (MSY) yang berarti pada titik maksimum ikan dapat memberikan manfaat bersih ekonomi atau keuntungan bagi masyarakat). Jika melewati batas MSY tersebut, terjadi penurunan hasil tangkap, yang berarti, keberadaan populasi terubuk itu di alam semakin terancam. Sayangnya, penelitian mengenai MSY ikan terubuk di Riau belum ada dilakukan, sehingga pengurangan populasi diketahui hanya berdasarkan perbandingan penangkapan dari tahun ke tahun, serta dari informasi yang diperoleh masyarakat.
Oleh Barnard (2003), gejala penurunan populasi ikan terubuk mulai dirasakan oleh nelayan sejak tahun 1874. Tingginya tekanan penangkapan terhadap ikan betina dewasa dalam keadaan matang telur diperkirakan telah mempengaruhi proses rekruitmennya. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, yang bernilai ekonomis tinggi pada hewan ini bukan pada ikannya itu sendiri, melainkan telurnya.
Kondisi penurunan tangkap ini kemudian menginspirasi pihak terkait untuk kemudian mengisiasi perlindungan populasi ikan terubuk yang diawali oleh Peraturan Bupati Bengkalis No. 15 tahun 2010 tentang Kawasan Suaka Terubuk di Bengkalis, yang kemudian berlanjut pada penetapan perlindungan terbatas ikan terubuk melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor. 59 tahun 2011 Tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Jenis Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) di Selat Bengkalis. Secara paralel, pada tahun 2012 lahir Peraturan Gubernur Riau No. 78 Tahun 2012 tentang Suaka Perikanan Terubuk (Tenualosa macrura) di Provinsi Riau.
Penetapan peraturan ini (Kepmen KP nomor 59 tahun 2011) ini terbatas pada aktivitas penangkapan dan hanya di sekitar Selat Bengkalis pada empat hari bulan gelap (tanggal 28, 29, 30, dan 1), serta empat hari bulan terang (tanggal 13, 14, 15, dan 16) pada kalender Hijriyah sepanjang bulan Agustus sampai dengan bulan November setiap tahunnya.
Namun penetapan Kepmen KP ini memiliki ketidaksesuaian dengan kondisi di lapangan, yang mana antara penanggalan Hijriah dan Masehi terdapat setidaknya selisih 11 hari per tahunnya. Sehingga tentu terjadi pergeseran musim larangan. Menyikapi hal tersebut, maka BPSPL Padang melakukan pendataan pemanfaatan ikan terubuk di sekitaran perairan Selat Bengkalis dari tahun 2016 hingga sekarang, dan dari tren data tersebut, diperoleh informasi (baik sumber tabulasi data maupun informasi lisan) bahwa terdapat ketidaksamaan informasi. Berangkat dari hal tersebut, kemudian lahirlah Kepmen KP nomor 210 tahun 2023 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Terubuk (Tenualosa macrura). Adapun pada Kepmen yang baru ini terjadi pembaharuan waktu dan lokasi (terlampir pada gambar). Pelarangan penangkapan pada aturan terbaru adalah pada empat hari bulan gelap (tanggal 28, 29, 30, dan 1), serta empat hari bulan terang (tanggal 13, 14, 15, dan 16) setiap bulan Syawal hingga Muharram, setiap tahunnya.
Pada data lainnya, tekanan penangkapan pada terubuk cenderung sangat besar, di mana tekanan penangkapan diterjemahkan dalam sebuah bahasa matematis berupa Spawning Potential Ratio (SPR), yang bermakna, peluang atau kemungkinan ikan untuk bisa memijah. Semakin kecil nilainya, maka kecil juga kemungkinan ikan bisa memijah yang berarti salah satu faktor utama (meskipun tidak selalu) adalah adanya aktivitas penangkapan. Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, pada tahun 2022, Nilai SPR sumber daya ikan terubuk di Selat Bengkalis sebesar 24% yang berarti, hanya sekitar 24% terubuk muda mampu menjadi dewasa dan memijah. Atau dalam bahasa lain, menunjukkan bahwa perikanan terubuk di Selat Bengkalis dalam kondisi tangkap berlebih (over exploited). Jika dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin suatu saat anak-cucu kita hanya mengenal terubuk Bengkalis hanya dari gambar dan cerita saja.
Meskipun sudah berstatus dilindungi secara terbatas, fakta di lapangan masih menunjukkan populasi terubuk masih sedikit. Sudah pernah dilakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat mengenai status perlindungan ikan terubuk, dan menunjukkan bahwa masyarakat paham dan mengetahui mengenai status perlindungan ikan terubuk. Ironisnya, meski mengetahui mengenai status perlindungan tersebut, aktivitas penangkapan masih saja dilakukan pada musim-musim pelarangan yang merujuk pada regulasi yang ada.
Asnizar misalnya. Pria yang berprofesi sebagai seorang nelayan ini sudah melakoni penangkapan terubuk semenjak ia muda. Menurut pengakuannya, tahun ini ia sudah berumur menjelang 60 tahun, berarti ia sudah menangkap ikan terubuk berpuluh tahun lamanya.
“Dari zaman datuk (kakek), datuknya, datuknya, datuknya sayo (saya), sudah menangkap ikan terubuk,” ujarnya dengan nada amarah.
Tidak hanya Asnizar. Rata-rata nelayan di perairan Selat Bengkalis hingga saat ini masih menangkap ikan terubuk pada saat musim larangan. Mereka beralasan bahwa terubuk tersebut tertangkap secara tidak sengaja oleh mereka.
Kamaruddin misalnya. Ketika dijumpai pada saat patroli, ia tertangkap tangan sedang menggulung jaring dengan mesh size 3 inchi. Di dalam boks esnya tersimpan ikan terubuk, beberapa lagi masih tersangkut pada jaringnya.
“Macam manolah, Pak. Kami nak bentang jaghing, bukan nak nangkap terubuk, tapi dio masuk jugo ke dalam jaghing tu. Tak dapat di akal pulo kami nak ngalaunya do. Bagaimana lagi, Pak. Kami mau bentang jaring, bukan mau menangkap terubuk, tapi dia masuk juga ke dalam jaring itu, Tak dapat di akal pula kami hendak menghalaunya,” jawabnya dengan logat Melayu Bengkalis yang kental.
Ketika dijelaskan mengenai pentingnya menyelamatkan terubuk ketika memasuki fase memijah, ia kembali berujar, “Sebenarnya gampang, Pak. Bapak kasih kami makan ketika tidak sedang melaut. Kami berhenti menangkap terubuk.”
Sontak jawaban lugu dan spontan tersebut mampu membungkam petugas. Memang diakui bahwa upaya pelarangan penangkapan terubuk selama ini masih bersifat persuasif dan belum menyentuh ranah pidana karena petugas tersebut juga menyadari bahwa untuk melarang penangkapan terubuk tersebut harus diiringi dengan pemberian mata pencaharian alternatif. Namun kembali lagi, proses pengkajian tersebut tentu bukan pula persoalan gampang, karena ketika bicara anggaran negara, maka harus tepat sasaran agar tidak terjadi penyelewengan.
Alhasil, proses pengkajian yang membutuhkan waktu tersebut upaya pengawasan tetap harus dilaksanakan secara paralel—yang selalu mendapat tentangan dari masyarakat.
Jika dianalogikan, saat ini terubuk tengah berada di persimpangan jalan, antara lestari dan punah. Kondisi demikian tentu menyiratkan tanda tanya besar dan agaknya perlu direnungkan kembali bersama-sama; “Apakah memang terubuk sepenting itu? Quo vadis?”***
Sumber:
Barnard, T.P. 2003. Multiple Centre of Authority; Society and Environment in Siak and Eastern Sumatra 1674-1817 in Verhandelingan van Het Koninklijk Institut voo Taal, Land, an Volkenkunde 210. Leiden: KITLV
Blaber, S. J. M., Brewer, D. T., Milton, D. A., Merta, G. S.,Efison, D., Fry, G., & van der Velde, T. (1999). The Life History of the Protandrous Tropical Shad Tenualosa macrura (Alosinae : Clupeidae) : Fishery Implications. Estuarine, Coastal and Shelft Science, 49, 689 – 701.
Gramberg, J.S.G. 1864. Reis Naar Siak. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. Uitgegeven Door Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Deel XIII; Batavia. Hal 509
Gramberg. J.S.G. 1877. De Troboek Visscherij. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. Uitgegeven Door Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Deel XIV; Batavia. Hal 300
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor. 59 tahun 2011 Tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Jenis Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) di Selat Bengkalis jo Kepmen KP nomor 210 tahun 2023 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Terubuk (Tenualosa macrura).
Laporan Pendataan Terubuk Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang Tahun Anggaran 2022
Tanggapan