Permasalahan Pekerja Migran, Permasalahan Laut Kita

Selamat Hari Migran dan Hari Pekerja Migran Sedunia!

Apakah pekerja migran Indonesia sudah sejahtera?

Apakah permasalahan pekerja migran berkaitan dengan permasalahan lingkungan dan lautan kita?

Akhir November lalu, saya diberi kesempatan untuk mengunjungi sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah.

Di kota ini, dua mantan anak buah kapal (ABK) sempat berbagi cerita terkait pengalaman mereka bekerja di atas kapal asing yang beroperasi jauh dari wilayah perairan Indonesia (disebut juga perikanan jarak jauh).

Mereka adalah S (31 tahun) dan SI (22 tahun). Keduanya bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan, namun kapal S beroperasi di wilayah perairan Mauritius sedangkan kapal SI beroperasi di wilayah perairan Iran.

Beranjak ke kota lain yang masih berada di provinsi yang sama, saya kemudian bertemu dengan P (22 tahun). Sama seperti SI, P juga bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan yang beroperasi di wilayah perairan Iran.

Ketiganya memiliki pengalaman yang menarik, meskipun miris.

Dikatakan miris sebab meskipun saat ini kita sudah memiliki payung hukum perlindungan nasional bagi pekerja migran (termasuk ABK) yakni Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran No. 18 Tahun 2017 (UU PPMI), apa yang terjadi pada S, SI maupun P tidak sesuai dengan amanat undang-undang tersebut.

Baik S, SI maupun P tidak terdaftar sebagai anggota BPJS Ketenagakerjaan meskipun hal ini diwajibkan, hanya memegang perjanjian kerja laut (PKL) ketika bekerja di atas kapal sedangkan paspornya ditahan oleh Perusahaan Taiwan.

Padahal seharusnya mereka memegang seluruh dokumen perjalanan, dan ketika kembali ke Indonesia masih ada hak-hak yang belum terpenuhi (gaji maupun asuransi) serta tidak diberikan edukasi keuangan maupun kewirausahaan apapun.

SI maupun P bahkan berulang kali dipindahkan dari satu kapal ke kapal lain yang tidak sesuai dengan PKL yang mereka tandatangani (secara hukum, hal ini melanggar syarat sah perjanjian).

Temuan terkait sertifikat kompetensi kerja (lebih dikenal dengan sebutan basic safety training atau BST), justru lebih unik lagi.

Menurut UU PPMI, BST merupakan salah satu dokumen yang harus dilengkapi oleh pekerja migran (termasuk ABK) dan hanya dapat diperoleh setelah mendapatkan pendidikan dan pelatihan kerja.

S mengaku, perusahaan penempatannya mengatakan ia tidak memerlukan BST sama sekali lantaran ia sudah sering berlayar menangkap ikan.

Tidak ada BST berarti tidak ada pendidikan dan pelatihan sebelum keberangkatan. Lain dengan S, P menyatakan bahwa BST-nya diurus secara penuh oleh perusahaan penempatan namun ia juga tidak diberikan pendidikan dan pelatihan.

Hanya SI sajalah yang mengurus BST sendiri secara resmi dan mendapatkan pendidikan dan pelatihan selama sepuluh hari.

Dalam praktik perikanan jarak jauh yang mengeksploitasi sumber daya manusia, kerap terjadi perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU).

Praktik perikanan seperti ini mengancam kehidupan ekosistem laut. Praktik perikanan seperti ini juga mengancam kehidupan para ABK sebagai pekerja migran lantaran memunculkan perbudakan modern di laut.

Dengan demikian, permasalahan kemanusiaan dalam perbudakan modern di laut berkaitan dengan permasalahan lingkungan. Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu mengenai keterkaitan keduanya.

Mari meningkatkan kesadartahuan diri sendiri dan masyarakat terkait perbudakan modern di laut, karena menyelesaikan suatu masalah dimulai dari mengakui adanya masalah tersebut.

Jika kita merawat laut, sesungguhnya kita merawat sesama.

Sekali lagi, Selamat Hari Migran dan Pekerja Migran Sedunia.

Semoga tidak ada lagi pekerja migran yang diperbudak di laut kita.

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan

  1. Dari tulisan ini terkuak paling tidak 3 hal, 1) kenyataan masih memprihatinkannya pekerja/buruh kita yang bekerja di laut, 2) belum adanya perlindungan hukum yang kuat, termasuk upaya untuk menyampaikan aspirasi para buruh yang tidak bisa menyeuarakan hak-haknya untuk diperjuangkan dan 3) belum adanya mekanisme yang pasti untuk memonitor kondisi mereka

    Saran, perlu upaya melaporkan temuan-temuan seperti ini dengan didukung data yang kuat, obyektif dan tak terbantahkan kepada pemegang regulasi atau pemerintah untuk ditindaklanjuti dengan upaya yang lebih konkrit

    FYI : Foto-fofonya banyak bernuansa hijau…sesuai dengan organisasinya, Greenpeace