Menggali Kuburan Sendiri (Melacak Ancaman Tenggelamnya Pulau Kecil Gili Ketapang)
Tak seperti biasa, 8 Oktober 2021 akun instagram saya mendapatkan notifikasi permintaan pesan. Perasaan berkecamuk bukanlah tanpa alasan.
Hanya saja khawatir teman lama tak bersua berencana menawarkan MLM dengan iming-iming keuntungan. Ataupun berniat meminjam uang tetapi tidak berminat mengembalikan.
Akhirnya keraguan segera musnah tatkala perlahan isi DM (direct message) terpampang jelas. Tampaknya beberapa orang mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi dari salah satu perguruan tinggi di Kota Malang berada di belakangnya.
Ia bersama rekan seperjuangan berusaha meminta saya menjadi narasumber. Mereka hendak menggali pengetahuan terkait konservasi perikanan dan lautan yang pernah saya dapatkan selama duduk di bangku kuliah. Untuk sebuah proyek film dokumenter berkenaan sebuah pulau mungil di sisi utara Probolinggo, Jawa Timur, yakni Gili Ketapang.
‘Bukan’ Tempat Wisata
Namanya memang bukan termasuk pilihan wisata prioritas di Indonesia. Kepopulerannya tentu kalah jauh apabila dibandingkan dengan gili-gili lain khususnya di Pulau Lombok.
Namun siapa sangka bahwa Gili Ketapang sempat menjadi perbincangan. Terutama semenjak Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 mengunjunginya pada pertengahan tahun 2018 silam.
“Kalau ke sini jangan hanya berlibur, tetapi juga harus menjaga keindahan laut”, harapnya ketika melihat sampah berserakan di sepanjang pesisir Gili Ketapang.
Hal ini sejenak mengembalikan memori saya pada kunjungan pertama kali di beberapa bulan sebelum beliau tiba (Januari 2018).
Pemandangan air laut jernih dengan degradasi biru ternyata gagal menyamarkan beragam jenis sampah mengapung yang mencolok.
Gili Ketapang sendiri berstatus sebagai salah satu pulau kecil yang ada di Indonesia. Bahkan konon katanya, pulau yang dihuni mayoritas masyarakat beretnis Madura ini termasuk pulau terpadat sejajar dengan Pulau Bungin di Sumbawa.
Selain menyajikan keindahan warna air laut yang kontras dibandingkan air laut khas pesisir Pantura (Pantai Utara Jawa) pada umumnya. Ia juga memiliki keberagaman penghuni bawah laut yang terdiri dari terumbu karang beserta spesies biota laut lainnya. Hal inilah yang menjadi penyebab utama Gili Ketapang cukup menyita perhatian pelancong.
Ironis, faktanya Gili Ketapang tidak begitu benar-benar dialihfungsikan menjadi pulau wisata. Sebab masyarakat setempat sempat menolak proyek wisata di wilayah mereka tinggal karena isu relokasi.
Seperti yang tertuang pada penelitian Yassar dkk. (2017), 20% masyarakat Gili Ketapang tidak mendukung diberlakukannya konsep wisata. Namun, berkat kepiawaian serta kegigihan para pemuda lokal diantaranya ialah Lailul Marom dan Khunin. Sejak tahun 2017, masyarakat sudah banyak yang berlapang dada menerima proyek wisata bahari disana.
“Jumlah wisatawan yang menikmati keindahan pulau hampir 1000 orang setiap harinya”, kata Suparyono, Kepala Desa Gili Ketapang.
Angka ini terus melonjak selama masa liburan dan tentunya berkat bantuan media sosial yang membawa kabar berita. Sehingga semakin hari Gili Ketapang memantapkan diri untuk bertransformasi menjadi primadona kawasan wisata.
Apabila sebelumnya 95% warga Gili Ketapang mendulang rupiah dengan bekerja sebagai nelayan. Kali ini banyak dari mereka yang berpindah jalur bisnis ke arah jasa kepariwisataan.
Mulai dari menjadi tour guide, menyediakan peralatan snorkeling dan selam, maupun menyewakan fasilitas penunjang wisata lainnya.
Masalah Bertambah, Alam Merana
Pemasukan dari sektor kepariwisataan memang sangatlah menjanjikan. Tak mengherankan apabila pemerintah terus menggenjotnya seiring dengan pertambahan tahun.
Sayangnya, di balik keuntungan berlipat ganda, ada pula imbas negatif yang harus lebih banyak dituai. Seperti halnya yang terjadi di Gili Ketapang, keindahan alam yang diperlihatkan tak bisa menutup risiko kehancuran lingkungan yang ada di depan mata.
“Ikan nemo sudah jarang,” ujar salah satu operator wisata.
Padahal ikan nemo atau ikan badut (clown fish) menjadi salah satu tujuan spot foto yang menarik keingintahuan wisatawan Gili Ketapang. Bahkan untuk menyiasatinya, para pengelola wisata hendak membeli ikan nemo untuk dilepasliarkan di lautan.
Keberadaan keramba jaring apung (KJA) budidaya ikan kerapu diduga menjadi dalangnya (predator). Namun apabila ditelaah lebih jauh, sebenarnya berkurangnya jumlah terumbu karang sebagai habitat ikan juga menjadi alasan tak terbantahkan.
Krisnawati dan Hidayah (2020) melaporkan terjadinya penyusutan luasan terumbu karang di Gili Ketapang, yakni 29,95 hektar pada tahun 2002 menjadi 15,87 hektar di tahun 2019.
Tidak berbeda jauh dengan terumbu karang, ekosistem penting lainnya bagi lautan, yaitu lamun juga menghilang secara masif. Dari awalnya 20,46 hektar (tahun 2002) hanya tersisa 10,56 hektar (tahun 2019).
Masyarakat secara sadar dan aktif mengambil terumbu karang baik hidup maupun mati untuk keperluan membangun rumah.
Pemerintah Kabupaten Probolinggo memang tidak tinggal diam akan persoalan ini. Pada tahun 2005, mereka melakukan proses rehabilitasi dengan melakukan pemasangan terumbu karang buatan sebanyak 196 unit.
Namun, langkah tersebut terbukti tidak menghasilkan efek positif yang terlalu besar. Hal ini karena kurangnya kesadaran untuk melakukan perawatan dan monitoring. Belum lagi diperburuk dengan perilaku nelayan yang asal melempar jangkar. Serta kebiasaan pengunjung hingga oknum yang tidak memiliki pengetahuan memadai terkait pelarangan menyentuh bahkan menginjak terumbu karang (#DontTouchCoral).
Sementara itu, dengan menyandang gelar sebagai pulau kecil karena mempunyai luas daratan hanya kurang dari 100 km2 (UU No. 27 Tahun 2007). Justru populasi manusia di Gili Ketapang sangat membludak. Sehingga tidak sebanding dengan luas wilayah yang cukup minim. Tercatat pada tahun 2009, Gili Ketapang dihuni warga dengan jumlah 7.988 jiwa.
Artinya kepadatan penduduk di Gili ini berakibat pada kepemilikan lahan yang semakin terbatas. Namun pembangunan tempat tinggal mereka tentunya terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Alhasil kebutuhan akan bahan bangunan akan melambung tinggi. Dengan dalih biaya transportasi mahal, banyak warga yang berpikiran ‘tak ada pilihan lain’ dan tanpa rasa bersalah menambang pasir laut.
Ya, pasir laut digunakan warga sebagai bahan bangunan yang katanya gratis disediakan alam. Hampir setiap hari ditemui pemandangan warga yang menambang pasir.
Padahal penambangan pasir jelas ditentang dan menyalahi aturan perundang-undangan No. 1 Tahun 2014 (hasil revisi dari UU No. 27 Tahun 2007). Dampaknya, luas daratan Gili Ketapang terus mengecil, dari 68 hektar menjadi 61 hektar saja. Bahkan salah satu tokoh masyarakat setempat mengklaim bahwa saat ini luasan Gili Ketapang hanya tersisa 58 hektar.
Setali tiga uang, masalah sampah lautan sudah menjadi warisan yang diturunkan lintas generasi di Gili Ketapang. Tidak adanya penanganan dan edukasi memadai semakin memperparah kondisi sampah yang tidak pernah tuntas.
Solusi yang ditawarkan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Probolinggo ialah melakukan pengangkutan sampah secara rutin ke wilayah Kota Probolinggo. Serta melakukan aksi bersih pantai di hari-hari besar. Namun tentunya ini tidak bisa menjawab tantangan sampah yang menggunung.
“Biar mengalir ke lautan saja,” ucap salah satu warga.
Pemikiran bahwa laut adalah tempat sampah masih tertanam di benak kebanyakan masyarakat Gili Ketapang. Tempat sampah yang sengaja dibangun pemerintah malah terlihat bersih dan tak terpakai.
Sebab mereka lebih memilih melemparkan sampah ke laut. Bukan hanya sampah plastik dan rumah tangga, tak jarang bangkai kambing juga tak segan mereka biarkan teronggok di tepi pantai.
Tak berbeda jauh dengan hewan ternak yang mati, beberapa satwa laut juga memiliki nasib yang serupa. Gili Ketapang sendiri menjadi jalur migrasi tahunan hiu tutul (Rhincodon typus).
Hewan yang termasuk dalam kategori dilindungi tersebut juga menjadi incaran para pengunjung. Di sisi lain, ada pula kemunculan penyu yang seringkali berakhir pada kematian.
Seperti pada 10 Maret 2022, ditemukan penyu diduga spesies penyu hijau yang mati di pinggir pantai. Perlu digarisbawahi jika masyarakat terkesan abai atau bahkan tidak mengetahui langkah apa yang harus dilakukan ketika ada satwa langka menemui ajal.
Padahal pemerintah sendiri dalam naungan lembaga seperti Dinas Kelautan dan Perikanan (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut) ataupun Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat menjadi lokasi pelaporan yang harus dituju.
Mengingat bahwa Gili Ketapang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KEPMEN-KP) No. 64 Tahun 2020. Namun keberadaan jutaan masalah yang menghinggapinya, sangatlah disayangkan apabila status ini tidak diikuti dengan manajemen pengelolaan yang baik.
Ode Rakhman sebagai Direktur Eksekutif Walhi menyatakan bahwa “mereka (masyarakat pulau kecil) adalah orang-orang yang paling terdampak perubahan iklim”.
Achmad Poernomo, Staf Ahli Bidang Kebijakan Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menyebut 2.000 pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam pada tahun 2050.
Melihat contoh masalah yang terjadi di Gili Ketapang. Tenggelamnya pulau kecil bukan hanya soal batubara semata. Namun juga karena andil dari masyarakat pulau itu sendiri.
Berupaya menarik benang merah dari carut marut persoalan di pulau kecil Gili Ketapang. Ini bukan hanya tugas para pejabat atau institusi setempat.
Perlu adanya gebrakan kesadaran dari masyarakat lokal dan adat. Memang tak mudah membangun mindset, tetapi bukanlah hal mustahil.
Tanpa adanya partisipasi aktif dari mereka, semua berakhir pada kesia-siaan. Bencana abrasi akan datang dan pulau kecil akan tenggelam. Mari bahu membahu dan berakSEA demi alam tempat kita berpijak ini.
Salam Konservasi!***
Baca juga: Katakan Tidak pada Sampah Plastik melalui Zona Pantai Ramah Lingkungan
Editor: J. F. Sofyan
Sumber:
Akun Youtube Galetong Media.
Ikhwani, H. & Koswara, A. Y. (2011). Kajian kebijakan pengelolaan pulau kecil (Pulau Gili Ketapang) di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIV.
Krisnawati, S. & Hidayah, Z. (2020). Pemetaan terumbu karang Pulau Gili Ketapang Probolinggo. Juvenil, 1 (4), 437-450.
Yassar, R. L., Rudianto, & Isdianto, A. (2017). Analisis kesesuaian, daya dukung dan kemampuan lahan Pulau Gili Ketapang sebagai ekowisata bahari, Kabupaten Probolinggo. Artikel Skripsi. Universitas Brawijaya.
Perlu banget menyingkap isu seperti ini. Jarang ada yang membahas. Biasanya hanya seputar sampah ataupun minimnya hasil tangkapan ikan masyarakat pesisir. Seluruh dunia harus tahu kalau terkadang perilaku penduduk pulau kecil lokal lah yang juga turut andil mempercepat terjadinya tenggelam. Ini beban berat untuk mengajak mereka yang notabenenya mayoritas berpendidikan kurang memadai. 👍🌍🏝️