Menjelajah Anambas Surga Bawah Laut di Garda Terdepan

Lebih dari 70.000 kapal dagang melintasi jalur pelayaran internasional di sebelah kepulauan Anambas, mereka membawa lebih dari 20% komoditas perdagangan yang didistribusikan lewat laut dan 35% minyak mentah dunia. Kapal-kapal dagang ini melintas disini setelah dari Selat Malaka, sebuah jalur lalulintas laut tersibuk di dunia.

Disini, di Anambas, di kedalaman lautnya yang hening ketika menyelam, ribuan spesies ikan dan biota laut hidup di sela-sela terumbu karang yang indah. Seketika saya lupa dengan  kesibukan lalu lintas di atas permukaan.

Dari Jakarta kami harus terbang ke Batam, menyeberang dengan ferri ke Tanjung Pinang kemudian menempuh perjalanan laut selama 10 jam ke Tarempa, ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas.  Tapi perjalanan panjang ini terbayar dengan keindahan bawah lautnya yang eksotis.

Turun dari pesawat Boeing 737-900 ER di Bandara Internasional Hang Nadim di Batam, ternyata kami tidak mendapat pesawat ke Anambas. Jadi kami segera ke pelabuhan dan menyeberang ke Tanjung Pinang. Dari Tanjung Pinang kami akan naik kapal ferri VOC Batavia ke Tarempa, ibukota kabupaten kepulauan Anambas.

Namun kapal ke Tarempa rusak dan perlu perbaikan selama 3 hari, jadi kami tertahan di Tanjung Pinang selama tiga hari. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali menyewa kapa atau pesawat yang bisa puluhan juta tarifnya. Untuk mengurangi jenuh, kami berkeliling di sekitar Tanjung Pinang, menghadiri undangan minum kopi, juga menyeberang ke Pulau Penyengat.

Menggunakan kapal VOC Batavia kami membelah Laut China Selatan selama 8 jam sampai kemudian kapal sandar di pelabuhan Letung di Pulau Jemaja. Kapal menurunkan dan menaikkan penumpang di Letung selama 30 menit.

Dari atas kapal, di dasar laut pelabuhan yang dangkal, jajaran terumbu karang sangat rapat dan beragam sudah menghibur kami. Perlu waktu 2 jam lagi dari Letung ke Tarempa, jadi kami harus bersabar sebelum nyemplung ke laut.

Sesampainya di Tarempa, setelah keluar dari pelabuhan, kami disambut jajaran warung kopi khas Anambas. Dari salah satu warung, tercium aroma kopi yang wangi, kami segera saja masuk dan memesan kopi. Pelayan yang mengantar kopi kemudian menawari kami “Mie Tarempa”, yang tentu saja tidak kami tolak.

Kopi dan mie tarempa, merupakan menu wajib disini, citarasanya tidak akan bisa ditemui ditempat lain. Di Tanjung Pinang dan Batam memang banyak warung yang menjajakan Mie Tarempa, tapi disini, di Tarempa, kami mendapat di tempat aslinya.

Kami menginap di penginapan yang berada di pinggiran laut di Tarempa. Malamnya kami mencari makanan yang tersebar di sepanjang jalanan di Tarempa yang jarang dilalui mobil, hanya motor. Pilihan kami malam ini adalah ikan bakar yang baru sore tadi turun dari laut. Jadi masih segar. Kami juga memesan kopi dari biji yang dipanggang.

Pagi hari, sambil menunggu alat selam, kami berkeliling di sekitar Pulau Matak. Kami mengunjungi sentra budidaya ikan Napoleon di desa Air Sena dan menginap di desa wisata Tebang di rumah nelayan. Malam hari beberapa masyarkat mengunjungi kami dan esok mengajak kami untuk bermain gasing kha Anambas.

Esoknya kami baru menuju ke Pulau Selat Rangsang untuk menyelam. Ketika kapal kami sudah mulai berhenti di titik penyelaman, beberapa saat saya terpaku. Jajaran terumbu karang dan puluhan jenis ikan serta biota laut lain bahkan bisa terlihat dari atas kapal tanpa harus menyelam.

Saya segera memakai wet suit, memasang sepatu katak dan memakai Google dan Snorkle kemudian langsung menikmati keindahan bawah laut dengan snorkling. Kedalaman laut di sini hanya 2-3 m dan keanekaragaman hayati lautnya sudah demikian indah.

Beberapa saat kemudian saya kembali ke kapal dan mengambil tabung udara untuk menyelam di tempat yang lebih dalam lagi. Pemandangannya lebih indah, dengan karang yang semakin rapat dan beragam, juga jenis ikan yang semakin banyak dan berukuran besar. Mereka berenang mendekat, seolah menyambut kedatangan kami.

Puas menikmati keindahan bawah laut di Selat Rangsang, kami kemudian beristirahat sebentar di darat dan menikmati kesegaran kelapa muda. Kapal kami kemudian bergerak kembali ke Pulau Temuruk, tidak jauh dari Selat Rangsang. Tidak berbeda dengan Selat Rangsang, terumbu karang di perairan sekitar Pulau Temuruk cukup rapat, beragam, dan jenis ikannya pun banyak.

Kedalaman lautnya juga cukup dangkal dengan arus yang tidak terlalu kuat, sangat cocok untuk pemula. Jika saja udara di tabung yang kami gendong belum habis, rasanya enggan kami kembali ke permukaan.

Hari berikutnya kami mencoba mendatangi salah satu pulau konservasi, Pulau Durai yang terletak di barat laut Pulau Matak. Pulau Durai terkenal sebagai salah satu pulau pendaratan penyu sejak jaman dulu.

Kami tidak bisa mendekati dan mendarat di Pulau Durai, sampai kemudian Lahani, penjaga Pulau Durai yang sudah berumur sekitar 100 tahun menjemput kami satu-persatu dengan sampan kecilnya, yang lebih mirip kano.

Kami segera menginjakkan kaki kami di pasir pantai Pulau Durai yang lembut dan hangat berpayung rindangnya daun kelapa yang banyak tumbuh di Pulau Durai. Lahani menyambut kami ramah, sementara beberapa kerabatnya yang kebetulan sedang berada di Pulau Durai segera memetik kelapa muda untuk kami.

Ditemani semilir angin laut, kami kemudian berkeliling pulau yang indah ini. Di beberapa pantai berpasirnya kami melihat jejak-jejak pendaratan penyu dan lubang-lubang tipuan yang dibuat oleh penyu yang bertelur di pantai.

Siang hari, di sebuah pondokan saya mendapati dua ember besar yang penuh dengan tukik. Ternyata tukik (anak penyu) ini baru menetas dan sedang dikarantina sebelum dilepas di laut. Jadi kami berkesempatan untuk ikut melepas tukik ke laut lepas.

Di dekat pondok tempat tukik ini, terdapat banyak tumpukan sabut dan batok kelapa. Saya mengambil beberapa, menyusun batu dibawah kerindangan dan membuat bara api untuk membakar ikan lauk makan siang kami. Beberapa ekor ikan karang segar yang kami bakar dengan sabut kelapa ini kami nikmati. Sebelum pulang ke Tarempa, bersama dengan Pak Lahani kami melepas tukik ke laut lepas.

Dari Tarempa, menumpang kapal patroli dari Kementrian Kelautan dan Perikanan akhirnya kami membelah laut Anambas menuju ke Pulau Mengkait. Beberapa teman menyarankan kami mampir ke Pulau mengkait jika akan berwisata di Pulau Nelayan yang masih asri dan nelayannya yang kebanyakan keturunan suku laut masih menangkap ikan dengan cara tradisional.

Kearifan lokal nelayan Pulau Mengkait ini ikut pula menjaga konservasi kawasan laut Anambas yang merupakan Taman Wisata Perairan. Perlu waktu lebih dari 3 jam sampai kapal kami melambat dan memutari sekumpulan batu besar yang tersusun unik di tengah laut. Kami sudah hampir sampai di Pulau Mengkait.

Sekumpulan batu ini, ibarat gerbang masuk ke Pulau Mengkait. Menjelang matahari terbenam kami sampai di dermaga Pulau Mengkait. Kapal patroli kami yang berukuran besar menarik perhatian warga, dan kami diantar ke kepala kampung.

Kami menginap di beberapa bangunan di dermaga, sisanya tidur di kapal. Sebelum tidur beberapa dari kami memancing ikan di perairan sekitar dermaga yang ikannya sangat banyak. Pagi harinya, kebetulan hari minggu, sebagian dari kami yang Nasrani kemudian menyempatkan diri ke Gereja.

Lebih dari 95% warga Mengkait beragama Nasrani. Selanjutnya kami berkeliling kampung, menikmati keindahan dan keramahtamahan nelayan disini. Kami juga melihat bagaimana mereka membuat perahu dan kerajinan serta menangkap ikan. Baru pada siang harinya kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Jemaja.

Di Pulau Jemaja kami dijemput beberapa teman di pelabuhan Kuale Permata. Beberapa dari mereka adalah anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Anambas dan Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Setelah makan di pelabuhan, kami kemudian diantar melihat beberapa sisi keindahan alam Pulau Jemaja.

Kami mampir ke pantai Padang Melang yang mempunyai garis pantai melengkung sepanjang kurang lebih 8 km. Kedepan, di pantai Padang Melang ini akan dijadikan pusat kegiatan budaya di Anambas. Di beberapa sudut pantainya kami mendapati tanaman Nepenthes, salah satu tanaman pemakan serangga yang unik.

Pagi harinya, baru kami kembali menyusuri laut menuju ke beberapa pulau. Tokoh masyarakat di Jemaja memaksa kami melihat beberapa potensi alam disana. Pertama kali kami menuju ke Pulau Ipan yang mempunyai keindahan bawah laut yang layak untuk dijadikan spot menyelam. T

erumbu karangnya sangat rapat dan biota lautnya beragam. Bahkan dari atas perahu saja kami sudah bisa menikmati keindahannya. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Mangkai, salah satu pulau konservasi penyu sekaligus sebagai pulua terluar di Anambas yang berbatasan dengan Malaysia.

Di Mangkai, kami mendapat beberapa ekor ikan jampong yang kami bakar dengan sabut kelapa untuk makan siang di pantainya yang indah. Ang Siong, penjaga pulau memetik kelapa untuk menghilangkan dahaga kami. Kamipun menukar bekal makan siang yang kami beli di Jemaja dengan kelapa dan ikan jampong. Kicauan burung dan semilir angin menemani makan siang kami.

Sorenya, ketika kami melajukan perahu kami kembali ke Pulau Jemaja mendadak hujan turun dengan lebat dan laut sedikit bergelombang. Nahkoda pemilik kapal menyarankan kami “bersembunyi” sebentar ke Pulau Keramut. Maka kami menuju kesana dan berteduh di rumah nelayan.

Di Keramut kami kemudian mendapat suguhan nasi, ikan asin sayur pedas, sayur labu, dan sebagai penutup ibu pemilik rumah kemudian mengeluarkan kue jongkong. Jongkong dalam bahasa setempat artinya perahu. Kue ini terbuat dari tepung beras dan gula serta santan yang dibungkus dengan daun pandan pantai yang dibentuk mirip perahu dan dikukus.

Sebelum melanjutkan perjalanan pulang kami diajak berkeliling untuk melihat hutan bakau di belakang pulau Keramut dan melihat masyarakat yang membuat dan mengolah kopra. Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Beberapa nelayan memberi kami oleh-oleh berupa ikan segar dan cumi untuk makan malam kami.

Di perjalanan, kami masih diajak mampir ke pulau Duata, sebuah pulau kecil dengan pantai pasir putihnya yang cantik. Pulau ini masih belum terjamah. Hanya setahun sekali saja masyarakat setempat membersihkan pantainya sebelum lebaran, dan dipakai untuk berwisata.

Malamnya kami kemudian menginap di rumah seorang teman di Letung. Rumahnya berada di tengah laut terbuat dari kayu yang dihubungkan dengan jembatan kayu dengan Pulau Berhala. Penginapan kami ini lebih nyaman daripada penginapan yang ada di Jemaja.

Dari beranda, memandang ke laut, jajaran terumbu karang tampak indah dilihat dengan mata telanjang. Di kejauhan, berjajar pemukiman para nelayan dan perahu hilir mudik. Pagi harinya, kami kembali berlayar ke Pulau Tulai. Hanya setengah jam saja waktu tempuhnya dari penginapan kami.

Mendarat di pantainya yang bersih dan berpasir lembut, kami segera terjun ke laut untuk snorkling. Beberapa anak yang ikut dengan kami kemudian mengeluarkan senapan tombaknya untuk menangkap ikan karang yang banyak berkeliaran di perairan ini.

Maka siang hari kami menikmati perjalanan ini dengan makan siang dengan ikan bakar dan kelapa muda yang kami petik di sekitar pulau. Siangnya kami berkeliling pulau menggunakan perahu dan kembali snorkling menikmati keindahan bawah lautnya yang mempesona. Di salah satu sudut pulau di tempat tertinggi, hutannya masih rapat dan di beberapa pohonnya penuh dengan burung punai yang membuat sarang.

Pagi hari, kami kemudian membeli ticket kapal cepat untuk kembali ke Tanjung Pinang. Jika saja menuruti kemauan teman-teman di Anambas, maka bisa sebulan kami berada di sini. Setiap hari mereka menawarkan destinasi lain yang menarik. Kami bisa terjebak keindahan disini.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan