Menyoal Polemik Perdagangan Telur Penyu di Pulau Terluar Indonesia

Status perlindungan penyu seharusnya bukan berita baru bagi masyarakat Indonesia. Larangan terhadap pemanfaatan biota laut tersebut beserta produk turunannya sudah banyak tersebar di media massa, bahkan melalui poster himbauan yang kerap dipasang di berbagai tempat. Banyak masyarakat yang dengan sadar telah mengikuti anjuran tersebut, namun tak sedikit pula yang tidak peduli.

Indonesia telah menetapkan regulasi perlindungan penyu untuk skala nasional melalui Undang Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2018 jo Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, serta Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor SE 526 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh, dan/atau Produk Turunannya.

Pada level internasional, penyu juga dimasukkan ke dalam daftar spesies yang sangat terancam punah untuk penyu sisik, serta terancam punah untuk penyu hijau, penyu lekang, dan penyu tempayan oleh Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature).

Status tersebut dipertegas pada ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang memasukkan seluruh spesies penyu ke dalam Apendiks I, yang merupakan daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi penyu di seluruh wilayahnya adalah hal yang wajar. Diketahui 7 (tujuh) spesies penyu di dunia, yang mana 6 (enam) diantaranya ditemukan di Indonesia.

Keenam jenis penyu tersebut meliputi penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

Sepertinya tidak berlebihan jika Indonesia dinobatkan sebagai surganya penyu. Tetapi, apakah kelangsungan hidup penyu di Indonesia sudah terjamin?

Tukik penyu sisik di Pulau Mangkai, Anambas. / Foto: Dominikus Yoeli Wilson Laia

Penyu di Kepulauan Anambas

Kepulauan Anambas adalah salah satu rumah bagi penyu untuk mencari pakan, memijah, mendarat, bertelur, hingga menetas. Sebagai salah satu kepulauan terluar di Indonesia, Anambas merupakan rumah singgah strategis bagi penyu.

Kepulauan ini terdiri dari 255 pulau kecil berlokasi di Laut Natuna, dengan jumlah pantai pendaratan favorit bagi penyu yang melimpah. Setidaknya terdapat 2 (dua) jenis penyu yang diketahui rutin mendarat dan bertelur di pantai-pantai Anambas, yaitu jenis penyu hijau dan penyu sisik.

Kondisi geografis ini menjadi asal muasal eratnya hubungan antara penyu dan masyarakat Kepulauan Anambas.

Diperkirakan jauh sebelum keluarnya UU 5/1990, masyarakat Kepulauan Anambas sudah memanfaatkan telur penyu untuk konsumsi. Berdasarkan penuturan masyarakat setempat, budaya konsumsi telur penyu telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama, bahkan pada masa-masa penyu masih kerap ditemukan berenang di perairan pesisir dekat permukiman nelayan.

Pada masa lampau, hampir seluruh pantai pasir putih di Anambas menjadi tempat bertelur bagi penyu, walau kondisi terkini berbanding terbalik.

Besarnya potensi peneluran oleh induk penyu di banyak pantai di wilayah Kepulauan Anambas, menyebabkan masyarakat lokal sejak dulu sering mengambil telur penyu untuk menjadi salah satu opsi pendamping nasi bagi keluarganya.

Seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap telur penyu, maka terciptalah sistem jual beli telur penyu. Para pemilik lahan yang berada tepat di belakang pantai pendaratan penyu umumnya membangun gubuk jaga untuk melakukan pengawasan terhadap telur penyu yang dianggap miliknya, agar tidak dicuri orang lain atau justru menjadi santapan biawak.

Perburuan telur penyu ini dilakukan oleh siapapun yang memiliki niat keras, tidak hanya bagi pihak yang memiliki lahan. Hukumnya adalah siapa cepat dia dapat.

Hal ini dibuktikan dengan aktivitas yang dilakukan oleh para pemburu telur penyu pada malam hingga subuh, yaitu mengendarai pompong (perahu motor) atau jongkong (semacam sampan) dengan tujuan memantau pantai yang menjadi tempat naiknya penyu. Pemandangan semacam ini menjadi hal yang diakrabi hingga saat ini.

Telur penyu sempat menjadi bisnis yang menggiurkan dan menjanjikan. Saking banyaknya produksi telur penyu di Anambas, “komoditas” ini bahkan pernah menjadi produk ekspor ke daerah lain, baik di dalam provinsi Kepulauan Riau, seperti Batam dan Tanjung Pinang, maupun ke luar provinsi seperti Pontianak, Kalimantan Barat. Ini membuktikan bahwa peminat telur penyu tidak hanya masyarakat Anambas.

Ironinya, telur penyu dari luar daerah ini tidak menyurutkan angka konsumsi telur di dalam Anambas, justru menjadi stimulus. Tidak sekali masyarakat setempat mengungkapkan, “Orang luar saja bisa makan penyu, kami yang punya kok tidak boleh?”. Masyarakat juga kerap mengajukan protes setiap himbauan untuk berhenti memperdagangkan, membeli, dan mengonsumsi telur penyu dilayangkan.

Saat ini, aksi penjualan telur penyu ke luar Anambas sedikit berkurang dan cenderung dihindari oleh masyarakat lokal.

Ketakutan masyarakat didasari oleh investigasi dan penangkapan satu warga oleh Polres Anambas pada tahun 2020, yang memperjualbelikan telur penyu sebanyak 600 butir di Pelabuhan Tarempa. Namun, aksi penangkapan itu ternyata tidak cukup berdampak pada berhentinya aktivitas jual beli telur penyu di dalam area Kabupaten Kepulauan Anambas.

Kalimat yang senada dengan “Lagipula telur penyu itu tidak akan habis oleh seluruh masyarakat di Anambas, pun bila tidak diambil, mungkin akan dimakan biawak juga” adalah respon masyarakat yang kerap ditemukan untuk mematahkan larangan transaksi telur penyu.

Sudah 33 tahun sejak UU 5/1990 diterbitkan demi melindungi penyu, namun praktik penjualan dan konsumsi telur penyu di Anambas masih terus berjalan.

Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 27 Mei 2023, ditemukan adanya oknum yang menjual telur penyu secara terang-terangan di Pasar Ikan Tarempa. Harga telur penyu yang dipatok adalah Rp2.500,- per butir.

Para oknum berkilah dengan alasan penjualan telur penyu hanya 100 butir per hari atau kira-kira satu lobang. Para oknum ini juga menambahkan bahwa hal ini terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menambahkan bahwa pribumi semestinya diperkenankan memperjualbelikan telur penyu, berbeda dengan kaum pendatang.

Telur penyu di pasar ikan Tarempa. / Foto: Dominikus Yoeli Wilson Laia

Pemenuhan Kebutuhan Hidup

Penjualan telur penyu sebagai mata pencaharian utama bagi beberapa warga Anambas adalah kenyataan yang memprihatinkan. Oknum yang terlibat dalam praktik jual beli telur penyu tidak hanya para pemilik lahan yang berbatasan dengan lokasi pendaratan penyu, melainkan juga para penyewa lahan.

Para oknum ini rela menyewa lahan di pulau dengan harga hingga ratusan juta rupiah per tahunnya demi mendapatkan telur penyu untuk dijual nantinya. Perilaku ekstrem ini bagai dua mata pisau.

Motif para oknum untuk memperkaya diri melalui transaksi jual beli telur penyu dengan merogoh kocek yang dalam pada penyediaan modal lahan, tampaknya berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Apabila dihitung secara matematis, praktik ini jauh dari kata merugi.

Data yang digunakan untuk menghitung besaran keuntungan yang didapatkan dari transaksi terlarang jual beli telur penyu adalah data harga terakhir telur penyu di Pasar Ikan Tarempa, serta hasil monitoring penyu yang dilakukan oleh Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru yang menunjukkan jumlah telur penyu di Pulau Mangkai, Anambas tahun 2022.

Hasil monitoring menunjukkan jumlah telur penyu di Pulau Mangkai mencapai 55.916 telur per tahunnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kisaran pendapatan dari penjualan telur penyu mencapai Rp139.790.000. Angka ini berlaku di satu pulau saja. Bukankah begitu ironis?

Hal yang tidak kalah memprihatinkan adalah peminat telur penyu yang tidak pernah habis. Kendati pemerintah melarang praktik jual beli telur penyu di warung-warung, transaksi masih dapat berjalan melalui rumah ke rumah.

Oknum warga sedang membawa telur penyu. / Foto: Dominikus Yoeli Wilson Laia

Fenomena ini sekaligus membuka mata tentang betapa esensialnya kesadaran masyarakat untuk dapat memutus rantai penjualan dan konsumsi telur penyu di Anambas.

Telur penyu diperdagangkan di warung Tarempa. / Foto: Dominikus Yoeli Wilson Laia

Penyu Diambang Kepunahan

Arieta, dkk (2023) dalam penelitiannya yang berjudul “Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Bidang Lingkungan Hidup: Konservasi Penyu di Kabupaten Kepulauan Anambas Indonesia” menyebutkan bahwa ancaman kepunahan spesies penyu dapat diakibatkan oleh berlangsungnya tragedy of the commons serta kondisi anomie yang menyebabkan penyu dan telurnya sebagai objek ekonomi.

Dijelaskan lebih lanjut, tragedy of the commons merupakan asumsi yang menggarisbawahi sumber daya alam tidak memiliki kepemilikan yang berimplikasi pada sistem akses terbuka kepada setiap orang untuk memanfaatkan dan mengendalikannya.

Adapun anomie masyarakat lokal dalam konteks penelitian ini merupakan pemanfaatan berlebih oleh masyarakat pesisir yang disebabkan oleh standar moral yang rendah.

Selain mengakui bahwa rasanya yang enak, sebagian masyarakat di Anambas juga berpendapat bahwa telur penyu dapat memberikan khasiat-khasiat tertentu, salah satunya untuk kesuburan pria. Padahal, penelitian ilmiah berbicara sebaliknya.

Faktanya, telur penyu mengandung bakteri, parasit, biotoksin dan zat pencemar lingkungan laut lainnya yang dapat berdampak pada gangguan syaraf, penyakit ginjal, kanker lever serta berpengaruh terhadap perkembangan janin dan anak (Aguirre, 2006). Senada dengan regulasi perlindungan penyu di mata masyarakat, informasi ini hanya dianggap angin lalu.

Rendahnya kesadaran masyarakat di Anambas cukup disayangkan mengingat potensi keindahan dan kelimpahan sumber daya kelautannya yang memukau.

Kepulauan Anambas bahkan telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional atau Marine Protected Area yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui UPT (Unit Pelaksana Teknis) LKKPN Pekanbaru. LKKPN Pekanbaru cukup aktif melakukan penyadartahuan terkait regulasi dan bahaya konsumsi telur maupun daging penyu.

Sejak tahun 2022, LKKPN Pekanbaru telah melakukan kegiatan konservasi dan monitoring penyu di Pulau Mangkai dengan memberdayakan masyarakat setempat.

Selain dari unsur pemerintah, gerakan positif juga muncul dari kelompok masyarakat. Penyu Jemaja Lestari, adalah kelompok masyarakat non profit yang diinisiasi oleh Burhanudin untuk melakukan kegiatan konservasi dan ekowisata penyu khususnya di Pulau Jemaja dan sekitarnya.

Tentu, keterlibatan pihak yang lebih luas lagi sangat diperlukan untuk bekerja sama menyelamatkan penyu di seluruh wilayah Anambas.

Tulisan ini sekaligus menjadi panggilan bagi seluruh masyarakat Anambas untuk dapat membangun kesadaran diri sendiri, terutama dalam menghentikan konsumsi telur dan daging penyu yang berada di ambang kepunahan.

Semoga dengan dimulai dari komitmen kecil dari setiap individu, penyu-penyu dahulunya kerap berenang di bawah kolong permukiman nelayan Anambas dapat menjadi pemandangan yang diakrabi kembali. Salam Konservasi.***

Baca juga: Anugerah Hutan Mangrove Indonesia Untuk Mitigasi Perubahan Iklim

Editor: J. F. Sofyan

Referensi:

Aguirre, A. A., Gardner, S. C., Marsh, J. C., Delgado, S. G., Limpus, C. J., & Nichols, W. J. (2006). Hazards Associated with the Consumption of Sea Turtle Meat and Eggs: A Review for Health Care Workers and the General Public. EcoHealth, 3, 141-153.

Arieta, S., Budiarti, M., & Igiasi, T. S. (2023). Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Bidang Lingkungan Hidup: Konservasi Penyu di Kabupaten Kepulauan Anambas Indonesia. Journal of Management and Social Sciences (JIMAS), 2(1), 73-90.

Laporan Monitoring Penyu LKKPN Pekanbaru tahun 2022

https://batam.tribunnews.com/2020/03/24/sita-600-butir-anggota-satreskrim-polres-anambas-tangkap-1-warga-diduga-jual-belikan-telur-penyu

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan