Telur Penyu di Pulau Taliabu Maluku Utara dari Perdagangan Ilegal hingga Ancaman Kepunahan

Kabupaten Pulau Taliabu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Kepulau Sula, yang dilegitimasi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2013 tentang pembentukan Kabupaten Pulau Taliabu Provinsi Maluku Utara.

Kabupaten Pulau Taliabu memiliki wilayah yang sepenuhnya dikelilingi oleh lautan. Dimana batas-batas wilayah kabupaten Pulau Taliabu yaitu disebelah utara berbatasan dengan laut Maluku, sebelah timur berbatasan dengan selat capalulu dan Kabupaten Kepulauan Sula, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Banda, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banggai Laut. Wilayah Taliabu yang dikelilingi oleh lautan menjadikannya kaya akan biota laut, salah satunya Penyu.

Penyu sendiri merupakan hewan yang dilindungi di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis  Satwa, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (permen LHK) Nomor 20 Tahun 2020 jo Permen LKH Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, serta surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor SE 526 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh, dan/atau Produk Turunannya.

Dalam lingkup perlindugan secara global penyu secara Internasional telah dimasukkan dalam Appendix 1 CITES, yang berarti bahwa spesies penyu telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah dan tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.

Banyaknya regulasi yang mengatur tentang larangan penangkapan dan perdagangan Penyu yang merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam melindungi Penyu sebagai salah satu hewan terancam punah. Hal ini disebabkan karena dari 7 spesies Penyu di dunia 6 diantaranya ditemukan di Indonesia yaitu Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu pipih (Natator depressus), Penyu tempayan (Carreta carreta), dan Penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

Di perairan Taliabu sendiri belum ada data yang valid yang menjelaskan jumlah jenis penyu yang ada, namun berdasarkan pantauan, penyu yang sering ditangkap oleh masyarakat adalah penyu sisik, penyu hijau dan penyu belimbing.

Muhammad Korebima, selaku praktisi konservasi perairan mengatakan bahwa “penetapan tiga Kawasan konservasi parairan di Maluku Utara baru-baru ini adalah upaya penting manjaga habitat pantai peneluran yang ada di dalam kawasan-kawasan konservasi”.

Kabupaten Pulau Taliabu yang memiliki wilayah yang berbatasan dengan kabupaten Kepulaun Sula yang merupakan salah satu dari tiga kawasan konservasi perairan di Maluku Utara lantas membuat Taliabu bebas dari perdagangan ilegal penyu dan telur penyu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya postingan akhir-akhir ini di salah satu grub jaul beli di Facebook di Taliabu.

Dalam grup tersebut ada banyak postingan penjualan telur penyu dan penyu, yang di posting enam bulan terakhir ini, itu belum termaksud postingan dari tahun 2022.

Sungguh ironis dalam grup Facebook tersebut telur penyu di perjual belikan layaknya telur ayam, yang di bandrol dengan harga 2 ribu rupiah per butir, dimana telur yang diperjual belikan berkisar puluhan dan bahkan bisa mencapai ratusan butir.

Pada tahun 2020 lalu Herman A Mussa selaku Tenaga Penyuluh Bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Wilayah Taliabu kepada Cermat, megatakan bahwa para pedagang telur penyu mengambil telur dari sejumlah orang di beberapa kampung di Taliabu.

Lalu pada tahun akhir tahun 2016 lalu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pulau Taliabu berhasil mengagalkan tiga kali percobaan penyelundupan penyu dari Taliabu ke Luwuk Sulawesi tengah, masing-masing di Desa Limbo, Desa Wayo, dan Pulau Saho.

Beberapa faktor yang menyebabkan perdagangan penyu dan telur penyu masih marak dijumpai di Taliabu diantaranya karena kurangnya pemahaman masyarakat akan penyu sebagai hewan yang dilindungi serta masih belum maksimalnya pengawasan dari pihak terkait untuk mengawasi dan mengontrol perdagangan tersebut.

Belajar dari berbagai kasus tersebut tidak menutup kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang jumlah penyu di Taliabu akan terus menurun dan bisa punah dikarenakan masih tingginya perdagangan ilegal telur punyu. Lantas sampai kapan perdagangan telur penyu ini akan dibiarkan berlarut-larut oleh pihak terkait, apakah menunggu sampai benar-benar tidak ada lagi jenis penyu yang di jumpai di perairan Taliabu?***

Baca juga: “Think Globally And Act Locally”, Berpikir Jauh Dan Luas Namun Bertindaklah Dimulai Dari Yang Terdekat

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan