Telusur Mangrove Teluk Tomini

Libur telah tiba, beberapa list destinasi sudah ada, mau liburan kemana tahun ini? Serentak kami sekelas kompak, “Wisata pantai pak guru!” kenangku sewaktu sekolah dasar.

Waktu itu pilihannya ke pantai dengan tajuk Eduwisata Konservasi Mangrove. Mangrove? Beberapa dari kami cukup jarang mendengar tema tersebut.

Ada yang bilang, itu artinya kita akan berwisata bahari dengan pemandangan hamparan pasir putih, laut biru dengan bibir pantai panjang lalu menjelang sore ditemani sunset di ufuk saga. Indah bukan?

Bahkan konyolnya beberapa teman sekelasku dengan semangatnya berkata nanti di pantai akan ada pemandangan turis dari berbagai mancanegara, ini pasti seru kawan.

Saat pakansi pun datang, dua bus Damri tanpa pendingin menemani perjalanan rekreasi kami kali ini.

“Di sini senang di sana senang, di mana-mana hatiku senang,” sorak sorai kami sepanjang perjalanan menyusuri kebun kopi jalur Wentira.

Tepat dua jam atau kurang lebih 106 kilometer rute yang telah kami lalui menuju titik lokasi ekowisata mangrove dan Pulau Kelelawar di Desa Tomoli.

“Welcome to my paradise,” lagu penutup dari band raggae Coconut Treez di tipe bus setelah berhenti.

Kaget! bukanya kagum, tapi kami tertegun. Tak ada hamparan pasir luas, laut biru, dan turis asing, hanya hutan lebat menutupi tepi pantai hingga menjorok ke laut, ada yang sebagian memisah, meski aku sudah tahu bahwa wilayah ini adalah tempat konservasi mangrove, di mana beragam jenis pohon hidup lestari, ada kata bakau di papan pengenal, sekilas terbaca istilah lain dari marga Rizophora itu.

Tak berselang lama kemudian kami diberi peta, ternyata kami kini tepat berada di Teluk Tomini sebuah teluk terbesar di Indonesia.

Ilustrasi ekosistem mangrove dan fauna yang hidup di dalamnya. / Foto: Marten van Dijl/Greenpeace

“Selamat datang di Eduwisata Koservasi Mangrove, lokasi ini merupakan taman wisata pembelajaran serta konservasi habitat mangrove, jadi wisata kita kali ini pada hakikatnya tak melulu tentang pemandangan indah pantai, melainkan tetang kepedulian kita terhadap lingkungan pesisir pantai dan habitat laut didalamnya,” ujar guru pembimbing kami.

Karena rimbunya mangrove, langkah kami terhenti di setiap akar yang muncul ke atas, akar itu sebutan warga bulotu namanya. Ekosisitem laut seperti mangrove ini bisa menjadi daya tarik wisata sekaligus menjadi media pembelajaran dan koservasi. Kita patut melestarikannya sebab meski menjadi hutan terbesar kedua di Indonesia, kini mangrove terdegredasi oleh adanya aktivitas manusia.

Menurut Ana 2005 hutan mangrove adalah salah satu jenis hutan yang banyak ditemukan pada kawasan muara dengan struktur tanah rawa atau padat. Mangrove menjadi salah satu solusi yang sangat penting untuk mengatasi berbagai jenis masalah lingkungan terutama untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh interaksi manusia maupun kondisi alam itu sendiri. Kerusakan ini tidak hanya berdampak untuk hewan tapi juga untuk manusia.

Mangrove memiliki segudang manfaat. Salah satunya adalah melindungi wilayah pesisir dari abrasi dan pantai dari tekanan gelombang.

Dahulu di wilayah ini memiliki habitat mangrove yang tak terjaga, sengaja dirusak akibat kesalahan perencanaan lokasi wisata, yang kini disesali. Tempat ini disebut Labua Oge (pelabuhan besar) di mana mangrove dengan beragam jenis hidup di sini atau dalam penyebutan warga setempat dinamakan popa, dan si api-api.

Warga dan hutan mangrove kini hidup berdampingan meskipun kerap beberapa orang warga memanfaatkanya sebagai bahan dasar pagar rumah maupun tiang rumah.

Kegunaan lainya seperti pada kulitnya digunakan sebagai pewarna jaring alat tangkap ikan.

Konon, di wilayah Timur Indonesia hutan mangrove disebut juga hutan perempuan, dalam hal ini komunitas perempuan diberi hak mengelola hukum adat “sasi”. Wilayah tersebut terlarang dimanfaatkan dalam kurun waktu tertentu. Kadang setahun untuk dilarang dan kemudian boleh diambil hasil di dalamnya untuk kemaslahatan kaum perempuan.

Baca juga: Jelajah Tomoli dan Memburu Mampo di Popa

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan