Kemenangan untuk Laut: 82 Negara Tandatangani Perjanjian Laut Global

Tanggal 20 September 2023 menjadi hari bersejarah bagi kelautan global. Hari itu adalah hari pertama Perjanjian Laut Global dibuka untuk ditandatangani, dan Indonesia menjadi salah satu dari 82 negara yang menandatangani di hari pertama. Perjanjian itu bertujuan untuk menjamin perlindungan dan pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan di laut lepas.

Perjanjian Laut Global merupakan hasil kesepakatan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diadopsi di New York pada 19 Juni 2023. Perjanjian ini dibuat untuk ditandatangani oleh semua negara dan organisasi ekonomi regional mulai 20 September 2023 sampai 20 September 2025, dan per hari Ini sudah ada 82 negara yang ikut tanda tangan.

Perjanjian yang akrab disebut Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) atau The High Seas Treaty ini dianggap penting untuk melestarikan 30 persen lautan dunia pada 2030. Setelah lebih dari satu dekade diskusi, penandatanganan konsensus itu mendandai bahwa upaya melindungi laut akhirnya menang atas kepentingan geopolitik.

Berlakunya Perjanjian Laut Global akan memungkinkan terciptanya kawasan lindung laut di perairan internasional. Perjanjian ini juga akan mendesak setiap negara agar melakukan penilaian dampak lingkungan dari kegiatan yang diusulkan di laut lepas. Hal Ini diharapkan menjadi terobosan untuk perlindungan keanekaragaman hayati.

Poin Pokok Perjanjian

Dalam Perjanjian Laut Global, empat bagian kesepakatan penting membahas ekosistem laut dunia. Berikut empat bagian tersebut:

1. Kawasan Konservasi Laut

Dalam perjanjian itu, negara-negara menyepakati penetapan kawasan perlindungan laut yang mencakup hingga 30 persen dari total luas laut dunia pada 2030. Hal Ini juga mencakup perlindungan ekosistem penting yang saling terhubung untuk menjadi dasar hukum konservasi habitat maupun spesies.

2.  Sumber Daya Genetik Laut

Salah satu tujuan Perjanjian Laut Global adalah penyetaraan dan pembagian informasi genetik yang adil, sert memanfaatkannya untuk seluruh negara. Terlepas dari itu, masih diperlukan mekanisme khusus untuk pembagian ulang manfaat ekonomi dan informasi genetik internasional kepada seluruh negara.

3. Penilaian Dampak Lingkungan

Perjanjian ini akan mewajibkan penilaian dampak lingkungan terhadap aktivitas perekonomian yang berisiko mencemarkan ataupun menimbulkan dampak berbahaya yang signifikan bagi lingkungan laut.

4. Pengembangan Kapasitas dan Transfer Teknologi Kelautan

Perjanjian Laut Global juga bertujuan untuk memperkuat kapasitas negara berkembang, misalnya melalui transfer teknologi kelautan serta kemitraan keilmuan dari negara maju. Dengan ini, mereka bisa mendapatkan bagian dari manfaat dari keragaman hayati laut internasional.

Dua Tantangan Besar

Greenpeace AS mendesak PBB untuk segera mendiskusikan Perjanjian Laut Global. / Foto: Greenpeace

Penandatanganan Perjanjian Laut Global tidak lantas membuat kita larut dalam euforia kemenangan. Ada pekerjaan besar untuk mengawal 82 negara yang terlibat untuk tidak hanya berkomitmen, tetapi juga mengambil tindakan nyata. Pasalnya, untuk membuat perjanjian ini menjadi efektif, setidaknya 60 negara harus meratifikasinya.

Cita-cita mewujudkan keberlanjutan biodiversitas laut akan makin jauh dari genggaman ketika praktik-praktik yang bertolak belakang dengan itu masih terus terjadi. Salah satu isu kritis yang perlu diperhatikan adalah praktik penangkapan ikan yang ekstraktif dan destruktif yang dilakukan oleh para pelaku industri seafood global.

Greenpeace Asia Tenggara, berkolaborasi dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dalam laporan investigasi berjudul Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers, mengungkap bagaimana awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia menghadapi kondisi kerja yang mengenaskan dan diduga menjadi korban kerja paksa di tengah laut.

Tak hanya soal kemanusiaan, praktik kerja paksa di atas kapal perikanan juga terafiliasi kuat dengan praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF). Kontras dengan komitmen Perjanjian Laut Global, kegiatan penangkapan ikan tidak sah itu tentu akan mengganggu kelestarian ekosistem laut.

Perjanjian Laut Global boleh jadi kemenangan dalam perjalanan kita menuju kelestarian di lautan lepas. Namun, kesepakatan ini harus terus dikawal untuk memastikan setiap negara benar-benar menunjukkan komitmennya dalam tindakan yang nyata.***

Baca juga: Sejarah Baru untuk Lautan, Perjanjian Laut Dunia Akhirnya Disepakati di PBB

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan