Hari Perikanan Sedunia: Stok Ikan Menipis, Wilayah Tangkap Terdampak Industri, dan Ketidakadilan Antara Nelayan dengan Industri Perikanan
Momentum Hari Perikanan Sedunia tahun 2023 tampaknya tidak menggambarkan situasi yang baik-baik saja bagi nasib komunitas-komunitas nelayan kecil yang ada di berbagai belahan di dunia.
Bagi komunitas nelayan kecil Sangihe Indonesia, Chana Thailand, dan Senegal mereka tengah menghadapi pelbagai persoalan yang mengancam ketahanan pangan dan mata pencaharian mereka sebagai nelayan.
Di Indonesia, Desmon Sondakh, nelayan tradisional yang tinggal di Kampung Bulo, Sangihe sebagaimana dikutip dari siaran pers Greenpeace Asia Tenggara mengutarakan keresahannya terkait stok ikan yang kian menipis di pesisir yang sudah nyata dirasakannya, serta persaingan ruang tangkap dan alat tangkap ilegal yang mengepung wilayah tangkap nelayan kecil yang belum diatur dengan adil oleh pemerintah.
“Untuk menangkap ikan, kini kami harus melaut lebih jauh karena perairan sekitar sudah didominasi oleh alat tangkap ilegal. Hal ini juga yang menyebabkan stok ikan di sekitar sini semakin menipis. Pemerintah hampir tidak melakukan apa pun untuk mengaturnya,” kata Desmon.
Di Chana, Thailand, komunitas nelayan menegaskan perjuangannya untuk melindungi wilayah laut yang menjadi wilayah tangkap nelayan dari kehadiran industri besar yang mengancam kesehatan laut dan ketahanan pangan.
“Selama bertahun-tahun masyarakat Chana berjuang melawan kawasan industri besar yang mengancam laut yang menjadi sumber pangan dan mata pencaharian kami. Kami berhasil menundanya, namun kami akan terus berjuang sampai kami yakin rumah dan pekerjaan kami aman,” kata Khaireeyah Ramanyah, seorang aktivis pemuda dari distrik Chana, Thailand.
Di Senegal, komunitas nelayan kecil terus berjuang menuntut keadilan dan mendorong kepada pemerintah untuk dihadirkannya komitmen bersama antara pelaku perikanan skala kecil dengan perusahaan industri perikanan untuk penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
“Kami terus memantau terhadap kapal pukat yang mencuri ikan kami. Namun kita juga memerlukan peran pemerintah,” kata Ndiaga Cisse, seorang nelayan dari Mbour, Senegal.
Komunitas nelayan dari 3 negara tersebut didukung oleh Greenpeace Asia Tenggara, Greenpeace Afrika, dan Greenpeace Internasional menyuarakan aspirasinya dalam momentum Hari Perikanan Sedunia dengan mengirimkan surat kepada pemimpin di tiap negaranya untuk menuntut perlindungan terhadap wilayah perairan penangkapan ikan tradisional masyarakat serta hak untuk mengelola wilayah pesisir agar berkeadilan bagi komunitas nelayan.
“Jika ekosistem laut sehat dan kita memiliki kekuatan untuk melindunginya dari aktivitas bisnis yang merusak, kita tidak hanya melindungi masa depan pulau (Sangihe) ini, namun juga memastikan kehidupan yang berkualitas bagi generasi masa depan kita,” kata Desmon.
“Itu sebabnya tahun lalu saya mengikuti kegiatan di New York untuk menyerukan Perjanjian Laut. Saya bertemu orang-orang yang telah berjuang seperti saya dan menyadari bahwa saya tidak sendirian. Tidak hanya laut Chana tetapi seluruh lautan memerlukan perlindungan. Satu hal yang harus dilakukan adalah agar pemerintah meratifikasi Perjanjian Laut, sehingga kita dapat memiliki peraturan yang melindungi laut, pangan, dan masyarakat pesisir,” kata Khaireeyah Ramanyah.
“Nelayan di Thailand dan Indonesia mempunyai permasalahan serupa. Jadi kami semua berusaha mengontrol perairan kami. Di sini, di pesisir, pemerintah harus mendukung kawasan konservasi laut, dan untuk melindungi ikan di lautan, mereka harus mendukung Perjanjian Laut,” kata Ndiaga Cisse.***
Tanggapan