Buntut UU Cipta Kerja: Rugikan Ekosistem Laut dan Masyarakat Pesisir, KORAL Desak Cabut Permen KP Nomor 25/2021

Setahun pasca disahkan UU Cipta Kerja membawa dampak langsung bagi berbagai sektor, tidak terkecuali perlindungan wilayah konservasi ekosistem laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

UU Cipta Kerja memberi sejumlah mandat pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengawasi kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan Rencana Tata Ruang dan atau Rencana Zonasi sehingga Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono mengeluarkan PERMEN KP Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penelitian Terpadu dan Penetapan Perubahan Status Zona Inti Pada Kawasan Konservasi.

Perubahan status zona inti pada kawasan konservasi perairan ini dilakukan untuk memperlancar penetapan proyek strategis nasional sebagai buntut dari UU Cipta Kerja.

Sejumlah organisasi lingkungan yang tergabung dalam Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) menilai Peraturan Menteri ini berpotensi merusak kawasan konservasi perairan atau Marine Protected Area (MPA).

Perwakilan koalisi dari Terangi, Safran Yusri mengatakan saat ini laut tidak dalam kondisi baik.

Menurutnya secara global kondisi perikanan tangkap di dunia juga sudah diambang batas karena sumber daya ikan semakin terbatas. 

“Jadi mau pakai teknologi apapun, tidak akan membuat ikan bertambah banyak. Melindungi zona konservasi dan zona inti adalah tugas bersama. Sebelum mengubah zona ini, pemerintah harus memastikan standar terbuka praktik konservasi sudah dipenuhi,” kata Safran Yusri dalam diskusi Webinar bertajuk Pengelolaan Konservasi Perairan Pasca UU Cipta Kerja, Permen Baru KKP Soal Zona Inti Untuk Siapa? yang digelar, Selasa 12 Oktober 2021. 

KORAL juga menilai Kawasan Konservasi Perairan ini harus dilindungi untuk membantu mengurangi dampak perubahan iklim yang berpotensi merusak ekosistem laut di masa mendatang.

Indonesia sebagai salah satu negara maritim terbesar, harusnya berkontribusi pada perlindungan kawasan konservasi. 

Disisi lain, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) punya peran besar bagi penghidupan masyarakat adat pesisir.

Jika zona inti ini terganggu, besar kemungkinan masyarakat adat pesisir akan kehilangan sumber mata pencaharian mereka. 

Direktur Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan, harusnya pemerintah bisa menghormati hak masyarakat adat termasuk menjaga dan menghormati wilayah adat yang dilindungi oleh masyarakat.

Namun faktanya, pemerintah melakukan eksploitasi dan perubahan pada zona inti dengan alasan pembangunan pyoyek strategis dan investasi. 

“Negara harus menghormati apa yang diakui sebagai entitas hukum masyarakat adat. Arman mempertanyakan apakah hukum adat diadopsi dalam hukum dan perundangan kita? termasuk soal konservasi dan UU pulau kecil? Logikanya, konservasi ala negara tidak boleh ada aktivitas apapun. Namun jika ada kerusakan biasanya masyarakat adat yg disalahkan. Padahal yang melakukan ekploitasi dan eksplorasi adalah pemerintah,” ujar Arman.

Karena itu, KORAL mendesak Menteri KKP menghapus bab II pada PP No.27 tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.

Koral juga meminta Menteri KKP mencabut PERMEN KP 25/2021 Tentang Penelitian Terpadu dan Penetapan Perubahan Status Zona Inti Pada Kawasan Konservasi. 

Baca juga: Potret Krisis Laut Indonesia

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan