Ikan Keumamah, Bukti Teknologi Pengawetan Ikan Tanpa Menggunakan Bahan Kimia

Pesatnya kenaikan jumlah penduduk di bumi ini, memaksa kita mencari solusi dalam upaya menyediakan bahan makanan yang ada. Tak urung, para peneliti dan ilmuwan harus memutar kepala guna memastikan kecukupan pangan bagi manusia yang ada di bumi ini.

Instan, ya hampir semua makanan saat ini berbentuk instan. Mudah diolah dan tahan lama adalah alternatif lain yang ditawarkan oleh para ilmuan serta penyedia makanan.

Mie instan, bumbu instan, daging kemasan serta ikan dalam bentuk kemasan juga mudah kita temukan di minimarket sampai kios kecil di ujung gang rumah kita, dan semuanya dapat dipastikan menggunakan bahan pengawet, walau dalam skala kecil.

Namun, pernahkah kita menyadari kalau Indatu (Para leluhur kita dalam bahasa Aceh) telah lama mengenal beberapa metode pengawetan bahan makanan yang bebas dari bahan pengawet.

Dan khusus untuk bahan makanan dari ikan ada banyak cara atau metode pengawetannya. Dari cara dikeringkan, sampai menggunakan metode pengasapan dan banyak lagi metode lainnya.

Keumamah atau ikan kayu adalah salah satu contoh bahan makanan yang dihasilkan oleh para indatu, dengan teknologi yang sangat ramah lingkungan, keumamah juga disinyalir bebas dari bahan pengawet seperti lazimnya bahan makanan lainnya yang telah diawetkan.

Seorang pedagang ikan kering di pasar Jalan Kartini Kota Banda Aceh, sedang merapikan dagangannya. / Foto: Ratno Sugito

Berbahan baku ikan tongkol, dan berkarakter sangat keras seperti sebuah batang kayu, ikan keumamah dapat tahan dua tahun lamanya sebelum diolah menjadi makanan yang sangat nikmat.

Dan masakan ini biasa disajikan sebagai menu wajib pada acara kenduri atau hajatan masyarakat setempat. Tak sulit untuk mendapati menu ini di kedai-kedai makan di wilayah Aceh karena bahan baku dan bumbunya mudah didapat.

Keumamah adalah teman lauk paling enak jika sedang bersantap siang bersama nasi putih yang masih hangat.

Ikan tongkol yang dijadikan bahan masakan berasal dari ikan yang telah dilakukan proses pengawetan dengan cara dikeringkan selama beberapa hari sehingga nyaris tidak ada lagi kandungan airnya.

Ikan yang dipilih sebagai bahan keumamah harus ikan yang masih segar. Kemudian ikan tadi dibersihkan isi dalam perutnya dan dibuang bagian kepalanya.

Lalu ikan direbus didalam air yang sudah ditaburi garam hingga setengah masak. Kemudian ikan diangkat dari tempat perebusan memakai wadah kayu serta dikeringkan di terik matahari.

Setelah kering, ikan kemudian dibelah menjadi dua bagian untuk dibuang bagian tulangnya. Tak jarang pula yang membelah ikan menjadi 3-4 bagian agar lebih mudah dalam pengerjaan pencabutan tulangnya. Kemudian dijemur kembali dengan cara diikatkan menggantung pada seutas kawat yang dibentangkan seperti tali jemuran.

Ini berguna agar kandungan air semakin menetes keluar dari tubuh ikan. Proses seperti ini dilakukan sekitar tiga hari dalam kondisi terik matahari.

Keumamah (Ikan Kayu). / Foto : Ratno Sugito

Hasilnya, membuat bobot ikan bisa berkurang hingga 70 persen dari berat ketika baru ditangkap. Tetapi jangan khawatir, cita rasa asli dari ikan tongkol yang gurih dan berlemak tetap dapat dirasakan.

Untuk dimasak sebagai keumamah, umumnya masyarakat Aceh memakai teknik memasak tumis kering basah. Bahan ikan kayu tadi diiris tipis-tipis kemudian direndam air panas beberapa menit sebelum dimasak dengan bumbu yang dicampur rempah.

Bumbu dasar keumamah adalah cabai rawit, cabai merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, ketumbar, jahe, batang serai, dan air secukupnya. Bahan lainnya adalah asam sunti, belimbing wuluh yang sudah dikeringkan kemudian diasinkan. Keumamah bisa juga dicampurkan dengan kentang untuk variasi isinya.***

Baca juga: Bermanja dengan Senja di Pantai Alue Naga, Aceh

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan