Tantangan dan Solusi Pelestarian Penyu di Rantau Sialang, Aceh Selatan
Sebagai salah satu negara negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi (megadiversity), termasuk penyu.
Sebanyak enam jenis penyu dilaporkan mendiami perairan laut Indonesia meliputi penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu pipih (Natator depresus) (Novitasari, 2018).
Sayangnya, berdasarkan daftar merah (red list) IUCN (International Union for Nature and Natural Resources) seluruh penyu tersebut masuk ke dalam kategori rentan (vurnerable), terancam punah (endangered) dan sangat terancam punah (critically endangered).
Mayoritas penurunan populasi penyu diakibatkan oleh faktor manusia berupa eksploitasi terhadap telur dan daging penyu, kerusakan pantai dan pencemaran.
Upaya konservasi penyu di Indonesia telah diatur melalui UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi (Fathi, 2015).
Salah satu upaya mengejawantahkan amanat dari Undang-Undang dan peraturan tersebut adalah dengan membangun stasiun-stasiun pembinaan dan pelestarian penyu di berbagai wilayah di Indonesia.
Sejauh ini, Provinsi Aceh baru memiliki dua stasiun pembinaan dan pelestarian penyu yang terletak di kawasan Rantau Sialang, Taman Nasional Gunung Lauser, dan Bangkarung, Pulau Banyak.
Namun demikian, aktivitas konservasi penyu di berbagai wilayah Aceh lainnya ikut juga dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat dengan dukungan pemerintah daerah.
Beberapa titik lokasi yang dilaporkan melalukan aktivitas pelestarian penyu adalah Kabupaten Simeulu, Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Utara, Aceh Selatan dan Aceh Singkil.
Tahun lalu, kami melakukan riset untuk mengkaji efektifitas kinerja stasiun pembinaan dan pelestarian penyu yang terletak di kawasan Rantau Sialang, Aceh Selatan.
Hasilnya kami menemukan beberapa tantangan mendasar yang mungkin juga dihadapi oleh lembaga konservasi penyu lainnya di Aceh.
Tantangan
Beberapa tantangan yang terobservasi yaitu (1) terbatasnya anggaran operasional dan jumlah petugas. Hal ini lantas menyebabkan upaya konservasi yang sudah diprogramkan tidak dapat berjalan secara optimal.
Sebagai contoh, meskipun diresmikan tahun 2010, namun pencataan terhadap temuan telur penyu disekitar stasiun konservasi penyu Rantau Sialang serta upaya penetasan secara semi alami baru dilakukan mulai tahun 2014.
Sementara itu pencataan terhadap induk penyu yang mendarat baru dilakukan sejak tahun 2017. Hal ini baru dapat terealisasi setelah mendapat tambahan anggaran operasional dan petugas stasiun. Dampak lain yang ikut muncul dari problematika ini adalah berkurangnya efektivitas monitoring baik dari segi luasan dan frekuensi.
Tidak adanya fasilitas monitoring yang memadai membuat petugas kesulitan menjangkau seluruh kawasan konservasi. Disamping juga, aktivititas monitoring tersebut tidak dapat dilakukan secara berkala.
Lemahnya monitoring pantai akan berdampak pada semakin sedikitnya telur penyu yang dapat direlokasi untuk ditetaskan pada fasilitas yang tersedia.
Sejauh ini, jumlah telur yang berhasil dikoleksi dan ditetaskan oleh stasiun konservasi penyu yang berlokasi di Aceh masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan stasiun konservasi penyu di wilayah indonesia lainnya. Di sisi lain, lemahnya monitoring juga akan meningkatkan potensi ekploitasi telur penyu secara ilegal.
(2) Kurangnya keterampilan petugas dan masyarakat dalam menangani telur penyu. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya daya tetas telur penyu secara semi alami adalah penanganan telur yang tidak baik selama proses pemindahan dari sarang alami ke fasilitas penetasan.
Banyak masyarakat yang bersikap kooperatif mendukung upaya pelestarian penyu salah satunya dengan menyerahkan telur penyu ke stasiun konservasi setelah dikoleksi dari sarang. Sayangnya, kurangnya keterampilan dalam menangani dan mentrasnportasikan telur penyu membuat probabilitas penetasan menjadi jauh berkurang.
(3) Persepsi masyarakat sekitar yang belum peduli. Hasil kajian mengungkapkan bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa mayoritas masyarakat di sekitar kawasan konservasi masih rutin mengonsumsi telur penyu minimal setahun sekali pada saat musim penyu bertelur.
Alasan responden mengonsumsi telur penyu karena memiliki rasa yang lebih enak serta dipercaya mampu meningkatkan stamina dan peredaran darah serta mengobati sesak nafas. Bahkan tidak sedikit responden yang masih berpendapat bahwa ekploitasi telur penyu justru memiliki dampak positif secara ekonomi dan wisata yang berdampak pada menigkatnya penghasilan.
Solusi Pelestarian Penyu di Aceh
Upaya mencari pemikiran dan rencana tindak lanjut solutif dalam rangka menyikapi tantangan terkait pelestarian penyu di Aceh khususnya Rantau Sialang perlu digalakkan dan mendapat perhatian, khusususnya oleh lembaga terkait.
Berikut adalah solusi yang dapat dipertimbangkan dalam menyikapi tantangan yang dihadapi:
(1) Mengupayakan tambahan alokasi anggaran serta peningkatan jumlah personil korservasi. Tambahan alokasi anggaran dapat diupayakan berasal dari APBA, APBD, Corporate Social Responsibility (CSR) maupun dana-dana lain dari lembaga swadaya masyarakat di bidang konservasi.
Disamping itu, pemanfaatan dana gampong untuk mendukung upaya konservasi dan/atau mengembangkan konsep pengembangan ekonomi gampong berbasis konservasi wilayah layak untuk diperbincangkan.
Sementara itu, tambahan personil khusunya secara temporal dapat diupayakan berasal dari relawan masyarakat sekitar atau mahasiswa-mahasiswa melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Berbagai stakeholder terkait juga diharapkan aktif mempromosikan program pelestarian penyu di Aceh sehingga mampu meningkatkan atensi dan bantuan dari berbagai pihak.
(2) Meningkatkan keterampilan petugas dan masyarakat dalam menangani telur penyu dan tukik. Upaya ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan terkait yang diperlukan.
Perguruan tinggi di Aceh selayaknya mengambil peran dengan menjadikan penelitian, pengabdian, inovasi dan invensi teknologi yang mendukung konservasi penyu sebagai bagian dari program prioritas unggulan.
Disamping itu, kawasan korservasi penyu juga dapat dijadikan sebagai kawasan binaan atau kawasan mitra dari perguruan tinggi. Jika dilakukan secara kolektif dan simultan maka hal ini akan mampu menambah pengetahuan, inovasi dan keterampilan petugas serta masyarakat sekitar dalam menangani telur penyu dan tukik.
(3) Menggalakkan sosialisasi konservasi dan menyediakan alternatif mata pencaharian terutama kepada masyarakat sekitar. Kegiatan sosialisasi seyogyanya dilakukan lebih intensif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan media.
Jarangnya frekuensi sosialiasi akan membuat persepsi masyarakat akan sangat mudah untuk kembali berubah. Dengan sosialisasi, masyarakat sekitar akan mendapatkan informasi akurat terkait dampak kesehatan, dampak lingkungan dan dampak hukum dari konsumsi dan eksploitasi telur penyu.
Inisiasi program ekonomi alternatif berupa ekowisata dan eduwisata perlu dikaji untuk mengurangi ekploitasi telur penyu di sekitar kawasan konservasi yang secara bersamaan juga dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
Sebagai renungan, bahwa tingginya angka kemiskinan disuatu daerah berpotensi menciptakan tindakan destruktif terhadap sumberdaya alam. Sebaliknya, tindakan deskruktif terhadap sumberdaya alam merupakan cikal bakal kemiskinan di masa akan datang.***
Baca juga: Spearfishing: Hobi dan Cara Menangkap Ikan yang Ramah Laut
Editor: J. F. Sofyan
well said. I do appreciate this article, as part of Aceh, islander from Banyak Island, I do fee that Penyu or sea turtle are critically endangered atm, most particularly in my island, their existence matters.