Save Seafishers! Melawan Perbudakan di Kapal Ikan

saveseafishers.com

Beberapa di antara kalian pasti ada yang doyan makan ikan. Tinggal di negara maritim seperti Indonesia, membuat sumber Omega-3 itu seolah tak pernah absen di meja makan. 

Jauh sebelum ikan-ikan itu sampai di piring kita, ternyata ada cerita yang menyedihkan. Bukan dongeng tentang ikan yang kehilangan anaknya, tapi kisah nyata perbudakan yang dialami awak kapal perikanan (AKP), atau yang selama ini kita kenal juga dengan sebutan anak buah kapal (ABK). 

Jerat Perbudakan di Kapal Ikan

Lowongan bekerja di kapal ikan tak pernah kehabisan peminat. Di berbagai tempat, dari selebaran yang ditempel di tiang listrik hingga unggahan di media sosial, iklan lowongan kerja di kapal ikan berseliweran dengan syarat yang relatif mudah dan tawaran gaji yang menggiurkan. Belum lagi julukan “pahlawan devisa” yang disematkan karena mereka akan terhitung sebagai pekerja migran.

Aktivis menggelar aksi teatrikal memperingati Hari Buruh Migran Internasional setiap tanggal 18 Desember di depan kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang, Jawa Tengah. Greenpeace Indonesia, Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Brebes, Tegal dan Slawi (BEM Bregas) mendesak Gubernur Jawa Tengah untuk melindungi awak kapal migran nelayan yang sebagian besar berasal dari kota-kota di Provinsi Jawa Tengah dan bekerja. di kapal penangkap ikan asing, dari perlakuan perbudakan modern di laut.

Alasan ekonomi, ditambah lapangan kerja yang makin sulit dicari, mendesak orang-orang pergi melaut sebagai AKP migran di kapal ikan jarak jauh yang kebanyakan berbendera negara asing. 

“Nenek moyangku seorang pelaut

Gemar mengarung luas samudra

Menerjang ombak, tiada takut..”

Cuplikan lagu anak-anak, Nenek Moyangku, mungkin tak lagi terlalu relevan untuk kondisi saat ini. Sebab yang perlu ditakutkan oleh seorang nelayan, terutama AKP migran, sekarang bukan hanya ombak dan samudra luas, melainkan juga ancaman menjadi korban kerja paksa yang bahkan bisa hingga membuat hilang nyawa.

Syamsul, mantan awak kapal Lu Huang Yuan Yu 188, merupakan satu dari sekian banyak korban eksploitasi pekerja di kapal perikanan. Dalam kondisi takut dan badan yang menahan beragam rasa sakit, Syamsul mendapat fakta bahwa salah satu rekannya tewas dan disimpan di lemari pendingin bersama kotak-kotak kardus berisi cumi-cumi.

Karena pada 2020, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat peningkatan jumlah aduan kasus kerja paksa di laut yang dialami AKP migran asal Indonesia di kapal ikan asing–dari 86 aduan di tahun 2019, menjadi 104 aduan.

Praktik perbudakan modern di kapal perikanan ternyata erat kaitannya dengan praktik Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUUF) yang mengancam keamanan dan kelestarian laut. Ketika stok ikan menurun, pelaku industri maritim akan memangkas biaya produksi, salah satunya dari upah para awak kapalnya. 

Sebagai akibatnya, para AKP bekerja dalam kondisi kerja yang buruk, jam kerja yang panjang, dan gaji yang kerap tak dibayarkan. Permasalahan ini akan sulit diurai karena si pemilik kapal ikan sudah nyaman  dengan “keuntungan” yang didapatkan.

Selamatkan Nelayan, Kampanyekan Save Seafishers

Apa yang dialami AKP migran di kapal ikan akhirnya menjadi sorotan berbagai pihak. Greenpeace yang bergerak untuk pelindungan lingkungan secara global juga turut mengampanyekan isu tersebut.

Sejumlah investigasi tentang praktik perbudakan di kapal ikan jarak jauh dan perikanan ilegal yang dilakukan Greenpeace Asia Tenggara bersama SBMI dirangkum dan bisa diakses secara luas melalui Save Seafishers

Kehadiran platform ini diharapkan menjadi mercusuar perubahan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap pelanggaran HAM di kapal perikanan serta dampak lingkungan yang menyertainya.

Melalui kolaborasi antara Greenpeace Asia Tenggara, SBMI, dan Environmental Justice Foundation (EJF), kampanye Save Seafishers berusaha mendesak pemerintah negara-negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, untuk segera mengambil tindakan nyata dalam mengakhiri praktik perbudakan dan perdagangan orang di kapal perikanan. Termasuk juga meratifikasi ILO C-188 yang mengatur secara rinci langkah perlindungan pekerja di sektor perikanan.

Save Seafishers sebagai Platform Bersama

saveseafisher
Tangkapan Layar Website Save Seafishers

Tidak hanya menjadi platform visualisasi laporan investigasi Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI, Save Seafishers juga dilengkapi dengan sejumlah fitur penting, mulai dari halaman berita, tautan menuju berbagai dokumen laporan yang dapat diunduh, hingga informasi tentang acara-acara yang berkaitan dengan upaya pelindungan awak kapal perikanan.

Pada halaman berita, pengunjung website dapat membaca berbagai berita mengenai kondisi kerja AKP migran. Berikutnya pada halaman isu, disajikan sejumlah peristiwa yang menyangkut IUU Fishing, perbudakan modern, hingga isu-isu di sektor kelautan dan perikanan secara luas.

Pengunjung juga bisa melihat upaya-upaya yang telah dilakukan Greenpeace bersama SBMI dan EJF melalui laporan yang dipublikasikan di Save Seafishers. Jika berminat memberikan dukungan terhadap perlindungan AKP migran, pengunjung pun dapat menandatangani petisi pada halaman yang telah disediakan.

Selain itu, berbagai agenda atau kegiatan kampanye perlindungan AKP migran dapat diikuti oleh masyarakat secara luas melalui undangan yang disematkan pada halaman event. Salah satu contohnya saat penyelenggaraan workshop perlindungan laut dan AKP migran di ASEAN People’s Forum pada 2 September 2023 lalu. Kalian juga bisa menautkan agenda acara yang ingin dihadiri ke kalender Google. 

Eksistensi Save Seafishers diharapkan dapat menjadi sebagai sarana penting untuk menyuarakan dan mengawal pelindungan terhadap AKP migran. Silakan berkunjung dan menjelajahi website Save Seafishers!***

Editor: J. F. Sofyan

Baca juga:

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan