Perjalanan Koalisi Masyarakat Sipil-Tim 9 Mendorong Pemerintah Indonesia Ratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) “Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan”

ILO K 188 , Nelayan Migran, AKP

Apa salah satu masalah dan ancaman terbesar yang dimiliki laut kita? Perbudakan modern terhadap Awak Kapal Perikanan (AKP) Indonesia. Ini adalah masalah turunan dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang marak di Indonesia.

Perbudakan modern ini memiliki kaitan erat dengan penangkapan ikan berlebih dan penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) yang mengancam keberlanjutan ekosistem laut.

Meratifikasi ILO K-188 menjadi solusi regulasi yang bersifat transnasional. Sayangnya, ikhtiar baik ini juga bukan tanpa hambatan. Banyak yang menghalangi kelahiran regulasi ini karena satu dan lain hal. Apakah regulasi lintas negara ini akan segera terealisasi?

Indonesia Tertinggal oleh Thailand untuk Keseriusan Melindungi Awak Kapal Perikanan (AKP)

ikan laut, AKP

Terdapat beberapa persoalan yang menjadi hambatan pemerintah Indonesia dalam membangun kecepatan untuk membuat kebijakan pelindungan pekerja sektor perikanan transnasional ini.

Menurut keterangan salah satu anggota koalisi masyarakat sipil kepada tim redaksi terungkap bahwa pemerintah belum memiliki data atau dokumentasi yang baik dan terintegrasi untuk awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan lokal maupun luar negeri. 

Perbincangan pemerintah Indonesia soal ratifikasi ILO K-188 telah diwacanakan sejak 2019 silam namun hingga kini belum kunjung terwujud. Sementara negara tetangga, Thailand sudah berhasil meratifikasi pada tahun tersebut (2019).

Indonesia sudah tertinggal oleh Thailand. Thailand merupakan negara pertama di Asia dan satu satunya yang meratifikasi ILO K-188. Thailand mendapat yellow card dari Uni Eropa yang merupakan salah satu negara pasar terbesar untuk Thailand, hal itu kemudian mendorong Thailand lebih cepat meratifikasi ILO K-188.

Melihat jumlah Awak Kapal Perikanan, Jumlah AKP Thailand jauh lebih sedikit dibanding Indonesia. Seharusnya Indonesia lebih bersemangat dan memimpin mengingat jumlah AKP Indonesia jauh lebih besar dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya dan tidak perlu menunggu semacam boikot atau yellow card dari negara pasar seperti Amerika dan Uni Eropa.

Momentum Deklarasi ASEAN tentang Penempatan dan Perlindungan Nelayan Migran (AKP) dan Rumitnya Integrasi Lintas Kementerian

Disahkannya Deklarasi ASEAN tentang Penempatan dan Perlindungan Nelayan Migran membawa angin segar.

Melalui pertemuan KTT ASEAN yang terjadi di Labuan Bajo pada bulan Mei yang lalu, para pemimpin ASEAN sudah mengakui bahwa sektor perikanan berkontribusi besar pada ekonomi Asia Tenggara.

Dalam turunannya secara lebih teknis, selama Tim 9 dan masyarakat sipil bekerja, akhirnya Tim 9 berhasil mendorong Kemlu dan Kemenkomarves untuk terlibat aktif pada proses pelindungan AKP ini.

Salah satu kemajuan kecil dengan adanya rencana ratifikasi ILO K-188, akan tetapi masih membutuhkan kesiapan Kemnaker untuk memimpin ratifikasi ini. 

Bukan tanpa kesulitan lainnya, persoalan pelindungan AKP ini berada dalam lingkup tugas dan tanggung jawab lintas kementerian di Indonesia. Pada sisi lain antara KKP dan Kemenhub dengan Kemnaker berada di bawah kementerian koordinator yang berbeda, hal ini menjadi hambatan tersendiri. 

Sejauh ini, Kemnaker belum menunjukan signal kesiapan, mengingat ada trauma pada kasus MLC 2006, dengan sahnya dokumen kebijakan tetapi harmonisasi koordinasi antar kementerian sulit terjadi.

Selain kesulitan antar Kementerian tersebut, masih terjadi pemahaman yang salah terhadap nilai-nilai ILO K-188 baik di rumpun pemerintahan dan masyarakat.***

Baca juga: Menanti Implementasi dari Deklarasi ASEAN “Penempatan dan Pelindungan Nelayan Migran”

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan