Tambang Terus Beroperasi, Bagaimana Nasib Ekosistem Mangrove di Teluk Binebas Sangihe?

Pertambangan emas sangihe, teluk binebas.

Teluk Binebas merupakan sebuah kawasan pesisir di tenggara Kepulauan Sangihe, dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam dari pusat Kota Tahuna.

Di pesisir teluk Binebas terdapat ekosistem mangrove seluas 179,4 ha yang menjadi habitat bagi berbagai biota laut yang ada di pesisir pantai Tabukan selatan. 

Di wilayah teluk ini, terdapat perkampungan warga pesisir Kampung Binebas dan tepat di seberangnya juga terdapat perkampungan warga Desa Bulo (Kampung Bulo).

Sebagian besar masyarakat di desa ini memanfaatkan laut termasuk area mangrove ini sebagai area perikanan tradisional warga, area wisata mangrove, serta menjadi tempat pusat restorasi dan penelitian mangrove.

“Ekosistem mangrove di teluk Kampung Binebas ini sudah dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat wisata mangrove, makanya sudah dibuat tempat pelabuhan perahu, udah jadi tempat pusat restorasi dan penelitian juga, dan kami juga tahun 2013 sudah pernah mendata ekosistem mangrove di sini,” ujar Jhonli Mamuka, seorang pegiat lingkungan di Sangihe.

Mangrove dan sampan teluk Binebas
Perahu sampan nelayan kecil di ekosistem mangrove Teluk Binebas, Sangihe. / Foto: Friska Kalia / Greenpeace

Sayangnya kawasan ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai penyaring kualitas perairan pesisir dan sebagai wilayah aktivitas perikanan masyarakat di Teluk Binebas ini terancam keberadaannya oleh pertambangan emas. 

Pasalnya di area mangrove tersebut terdapat aktivitas pertambangan ilegal tanpa izin (PETI) yang terus beroperasi hingga saat ini. Selain ancaman dari PETI, area mangrove di Binebas ini juga masuk ke dalam peta perencanaan pertambangan PT. TMS.

“Nah, yang jadi masalah sekarang kan di depan situ ada tambang yang sudah beroperasi. Seingat saya dulu di situ jadi tempatnya mereka untuk mencari kepiting bakau, dan kerang-kerang. Sekarang tidak ada lagi aktivitas di situ untuk mencari kepiting bakau karena khawatir limbah, karena juga kemarin kita sudah melihat sendiri satu keluarga yang mencari  kerang lantas keracunan,” ujar Jhonli.

Sangihe, tambang emas
Area pertambagan emas tanpa izin (PETI) yang telah menggerus ekosistem mangrove di Teluk Binebas, Sangihe. / Foto: Alif R Nouddy Korua / Greenpeace

Selain memberikan fungsi ekonomi bagi masyarakat sekitar, hutan mangrove memiliki fungsi ekologi sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, serta penyaring aliran sedimen dari daratan sebelum akhirnya masuk ke laut. Ekosistem mangrove juga berperan penting sebagai penyerap karbon sebagai solusi alami melawan krisis iklim.

Sebagian area mangrove di wilayah ini -yang sekarang menjadi area penambangan emas ilegal bahkan sudah terjadi deforestasi. Telah menimbulkan kekhawatiran serta dampak buruk terhadap nelayan akibat limbah tambang dan menghilangkan sebagian sumber pangan dan mata pencaharian nelayan tradisional seperti nelayan speargun dan nelayan teripang di teluk Binebas.

“Sebagian besar masyarakat Kampung Bulo merupakan nelayan speargun, mereka mencari ikan di perairan yang dekat area mangrove di teluk ini. Dulu ikannya melimpah di situ, sampai sekarang juga sebenarnya masih ada ikan tapi masyarakat sudah takut karena kondisi tercemar. Selain nelayan speargun, nelayan di sini juga nelayan teripang. Dulu mereka mencari teripang 100 ekor sangat mudah di area mangrove situ, tapi sekarang masyarakat udah takut untuk mengambil daerah situ. Menurut cerita beberapa nelayan yang pernah menyelam di situ mereka pernah merasakan gatal-gatal di kulit,” ujar Jhonli.

Hutan mangrove yang berada tepat di area tambang emas memiliki status hutan lindung yang seharusnya dilindungi. Hilangnya ekosistem mangrove akan berdampak terhadap keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya seperti ikan-ikan, kepiting bakau, kerang-kerangan, burung, hingga mamalia.

“Otomatis rusak dan mati, dari dulu masyarakat sudah menjaga mangrove karena sudah merasakan manfaatnya, gak kena gelombang atau terlindungi. Sebenarnya area mangrove yang paling luas itu berada pas di bawah areal tambang itu, dan termasuk hutan lindung. Harusnya gak boleh di apa-apain,” ujar Jhonli.

Jhonli berharap agar pemerintah mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya untuk melindungi mangrove, dan menciptakan keadilan bagi kehidupan pesisir.

“Pemerintah bukan tidak tahu bahkan sudah menjadi rahasia umum, tapi seolah tutup mata, mungkin. Semua pemerintah, apalagi ada beberapa dinas yang tupoksinya di situ, bekerjalah sesuai tupoksi yang ada, jangan tutup mata,” ujar Jhonli.

Saat ini, masyarakat tengah menghadapi kukuhnya rencana operasi pertambangan emas PT. TMS dan jika rencana pengembangan dan perluasan pertambangan tersebut dilakukan maka berpotensi memperluas ancaman deforestasi mangrove serta kondisi laut di teluk Binebas yang diduga akan mengalami degradasi yang lebih parah dan lebih jauh akan berdampak terhadap mata pencaharian nelayan kecil yang hidup di sekitarnya.***

Baca juga: Kawasan Konservasi Perairan di Kepulauan Sangihe, Inisiatif Lokal untuk Melindungi Kehidupan Laut dan Pesisir

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan