Anak Anak Pencari Rupiah Di Lautan

“Hidup memang kerap kali tidak adil”

Hal itu adalah anggapan yang tepat saat kita melihat ke sisi kehidupan anak-anak yang berjuang mencari nafkah untuk bisa menghidupi dirinya dan mengorbankan masa kecilnya mereka atau bahkan mengorbankan nyawanya sendiri demi sesuap nasi, dan bagi anak-anak itu laut adalah tempat mereka mencari pundi-pundi rupiah.

Di tengah hiruk pikuknya kehidupan di Pelabuhan terutama di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi akan selalu ada anak anak yang berenang telanjang dada, tanpa alat menyelam yang lengkap. Anak anak tersebut sering disebut sebagai anak logam atau anak koin.

Kebanyakan dari anak logam tersebut berumur belasan tahun, tugas mereka ialah menyelam dilautan ataupun dengan beratraksi lompat dari kapal ke laut, dengan begitu para penumpang pun terhibur dan akan memberikan anak-anak itu uang koin dengan cara melemparkannya ke laut.

Pekerjaan yang dilakukan oleh anak anak ini bukan tanpa risiko. Setiap kali anak anak tersebut melakukan perburuan koin risiko yang mengincar mereka sangat besar.

Saat si anak logam ini akan melakukan atraksi dengan melompat dari dek kapal, anak anak tersebut bisa saja terpeleset hingga badan mereka membentur badan kapal yang dapat menyebabkan tubuh memar hingga patah  dan bisa saja terkena baling baling kapal, ataupun lebih fatalnya lagi dapat menyebabkan kematian.

Seperti pada tahun 2017 lalu seorang anak pemburu koin berumur 11 tahun di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur mengalami memar, dan retak tulang tengkorak di karenakan saat ingin melakukan atraksi lompat dari kapal dan terbentur badan kapal yang mengakibatkan anak itu mengalami kecelakaan yang mengenaskan.

Kebanyakan anak anak tersebut melakukan pekerjaan yang mereka lakoni karena tuntutan ekonomi yang mengakibatkan mereka mau tidak mau terjun ke laut dan mencari peruntungan walau membahayakan diri mereka sendiri, pendapatan mereka pun beragam mulai dari 20 ribu hingga 70 ribu tergantung dengan ramai nya penumpang yang menaiki kapal, ramainya pengunjung berlangsung saat menjelang hari raya Idul Fitri ataupun tahun baru

Namun tak hanya anak koin saja yang menjadi potret mengerikan di mana anak kerap kali menjadi korban agar dapat terlepas dari tuntutan ekonomi, di lepas pantai timur, Sumatera Utara Anak-Anak yang rentang usia nya berkisar 12-17 tahun terpaksa bekerja di suatu tempat penangkapan ikan bernama Jermal.

Ditempat itu mereka terpaksa bekerja tanpa jam kerja yang jelas, dan harus berada di tengah lautan dengan kurun waktu hingga 3 bulan dan terpaksa meninggalkan bangku sekolah.

Selama di Jermal anak anak tersebut terpaksa hidup mengenaskan dengan tuntutan dari mandor/bos mereka dan jika mereka melawan mandor mereka maka anak itu akan dimarahi habis-habisan dan yang lebih parah nya lagi bisa saja di ceburkan ke laut oleh sang mandor. Dengan tekanan yang sangat keras dari pekerjaan mereka.

Aktivitas yang dilakukan di Jermal sendiri tergolong berat bagi anak anak, aktivitas yang mereka lakukan sehari hari ialah menarik jaring dengan menggunakan katrol yang sering disebut dengan penggilingan. Ada sekitar 10 hingga 15 katrol yang diputar secara bersamaan, dan jika tidak dilakukan disaat yang bersamaan maka risiko yang didapatkan ialah terkena hantaman katrol dan dapat terlempar kelaut.

Penggilingan yang melelahkan dapat berlangsung hingga 2 jam, setelah melakukan penggilingan, para pekerja anak di Jermal harus menyortir ikan tangkapan tadi satu persatu, hal itulah yang menyebabkan pekerja anak di Jermal memiliki jam istirahat yang sedikit.

Upah yang mereka hasilkan pun jauh di bawah rata rata, anak-anak di Jermal setelah bekerja selama 3 bulan lamanya hanya mendapatkan upah dikisaran  Rp75.000-Rp120.000, bayaran yang sungguh tidak wajar dengan pekerjaan seberat dan jam waktu yang sebanyak itu. Para anak anak di Jermal berhak mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan mengenyam Pendidikan dan menikmati masa kanak-kanak mereka

Dari para anak-anak koin di Pelabuhan hingga pekerja anak di Jermal mengajarkan bahwa mempekerjakan anak di bawah umur adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan, bahwa kemiskinan bukanlah suatu alasan bagi seorang anak untuk bekerja atau dipekerjakan di umur yang semuda itu, dan pemerintah seharusnya lebih mempedulikan dan berperan untuk menurunkan angka pekerja anak di Indonesia.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan