Laut Yang Melahirkan Nusantara

Menjaga laut adalah melestarikan sejarah, sebab laut telah menjadi ruang dan waktu bagi berbagai peristiwa yang mendorong terbentuknya sesuatu yang kelak bernama Indonesia. Berbagai peristiwa kemanusiaan direkam dan disimpan di sana. Ia saksi kejayaan Nusantara di masa lampau.

Dari laut lah negeri kita mengalami berbagai perjumpaan dengan negeri-negeri lain di dunia. Dari sana juga kita dengar kisah tentang cengkeh, lada, dan pala, dan tentang hasrat para penjelajah untuk mencapai pulau-pulau misterius di ufuk Timur, pulau-pulau yang juga dikelilingi oleh lautan dan tertutup kabut.

Laut telah menjadi nenek moyang kita, ia yang melahirkan Nusantara.

Di masa lampau, kapal-kapal asing berdatangan, membawa berbagai hal, dan mengambil berbagai hal. Jauh sebelum kolonialisme, sekitar abad 8-12 M, bahkan sebelum aksara diperkenalkan, laut telah menjadi media penyebaran berbagai hal, tak hanya berbagai barang dagangan dan rempah-rempah, tapi juga aksara, agama, kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya.

Laut menjadi andalan utama bagi kerajaan-kerajaan maritim Nusantara dulu, di antaranya yang tertua dan terbesar, Sriwijaya, yang menjalin relasi dengan berbagai negara lain, India, Burma, Siam, Kamboja, China, Arab, Persia, bahkan hingga Afrika. Ia juga memiliki angkatan laut yang mumpuni. Ia menjadi pusat perdagangan dan pendidikan pada waktu itu, dan menjadi pusat dari kekuatan armada laut di Asia Tenggara.

Berabad-abad setelah bangsa Timur Tengah menamai negeri kita “Tanah di Bawah Angin,” karena lautnya merekam perubahan arah angin, menjadi kunci dari pelayaran Utara-Selatan. Berbondong-bondong orang berlayar menuju utara lewat laut menyusuri segala teluk membawa barang dagangan.

Hingga suatu hari dunia dikejutkan oleh sebuah kapal yang demikian besar dan konon kebal meriam. Ialah Jung Jawa, yang mampu memuat sekitar 1000 orang dan 2000 ton barang dagangan. Ia menjadi ikon dari kejayaan maritim kita.

Namun Kejayaan Jong Jawa surut seiring dengan berbaliknya arus, dan redupnya laut oleh karena kekuasaan yang berganti, kejayaan yang menyusut, berpindah ke daratan. Mereka yang di lautan, suku-suku laut pun pamornya meredup, meringsut ke tepian, dan mencoba menghidupi diri dengan apa yang ada di situ, tak lagi bekerja untuk kerajaan-kerajaan maritim Nusantara, sebab arus kekuasaan tengah berpindah ke Daratan, perlahan-lahan.

Orang-orang laut yang masih hingga kini hidupnya bergantung di laut terdesak ke daratan karena laut makin dirasa tak bisa menjanjikan apa-apa – begitulah ini semua menjadi bukti bahwa laut kita menuju kerusakan.

Laut kita memang tak lagi sama, dan negeri kita tak lagi tersembunyi di antara kabut dan angin, tapi rekaman laut atas segala sesuatu yang terjadi tetap sama.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan