Regulator Polutan Ramah Lingkungan

Berbagai kegiatan seperti perindustrian, pertambangan, transportasi, dan teknologi informasi menyebabkan banyak polutan yang mencemari lingkungan dan merugikan manusia. Salah satu polutan yang sangat merugikan bagi manusia adalah logam berat seperti tembaga, uranium, mangan, timbal, dan cadmium yang berada di lingkungan seperti sungai, muara, danau, dan laut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Sleman tahun 2013 menyatakan bahwa beberapa sungai yang melewati kabupaten Sleman mengandung cemaran logam berat dan E.coli. Seperti Sungai Winongo yang mengandung timbal mencapai 0,5 miligram/liter dan bakteri E.coli 204 ribu/milliliter (Rachmad, 2013).

Padahal menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 416 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air tahun 1990 menyebutkan bahwa jumlah batas maksimal timbal yaitu 0,05 miligram/liter dan mikrobiologi 50/milliliter. Akibatnya air sungai tersebut dinyatakan tidak layak untuk bahan baku air minum, karena dipengaruhi oleh cemaran logam berat dan mikrobiologi yang disebabkan oleh limbah industri serta septic tank warga yang dialirkan ke sungai.

   Sumber : Pengajar.co.id

Metode penghilangan logam berat pada cairan limbah industri sangat penting untuk kehidupan masyarakat sebagai upaya untuk daur ulang dan menghilangkan cemaran. Namun remediasi logam dengan metode fisika-kimia masih sangat mahal dan tidak ramah lingkungan, sehingga teknik bioremoval logam berat dengan memanfaatkan mikroalga menjadi suatu alternatif di lingkungan perairan.

Salah satu mikroalga yang dapat dimanfaatkan sebagai regulator polutan adalah Chlorella sp. Chlorella sp adalah mikroorganisme fotosintetik ber-sel tunggal yang dapat bersimbiosis dengan bakteri pengurai untuk mempercepat proses metabolisme.

Menurut Selvika (2016), Chlorella sp dapat hidup dalam lingkungan tercemar karena memiliki Phytohormon dan Polyamine untuk adaptasi pada lingkungan air yang tercemar logam berat. Chlorella  juga dapat menyerap logam berat karena didukung dengan kemampuan beradaptasi, bertumbuh dan dapat digunakan sebagai bioremediator.

Sumber :baninugrahablogger.blogspot.com

Dampak Pencemaran Logam Berat di Lingkungan 

Cemaran logam berat biasanya terdapat pada sedimen. Pada umumnya, logam berat tidak berbahaya tetapi pada kondisi tertentu seperti perubahan pH dapat menyebabkan logam berat terionisasi ke perairan. Ketika logam berat mencemari perairan maka saat itulah logam berat bersifat racun.

Cemaran logam berat dapat merusak keanekaragaman hayati dan perairan. Kerusakan ekosistem perairan akibat cemaran logam berat dipengaruhi oleh sifat toksisitas atau racun dan  bioakumulasi yang masuk dalam lingkungan perairan. Tingkat toksisitas/racun logam berat terhadap makhluk hidup tergantung pada spesies, umur, dan daya tahan individu untuk bertahan diri dari cemaran.

Berdasarkan efek toksisitas, logam berat dapat dibedakan menjadi logam berat essensial dan non-essensial. Dalam jumlah tertentu, logam berat essensial sangat dibutuhkan oleh organisme hidup. Namun, dalam jumlah berlebihan akan menimbulkan sifat racun (toksik).

Contoh logam berat essensial adalah Zinc (Zn), Tembaga (Cu), Besi (Fe), Carbon dioksida (Co), dan Mangan (Mn). Sedangkan logam berat non-essensial yaitu logam  berat yang terdapat dalam tubuh tetapi belum diketahui manfaat dan sifat racunnya. Contoh logam berat non-essensial adalah Mercury (Hg), Cadmium (Cd),  Timbal (Pb), dan Tembaga (Cu).

Racun yang terdapat dalam logam berat dapat menimbulkan gangguan metabolisme pada manusia tergantung di bagian mana logam berat tersebut terikat di dalam tubuh. Racun logam berat juga dapat menghambat kerja enzim, menyebabkan alergi, mutagen, teratogen/karsinogen bagi manusia. Logam berat juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit, pernapasan, dan pencernaan (Yu, 2004).

Kebanyakan dampak negatif dari cemaran logam berat adalah merugikan manusia. Apabila polutan mencemari lingkungan, polutan tersebut akan masuk ke dalam rantai makanan yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Apabila telah dikonsumsi oleh manusia maka akan menyebabkan gangguan-gangguan pada organ tubuh, bahkan hingga kematian.

Pencemaran ini menimbulkan banyak dampak negatif yang merugikan manusia. Oleh karena itu perlunya perhatian pemerintah untuk mengendalikan cemaran-cemaran yang dihasilkan dari limbah industri dengan melalui berbagai metode seperti menggunakan chlorella sebagai agen remediasi logam berat.

Potensi Clorella sp Sebagai Regulator Polutan

Chlorella dapat tumbuh dan berkembang dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, karena dapat menyerap logam berat dengan mekanisme menangani toksisitas atau racun dari logam berat di dalam sel. Untuk itu Chlorella menggunakan antioksidan, enzimatik dan non-enzimatik sebagai sistem pertahanan, yang dirancang untuk mengatur dan mengontrol serangan radikal bebas (ROS).

Selain itu salah satu bentuk pertahanan yang juga berperan sebagai donor dan akseptor electron adalah protein karena termasuk enzim yang mengandung asam amino cystein. Cystein juga berfungsi untuk mengikat radikal bebas (ROS). Namun jika logam berat yang terikat berlebih akan menyebabkan sel terganggu dan akhirnya mati dengan bentuk yang tidak utuh.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) tahun 2014, biakan Chlorella sp yang didapat dari Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo telah diujikan pada logam Cadmium cloride (CdCl₂).

Pada konsentrasi 0mg/L CdCl₂, pertumbuhan Chlorella sp mencapai 100% dari jam ke-0 hingga jam ke-5. Namun pada konsentrasi 5mg/L, 10mg/L, dan 15mg/L terjadi penurunan jumlah sel hidup Chlorella sp. Pada konsentrasi 15mg/L CdCl₂ menunjukkan presentase jumlah sel hidup mencapai 50%.

Oleh karena itu konsentrasi maksimal yang dapat ditolelir oleh Chlorella adalah 15mg/L dengan tujuan tetap hidup dan menjadi agen bioremediasi. Berdasarkan penelitian tersebut menyebutkan bahwa Chlorella resisten terhadap logam berat Cadmium cloride.

Oleh karena itu, Chlorella dapat dijadikan sebagai agen bioremediasi logam berat di suatu lingkungan yang tercemar dengan melakukan perhitungan yang tepat pada suatu perairan lalu membiarkan Chlorella hidup di perairan tersebut.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan