KolaborakSEA di balik Ancaman Mega Proyek PLTU Terbesar di Asia Tenggara

Tahun 2011 nampaknya menjadi awal kabar yang kurang menyenangkan bagi sebagian warga yang tinggal di sekitar Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban, (UKPWR) Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Bagaimana tidak, di lahan yang subur yang juga masuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) pantai Ujungnegoro-Roban akan berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 2 x 1000 Megawat (MW) dan kabarnya ini akan menjadi PLTU terbesar se-Asia Tenggara.

Meski sempat terhenti beberapa tahun akibat proses pembukaan lahan yang cukup sulit, bukan berarti warga tersebut lepas dari ancaman besar. Pada tahun 2014 proyek kembali berlanjut dan cukup mencengangkan jika dilihat, 85% mayoritas warga menolak atas pembangunan PLTU tersebut.

Warga meyakini adanya aktivitas PLTU di wilayah mereka akan menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem laut, gangguan kesehatan dan kehidupan masyarakat yang mayoritas sebagai petani dan nelayan. Belum lagi, proses yang tidak sesuai dengan prosedur seperti perampasan lahan menjadi masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat.

Sejenak mari kita lihat tentang kehidupan yang ada dikawasan tersebut. Wilayah pesisir laut merupakan surga bagi penghuninya. Begitupun dengan masyarakat yang hidup diwilayah pantai Ujungnegoro-Roban. Bagi masyarakat sekitar, laut lebih dari sekedar tentang komersialisasi namun memiliki arti yang lebih mendalam.

Sebagai petani mereka tidak pernah merasa khawatir akan krisis pangan. Disisi lain nelayan sekitar pun mampu mendapatkan penghasilan sebesar 1.5 kuintal udang, tentu jumlah yang tidak sedikit. Nelayan tidak perlu berlayar jauh ketengah laut dan mengeluarkan biaya yang cukup besar. Mereka bisa mendapatkan ikan berlimpah walau hanya melaut di area yang tidak jauh dari bibir pantai.

Sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman ekosistem laut, destinasi wisata pantai Ujungnegoro menyuguhkan pemandangan laut yang indah dan memanjakan mata. Hamparan pasir putih dan tebing yang menjulang, melengkapi keindahan yang ada. Setiap pekan, pantai Ujungnegoro hampir tidak sepi dikunjungi wisatawan, mulai dari anak kecil hingga dewasa.

Artinya tempat ini memiliki daya tarik cukup tinggi bagi semua kalangan. Namun, “sadarkah kita dengan adanya kapal besar dibelakang mereka?” Ya…itu bukanlah kapal wisatawan, melainkan aktivitas kapal yang sedang melakukan pengeboran tiang konveyor dan stockpile batubara.

Jika dilihat jaraknya tidaklah jauh. Dibalik menjulangnya dinding bertuliskan  BATANG Kawasan Konservasi Laut Daerah, berdiri bangunan besar Mega proyek PLTU terbesar se-Asia Tenggara. “Pemandangan yang menarik bukan?”

“Lalu bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”

Menariknya 4 wilayah diantaranya Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng dan Roban merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005 tanggal 15 Desember 2005 dengan luas mencapai 6.893,75 Ha dengan panjang bentang pantai sejauh 17 km.

Kawasan tersebut melindungi 3 obyek penting dalam menjaga ekosistem, yaitu:

(1) Kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumber daya ikan bagi nelayan tradisional;

(2) Kawasan situs Syekh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan

(3) Kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang.

Disisi lain ada 3 dari 4 desa yang termasuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Ujungnegoro-Roban, yakni Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, dan Ponowareng, merupakan lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa Tengah 2 X 1.000 MW di Kabupaten Batang yang lebih dikenal dengan sebutan PLTU Batang.

Terlihat bahwa ada ketimpangan kebijakan yang terjadi pada wilayah tersebut. Terutama dengan dikeluarkannya Keputusan Bupati Batang Nomor 523/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujungnegoro- Roban. Kabarnya hal tersebut memungkinkan terjadinya indikasi dalam mempermudah proses pembangunan PLTU Batang.

Tepat pada hari Jumat 28/08/2015 Presiden Joko Widodo meletakan batu pertama pembangunan Mega proyek PLTU berkapasitas 2000 Megawat (MW). Momen tersebut dinilai mengecewakan bagi sebagian masyarakat khususnya diwilayah Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban, (UKPWR).


Kondisi seperti ini menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Konflik sosial mulai timbul diantara kelompok masyarakat yang pro dan kontra. Khususnya bagi mereka yang terdampak atas pembangunan proyek tersebut.

Upaya perlawanan masyarakat atas penolakan pembangunan PLTU Batang mendapat dukungan dari berbagai kalangan, diantaranya mahasiswa, lembaga bantuan hukum (LBH), komunitas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Greenpeace, Walhi, Jatam dan lain-lain. 

Inisiatif kolektif anak muda dari berbagai lintas profesi adalah salah satu upaya yang ditempuh oleh masyarakat dalam mempertahankan ruang hidup dan kelestarian lingkungan. Minggu 30 Juni 2019, Batang Kolektif yaitu komunitas yang giat dalam menuntut keadilan menyelenggarakan acara bertajuk Reoni Akhir Pekan #3Young and Dangerous”.

Acara tersebut sebagai upaya dalam mengkritik pembangunan PLTU Batang melalui karya musik dan diskusi. Acara tersebut juga menjadi upaya yang ditunjukan anak-anak muda dalam menumbuhkan solidaritas dan rasa cinta terhadap lingkungan.

Kolaborasi tersebut melibatkan musisi, nelayan muda, petani, seniman, komunitas seperti Batanglyon dan aktivis. Tidak hanya sampai disitu saja, acara tersebut juga menarik perhatian band-band dari luar daerah seperti Jakarta, Salatiga, Magelang untuk hadir di lokasi yang masuk dalam tayangan film Sexy Killers tersebut.

Selain melakukan upaya perlawanan melalui karya musik, mereka pun menggelar diskusi dengan topik “Membicarakan Dampak Bahaya PLTU” dengan pembicara Nelayan muda Roban Timur dan Praditya Wibby sebagai seniman. Acara tersebut menuai apresiasi dari berbagai kelompok gerakan yang terlibat mendukung masyarakat dalam upaya perlawanan terhadap pembangunan PLTU Batang.

Kolektivitas publik atau sederhananya sering ditemui dengan adanya gabungan sekelompok orang atau komunitas yang memiliki prinsip sama dalam mencapai tujuannya, lazim ditempuh ketika upaya pengaduan kepada lembaga pemerintah atau perusahaan sulit mendapatkan respon positif.

Upaya yang kurang lebih keras dan terorganisir yang dilakukan oleh orang-orang yang reatif banyak jumlahnya, entah untuk menimbulkan perubahan atau menantang perubahan (Zanden,1990).

Tidak sampai disitu saja, guna melihat bagaimana kondisi terkini pantai Ujungnegoro-Roban. Beberapa anak muda diantar oleh salah seorang nelayan dari Roban Timur pergi melaut disekitaran pantai Ujungnegoro-Roban untuk melihat secara langsung bagaimana proses pembangunan PLTU Batang tersebut sembari diskusi di atas perahu.

Walau berbagai cara telah ditempuh dan kolaborasi yang dilakukan belum menemukan titik terang, tidak nampak sedikitpun rasa lelah dan ketakutan dari mereka. Semangat pemuda-pemudi Roban Timur dan kawan-kawan solidaritas akan tetap konsisten menolak pembangunan PLTU untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.

Tahun demi tahun berlalu, dari hari ke hari warga batang menjalani kehidupannya berdampingan dengan PLTU yang disebut terbesar se-Asia Tenggara. Hingga di tahun 2021 menurut kabar salah satu media lokal, pembangunan PLTU Batang yang terdiri dari konsorsium PT Adaro Power bersama Electric Power Development Co Ltd (J-Power) dan Itochu Corporation telah mencapai 94%.

Mungkin hanya tinggal menghitung hari saja menuju rampungnya Mega proyek tersebut. Meski demikian, masyarakat sekitar masih mengeluhkan dampak buruk yang dirasakan akibat adanya PLTU Batang, jika dilihat dari pernyataan Dinar Bayu selaku pegiat lingkungan Greenpeace Indonesia yang dikutip dari media CNN Indonesia pada Selasa 22/12/2020.

Sementara itu, jika berkaca pada proses yang dilalui Mega proyek pembangunan PLTU berkapasitas 2000 Megawat (MW) tersebut, cukup banyak menuai kontroversi bagi masyarakat sekitar khususnya warga Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban, (UKPWR). 

Mulai dari tidak adanya transparansi yang jelas mengenai awal mula informasi pembangunan PLTU, proses pembebasan lahan yang terkesan sepihak, adanya kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya, rusaknya ekosistem laut yang berpotensi merampas ruang hidup masyarakat sekitar di masa depan.

Ditambah lagi pada 12 Maret 2021, Presiden Joko Widodo menghapus limbah batubara hasil pembakaran yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3). Hal ini tertuang dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kini para nelayan harus berhati-hati ketika melaut, tidak jarang dari mereka yang justru mendapatkan ceceran batubara sehingga merusak jaring dan harus pulang dengan tangan kosong. Padahal nelayan menjaring diluar kawazan zona terlarang.

Biaya perbaikan jaring bukanlah nilai yang murah bagi mereka, belum lagi memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk memperbaikinya. Kondisi ini mengakibatkan pendapatan nelayan menurun drastis hingga 50% dari sebelumnya. Belum lagi, jejak yang ditinggalkan telah menciptakan konflik horizontal yang berkepanjangan di masyarakat sekitar antara kubu pro dan kontra.

Upaya masyarakat dalam mempertahankan ruang hidup dan kelestarian lingkungan belum usai, kolaborasi yang terjegal pandemi bukanlah kenyataan yang menghalangi semangat “Batang Lestari”.

Artikel ini berkisah tentang perjalanan penulis pada tahun 2019 silam dilokasi yang sempat menarik perhatian publik melalui film dokumenter Sexy Killers yang dibuat oleh Watchdoc Documentary. Menilik rencana awal pembangunan PLTU Batang sejak 2011 silam hingga kondisi terkini di tahun 2021.

Ditengah perjalanan pembangunannya penulis berkesempatan hadir untuk berkolaborasi, melihat secara langsung dan berinteraksi mengenai polemik yang terjadi. Dibalik megahnya rencana pembangunan PLTU tersebut, penulis melihat semangat kolaborasi anak-anak muda bersama masyarakat sekitar yang gencar memperjuangkan lingkungan dan menuntut keadilan.

Dalam artikel ini, penulis menambahkan kutipan dari berbagai sumber informasi sebagai pelengkap. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi dalam melihat peristiwa melalui prespektif masyarakat yang terdampak khususnya.

Terima kasih,

Salam

“Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan, Batang Bersatu Tolak PLTU” “begitu kalimat yang mereka teriakan dengan lantang”.

 

Editor: Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan