Kepunahan Massal? Begini Menurut Para Peneliti

Kepunahan Massal

Selain dari ancaman virus COVID-19 yang masih saja melanda bumi kita, ada hal yang perlu kita ketahui, yaitu ancaman kepunahan massal yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan media karena beberapa riset dari para peneliti. Manusia harus disalahkan atas kepunahan massal keenam di Bumi yang sudah berlangsung.

Secara khusus, penelitian mengungkapkan bahwa 7,5% hingga 13% dari dua juta organisme hidup berbeda yang menghuni planet kita kini telah punah. Selain itu, para peneliti menghitung sekitar 150 ribu hingga 260 ribu spesies di darat, laut, atau udara tidak ditemukan lagi pada tahun 2022.

Dilansir dari studi di portal Studyfinds.com, peneliti dari University of Hawai’i di Mānoa dan Muséum National d’Histoire Naturelle di Paris mengungkapkan bahwa ancaman kepunahan tersebut dimotori oleh aksi manusia dan bukan bencana alam.

Ancaman tersebut semakin terlihat dengan tingkat kepunahan spesies yang meningkat secara drastis. Bahkan, jika kita melihat spesies siput di dunia, planet kita telah kehilangan hingga 13% dari semua spesies yang dikenal sejak tahun 1500.

kepunahan massal
Paus Pilot (Globicephala macrorhynchus) terdampar di Probolinggo, Jawa Timur. / Foto: Greenpeace / Dasha Timur 

“Tingkat kepunahan spesies yang meningkat drastis dan penurunan kelimpahan banyak populasi hewan dan tumbuhan didokumentasikan dengan baik, namun beberapa menyangkal bahwa fenomena ini sama dengan kepunahan massal,” kata penulis utama studi tersebut, Robert Cowie, profesor riset di UH Mānoa Pacific Biosciences Research Center.

Cowie menambahkan masih banyaknya penyangkalan mengenai kepunahan akibat manusia didasarkan pada penilaian bahwa manusia hanya sebagian kecil spesies bumi yang tidak terlalu memegang peranan penuh dalam kondisi planet ini.

“Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu memanipulasi biosfer dalam skala besar,” tambah Roebrt Cowie.

penyebab kepunahan massal
Monster Oligarki di gedung parlemen Jakarta. Aksi damai yang dilakukan Greenpeace untuk memprotes UU Cipta Kerja. / Foto: Riyan Hanggarai / Greenpeace

“Kami bukan hanya spesies lain yang berevolusi dalam menghadapi pengaruh eksternal. Sebaliknya, kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki pilihan sadar mengenai masa depan kita dan keanekaragaman hayati Bumi.”

Dalam catatan studinya, bahwa upaya konservasi mengalami sejumlah keberhasilan dan menyelamatkan hewan. Sayangnya, upaya tersebut tidak dapat menyelamatkan setiap spesies di Bumi dan para peneliti percaya itu, tidak akan mengubah tren kepunahan massal keenam yang sedang berlangsung saat ini.

Para peneliti mengatakan sangatlah penting untuk mencegah kepunahan sebanyak mungkin spesies dan mendokumentasikan keragaman planet ini sebelum menghilang selamanya. Walaupun penuh dengan perjuangan.

“Terlepas dari retorika tentang gawatnya krisis, dan meskipun solusi perbaikan ada dan menjadi perhatian para pembuat keputusan, jelas bahwa kemauan politik masih kurang,” ujar Cowie menyimpulkan.

“Menyangkal krisis, menerimanya tanpa bereaksi, atau bahkan mendorongnya merupakan hal tak bertanggung jawab umat manusia dan membuka jalan bagi Bumi untuk melanjutkan lintasannya yang menyedihkan menuju Kepunahan Massal Keenam,” lanjutnya.

kepunahan massal keenam
Bayi Orangutan di tempat Orangutan Foundation International Care Center, Pangkalan Bun. / Foto: Ulet Ifansasti / Greenpeace

Menurut beberapa peneliti lainnya, perihal kepunahan massal, krisis hari ini tidak sebanding dengan kepunahan massal sebelumnya. Para ilmuwan mengatakan kepunahan massal buatan manusia tersebut disebabkan oleh perusakan habitat, perubahan iklim, eksploitasi berlebihan, polusi, dan spesies invasif.

Pada kepunahan terakhir, memusnahkan sekitar 76% dari semua spesies di planet kita, termasuk seluruh kelompok hewan seperti dinosaurus. Hasil sebelumnya menunjukkan bahwa hilangnya biota laut setelah serangan asteroid jauh lebih tinggi daripada yang diyakini sebelumnya. Rata-rata, tingkat yang diprediksi sekitar 1.000 kali lebih banyak, namun tingkat tersebut akan secara drastis dibayangi oleh kerugian di masa depan.

Pada studi tersebut mencakup 3.387 fosil dan jenis siput Eropa yang hidup selama 200 juta tahun terakhir. Para peneliti berfokus pada biota air tawar karena mereka termasuk yang paling terancam di dunia. Mereka memperkirakan tingkat kepunahan dan pembentukan spesies baru untuk menilai kecepatan mereka datang dan pergi dan memprediksi waktu pemulihan.

Temuan menunjukkan prospek pada planet ini begitu mengerikan. Tingkat kepunahan tetap tinggi selama 5 juta tahun setelah dampak asteroid, dan pada pemulihannya memakan waktu lebih lama, hampir 12 juta tahun sampai keseimbangan antara spesies yang berasal dan punah dipulihkan.

kepunahan massal
Seekor Badak di Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) di Taman Nasional Way Kambas./ Foto: Willem v Strien / CC BY 2.0

Para tim peneliti menyatakan bahwa lebih dari 500 spesies hewan darat akan berada di ambang kepunahan dalam 2 dekade mendatang. Mereka menyerukan tindakan konservasi global segera untuk mencegah bencana kehancuran ekosistem. Mereka yang berisiko termasuk badak Sumatra, Burung Gelatik Pulau Clarion, Kura-kura Raksasa Espanola, dan katak Harlequin.

“Hilangnya spesies memerlukan perubahan dalam komunitas spesies, dan dalam jangka panjang, ini mempengaruhi seluruh ekosistem. Kami mengandalkan lingkungan air tawar yang berfungsi untuk mempertahankan kesehatan, nutrisi, dan pasokan air bersih manusia,” kata Dr. Neubauer. Dia menambahkan bahwa penurunan keanekaragaman hayati “mengungguli kepunahan pada akhir Kapur yang membunuh dinosaurus”.

“Banyak spesies terancam punah, sebagian besar sebagai konsekuensi langsung atau tidak langsung dari dampak manusia. Perusakan habitat, perubahan iklim, eksploitasi berlebihan, polusi, dan spesies invasif adalah salah satu penyebab utama penurunan biota bumi dengan cepat,” tambah Dr. Neubauer.

Selain itu, para konservasionis termasuk London Zoological Society, memperingatkan penurunan “bencana” pada ikan air tawar, dengan hampir sepertiga terancam punah. Di perairan Inggris, sturgeon dan burbot telah punah, salmon menghilang, dan belut Eropa tetap terancam punah. Sebagian besar penurunan didorong oleh kondisi sungai yang buruk, sebagian besar sebagai akibat dari polusi, bendungan, dan limbah.

kepunahan massal
Seekor Gajah muda di Taman Nasional Tesso Nilo, Indonesia./ Foto: Ardiles Rante / Greenpeace

“Mengingat krisis keanekaragaman hayati saat ini berkembang jauh lebih cepat daripada peristiwa kepunahan massal 66 juta tahun yang lalu, periode pemulihan mungkin lebih lama. Terlepas dari keberadaan kita yang singkat di Bumi, kita telah meyakinkan bahwa efek dari tindakan kita akan bertahan lebih lama dari kita selama jutaan tahun,” kata Dr. Neubauer.

Pada dasarnya bumi akan mengalami kembali siklus kepunahan, kita (manusia) hanya bisa terus merawat dan menjaganya untuk memperpanjang masa bumi agar tidak mengalami kepunahan massal tersebut.

Baca juga: Fakta Unik Paus, Menyerap Karbon Setara dengan Menghilangkan 40.000-410.000 Mobil di Jalanan 

Editor: J. F. Sofyan

Foto Thumbnail: Mitja Kobal / Greenpeace

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan