Dulu Sampah Sekarang Berkah

Sejak awal tahun 2016, kelurahan Gedanganak memiliki satu Bank Kecil berukuran 4×6 meter yang berlokasi di samping tempat pembuangan sampah warga RW 04 Kelurahan Gedanganak.

Letaknya yang berada di timur kaki Gunung Ungaran memiliki latar pemandangan yang indah dengan kegagahan bentukan lahan vulkan dan struktural hasil proses aktivitas Gunung Api Ungaran.

Secara administrasi Bank ini berada di Kelurahan Gedanganak, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

Posisinya merupakan bagian hulu dari Sungai Garang Kota Semarang yang biasa dikenal Banjir Kanal Barat (BKB), suatu sungai yang dahulu kerap menenggelami banyak rumah di Kota Semarang sebelum adanya pengelolaan terpadu hulu-hilir.

Hingga awal tahun 2017 bank ini sudah penuh dengan beragam sampah-sampah non organik, baik dari botol plastik, kemasan plastik, kantong kresek, kertas bekas hingga barang tak dipakai.

Semua sampah itu didapatkan dari hasil pilahan warga yang ada di rumahnya masing-masing kemudian dijual ke Bank ini di sabtu sore. Warga dan Dinas Lingkungan Hidup menyebutnya Bank Sampah.

Program Bank Sampah difasilitasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Daerah yang kemudian dikelola oleh 20 warga yang terdaftar secara sukarela.

Dipimpin oleh Pak Nurkholis yang sebelumnya merupakan Ketua RW 04 Kelurahan Gedanganak dan purnatugas pada tahun 2015, beliau memimpin Bank Sampah dengan nama Sumber Rejeki sejak tahun 2016.

Tugasnya adalah membawa warga untuk mampu mengolah sampah rumah tangganya sendiri dan menjadi alternatif pendapatan sampingan.

Sampah organik ditimbun dan sampah non organik dijual. Harganya pun lumayan, setiap sampah yang disetorkan ke Bank Sampah memiliki harga yang beragam sesuai dengan kondisi sampah.

Jika saat menjual sampah masih tercampur dengan sampah yang lain, misalnya saja sampah botol minum yang masih tepasang label dan pentutup warga menyebutnya dengan istilah bodong maka harganya sangatlah murah, Rp. 1.500/kg.

Tapi ketika sampah tersebut sudah bersih, dipisahkan sesuai dengan bentuknya, dilepaskan dari label mereknya harganya jauh berbeda menjadi Rp. 4.000/kg.

Akan tetapi Pak Nurkholis menuturkan bahwa banyak warga yang masih memilih untuk menjual sampah dalam keadaan bodong dengan alasan lebih ringkas walau uang yang dihasilkan sedikit.

Namun ada saja beberapa warga yang dengan telaten mengumpulkan sampah dan memilahnya dengan baik, sehingga saat suatu sabtu sore seorang warga mendapatkan uang sebesar Rp. 61.000 dari hasil sampah yang telah dikumpulkannya.

Sistem olah sampah di tempat rupanya sangat memberikan dampak positif untuk berbagai hal. Dari aspek lingkungan, jumlah sampah yang menumpuk menjadi menurun dan budaya masyarakat dalam memilah dan menjual sampah meningkat.

Dari segi ekonomi, warga yang dahulunya menganggap sampah hanya lah barang yang harus dibuang kini mereka bisa menjualnya dan mendapat uang tambahan secara cuma-cuma.

Untuk pengurus yang bertugas mengolah sampah, mereka biasa mendapat pesanan dari berbagai kalangan berupa tas belanja yang yang disulap dari kantong kresek bekas dan dijual Rp. 50.000/ buahnya.

Hasilnya pun fantastis, laporan dari Ketua Pengurus Bank Sampah kepada kami menunjukkan bahwa uang kas ibu-ibu pengurus dalam satu tahun beroperasi telah mencapai Rp. 12.000.000.

Persis seperti jargon yang diberikan oleh Pak Nurkholis selaku ketua pengurus “Dulu Sampah Sekarang Berkah”.

Sepertinya Indonesia merupakan negara yang memiliki trik tersendiri dalam menghadapi sampah.

Ditengah semakin canggihnya teknologi insenerator yang kemarin sempat meramaikan isu teknologi persampahan, di sisi lain ada sistem sederhana yang memberikan keuntungan bersifat multiple effects ­di mana lingkungan diuntungkan, warga diuntungkan dan pemerintah diuntungkan.

Kondisi ekonomi masyarakat yang masih didominasi menengah ke bawah rupanya sangat menerima dan terbuka terhadap solusi terkait peningkatan pendapatan ekonomi warga, sekalipun itu akan mengubah budaya hidup setiap individu.

Tak perlu ada paksaan, cukup hanya memudahkan beban mereka maka masyarakat dengan sendirinya akan berjalan di jalan yang baik.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan