Kebun Sawit Ilegal Jutaan Hektar Hingga 90.200 Hektar Babat Kawasan Konservasi dan Ancam Satwa Endemik Indonesia

Seluas 3,12 juta hektar (ha) kebun sawit ilegal ditemukan hingga akhir tahun 2019 berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map yang diantaranya sekitar 90.200 hektar kebun sawit berada di kawasan konservasi mengancam satwa endemik Indonesia.

Temuan soal kebun sawit ini akan mendorong kepunahan jenis satwa endemik Indonesia mengingat sebuah kawasan konservasi sejatinya ditetapkan untuk tujuan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta eksosistemnnya, akan tetapi dengan adanya perkebunan sawit ini akan membuat dorongan terhadap kondisi kawasan konservasi tersebut.

“Kawasan konservasi ditetapkan karena mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, artinya haram hukumnya untuk ditanami sawit”, ucap Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia saat berbicara dalam peluncuran laporan: Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan: Karpet Merah Oligarki pada Kamis, 21 Oktober 2021 yang videonya tersedia di akun Youtube Greenpeace Indonesia.

Kebun Sawit Babat Hutan
Kebun sawit dan fasilitas di Lirik, Indragiri, Riau

Dari laporan terbaru Greenpeace Indonesia diuraikan bahwa letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan, paling luas berada di pulau Sumatera (61,5%) dan Kalimantan (35,7%) yang juga terjadi ekspansi besar di dua provinsi yaitu provinsi Riau (1.231.614 ha) dan Kalimantan Tengah (821.862 ha) menjadikan provinsi ini penyumbang dua pertiga total nasional.

Perkebunan kelapa sawit ini beroperasi di hampir semua kategori kawasan hutan, mulai dari Suaka Margasatwa, Taman Nasional hingga situs UNESCO.

Kebun sawit Sekitar 186.687 ha berada dalam kawasan hutan yang teridentifikasi sebagai habitat orangutan, serta 148.839 ha sebagai habitat harimau sumatra.

Arie Rompas menuturkan bahwa kita telah manyaksikan bagaimana perkebunan kelapa sawit yang dimiliki segelintir kelompok membabat habis kawasan-kawasan konservasi.

“Sebut saja kasus Gunung Melintang di Kalimantan Barat, dan kasus Suaka Margasatwa Bakiriang, Sulawesi Tengah, ratusan hektar digunduli demi menguntungkan segelintir kelompok”, tuturnya.

Persoalan ini merupakan wujud dari buruknya tata kelola kehutanan, menyebabkan perkebunan kelapa sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah.

Tidak adanya transparansi, pengawasan yang lemah dan tumpulnya penegakan hukum membuat hutan Indonesia semakin terancam.

Berdasarkan laporan terbaru tersebut diuraikan bahwa selama 32 tahun berdirinya rezim yang disebut sebagai Orde Baru, sektor kehutanan dibangun semata-mata untuk mengejar nilai ekonomi, dengan berperan sebagai penghasil ekspor sekaligus agar dapat menutup bayaran utang luar negeri.

Hal tersebut mengakibatkan kerusakan pada skala luas terhadap hutan. Elit-elit bisnis yang dekat dengan Soeharto, serta mereka yang terkoneksi dengan pondasi-pondasi dinastinya, diberikan konsesi-konsesi penebangan hutan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Indikasi kerugian negara juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK bahwa terdapat banyak izin persetujuan prinsip serta hak guna usaha yang diberikan untuk perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai dengan peruntukan penggunaan lahan dan saling tumpang tindih.

Greenpeace Indonesia juga menngidentifikasi dampak dari UU Cipta Kerja terhadap perusahaan – perusahaan yang terlibat dalam bisnis perkebunan sawit.

Melalui UU Cipta Kerja, pemerintah memberikan serangkaian pemutihan bagi perusahaan – perusahaan unntuk ‘melegalisasi’ perkebunan ilegal dan menghindari jeratan hukum sehingga mereka terus mengeruk keuntungan dan mudah lolos dari jeratan hukum dan tanpa perlu bayar pajak.

Kebun Sawit Swadaya
Petani Sawit di Sanggau, West Kalimantan.

Greenpeace lagi – lagi mendorong pemerintah Indonesia untuk menegakan transparansi dan keadilan untuk melindungi hutan dan hak-hak masyarakat adat.

Arie menaskan bahwa perusahaan yanng secara ilegal beroperasi di dalam kawasan hutan harus mendapat sanksi tegas tidak hanya administratif .

“Perusahaan yang secara ilegal mengoperasikan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan harus mendapat sanksi yang tegas, tidak hanya administratif tetapi juga sanksi pidana, alih-alih menikmati pemutihan,” ujar Arie.

Jika Indonesia digadang-gadang ingin memastikan ekonomi yang berkelanjutan dan berjalan dengan perlindungan keanekaragaman hayati serta hendak mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat maka pertimbangan dampak ekologi akibat dari persoalan ini perlu dimasukan ke dalam rencana tata ruang serta pekebun swadaya perlu dibantu dan dikuatkan.

Untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit diproduksi dan diperjualbelikan secara legal dan berkelanjutan komunitas global tidak dapat hanya bergantung pada sertifikasi ISPO atau RSPO saja melainkan perlu tindakan dari lembaga keuangan global untuk menghentikan pendanaan kepada perusahaan yanng merusak kawasan hutan Indonesia.

Baca juga: Penyebab Kerusakan Flora dan Fauna di Indonesia

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan