Lika-Liku Lobster Laut

“Hidup seperti Larry!” 

Demikian Larry si lobster merah membanggakan kehidupannya yang greget di Bikini Bottom nun jauh di sana. Tapi, kalau kau tanya aku, hidup seperti lobster di Indonesia sepertinya jauh lebih menantang.

Larry, Tuan Krab, Spongebob, dan Squidward.

Lobster laut berbeda dengan lobster air tawar (Cherax sp.). Lobster laut atau yang dikenal sebagai spiny lobster alias lobster berduri adalah krustasea laut dari genus Panulirus yang dapat ditemukan di balik batu di perairan berkarang.

Setidaknya ada 6 jenis spiny lobster yang eksis di laut Indonesia. Ada lobster mutiara (Panulirus ornatus) sang primadona, lobster pasir (P. homarus) si komoditas andalan budidaya, lobster batu (P. penicillatus) si udang karang, hingga si cantik lobster bambu (P. versicolor) dan lobster batik (P. cygnus).

Secara umum, lobster laut dikenal sebagai salah satu jenis seafood bergengsi nan bernilai ekonomis tinggi. Hal tersebut membuat bisnis lobster laut menjadi incaran bagi banyak pihak.

Jangankan lobster dewasa berukuran >1 kg yang nilainya dapat mencapai jutaan rupiah per ekor, benih lobster kecil mungil yang bahkan belum berwarna pun sudah laris manis di pasar ekspor.

Bicara tentang lobster di Indonesia tentunya tak lepas dari sejumlah aturan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) selaku pihak yang dianggap paling bertanggungjawab atas pengelolaan sumberdaya perairan di Indonesia.

Pada masa kepemimpinan ibu Susi Pudjiastuti, dalam PERMEN-KP Nomor 56 Tahun 2016 izin ekspor hanya diberikan pada lobster berukuran >200 gr, yaitu ukuran minimal untuk dikonsumsi, sedangkan penangkapan benih lobster dilarang.

Keputusan tersebut dinilai melemahkan pendapatan nelayan lobster, sehingga menteri KP selanjutnya, bapak Edhy Prabowo, mengeluarkan PERMEN-KP Nomor 12 Tahun 2020 yang mengizinkan benih lobster untuk ditangkap dan turut diekspor.

Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan harga benih lobster di pasaran dan mensejahterakan nelayan. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak berjalan sesuai dengan rencana.

Baru-baru ini, menteri KP saat ini yaitu bapak Sakti Wahyu Trenggono telah memperbarui regulasi mengenai pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan dalam PERMEN-KP Nomor 17 Tahun 2021, yang menyebutkan bahwa penangkapan benih lobster hanya boleh dilakukan untuk kegiatan budidaya di wilayah negara Republik Indonesia.

Kemudian pengeluarannya hanya boleh dilakukan jika ukuran lobster >150 gr untuk jenis lobster pasir (P. homarus) dan >200 gr untuk jenis lobster lainnya (Panulirus spp.). Selain itu, izin untuk melakukanekspor diberikan hanya jika sudah memenuhi syarat, diantaranya sudah berhasil melepasliarkan lobster ke alam, setidaknya sejumlah 2% dari hasil panen.

Tapi, apakah eksploitasi benih lobster adalah ancaman terbesarnya???

Penangkapan secara masif dan tidak terkendali memang dapat mengancam kelestarian lobster di alam. Namun, perlu diingat bahwa bahkan tanpa ditangkap sekalipun, lobster di laut akan tetap habis…. jika habitat dan lingkungannya tidak mendukung kelangsungan hidup.

Perlu diingat bahwa kondisi perairan sangat berpengaruh dalam mendukung kelestarian sumberdaya perikanan. Tak hanya perusakan habitat, perubahan kualitas perairan, baik akibat pencemaran maupun alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, juga telah membuat lobster berada dalam situasi yang sulit.

Dalam kondisi normal saja lobster laut membutuhkan waktu lama untuk tumbuh dan mencapai ukuran siap bereproduksi. Di sisi lain, persentase kelulus-hidupan benih lobster di alam sangat rendah, hanya 0,02% atau 2 dari 1000 ekor benih yang dapat hidup dan mencapai ukuran dewasa. Bertahan hidup saja sudah sulit, belum lagi harus menghadapi manusia yang bersemangat mengumpulkan benih lobster di laut

…dan jika tidak ada kendala, benih-benih lobster yang ditangkap itu akan dikirim ke luar negerihanya untuk Rp15.000 per 60.000 ekor benih lobster.

Greget sekali, ‘kan?

Mungkin, sama halnya dengan cerita sumberdaya alam lain di negeri ini, pengelolaan sumberdaya lobster sesungguhnya adalah pilihan yang sulit antara lingkungan atau keuangan.

Meskipun belum berhasil memproduksi benih lobster, kegiatan budidaya lobster di Indonesia telah berhasil mendongkrak tingkat kelangsungan hidup benih lobster laut… hingga mencapai 80%! Hal tersebut tentunya merupakan kabar baik bagi kelestarian spesies lobster di Indonesia.

Kegiatan budidaya lobster tentunya harus terus dikembangkan untuk menghasilkan produksi yang kontinu dengan tetap memperhatikan pengaruhnya terhadap lingkungan.

Lobster yang diekspor pada ukuran konsumsi (>150 gr) jelas lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan yang masih berupa benih. Regulasi pengelolaan lobster sudah seharusnya tidak hanya berpihak pada stakeholder, eksportir, dan nelayan, namun pembudidaya lobster juga memiliki kesempatan untuk berperan dalam rantai produksi lobster laut.

Negara juga akan diuntungkan oleh pajak ekspor lobster dewasa yang lebih tinggi dibanding hanya mengirim benih saja. Lebih jauh lagi, lobster laut juga memperoleh kesempatan untuk terus hidup, tumbuh, dan berkembangbiak. Walaupun saat ini status lobster laut masih not extinct, bukankah lebih baik mencegah daripada menyesali?

Lagipula, memang sudah seharusnya sumber daya laut Indonesia digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan bersama, ‘kan?

Hidup seperti Lar– eh salah, Hidup lobster Indonesia!***

Baca juga: Lobster, Makanan Orang Miskin dan Narapidana yang Ditenar-tenarkan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan