Menyaksikan Episode Spesial Pandemi: Laut, Gaya Hidup dan Sampah Medis Covid-19

Belakangan ini Covid-19 beserta cabang-cabang permasalahannya menjadi diskursus arus utama yang paling sering dibahas oleh publik. Pembahasannya bukanlah tanpa sebab mengingat pandemi Covid-19 merupakan fenomena global yang berdampak luas, tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi lingkungan hidup dan organisme yang ada di dalamnya.

Kebijakan-kebijakan yang memperhatikan keseimbangan ekonomi, kesehatan, dan lingkungan pun dikeluarkan oleh pemerintah guna memastikan tetap berjalannya aktivitas dalam negeri. Akan tetapi, isu lingkungan merupakan isu yang kompleks dan sangat sensitif.

Misalnya, karantina wilayah—sebagai sebuah kebijakan untuk menekan angka penyebaran virus—terbukti telah menurunkan kadar gas emisi rumah kaca serta mampu meningkatkan kualitas udara di area perkotaan. Di lain sisi, karantina wilayah juga meningkatkan volume sampah medis sebesar 30% (Cordova, M. et al., 2021, p. 2).

Sampah medis dapat berbentuk plastik, cairan, hingga kain yang umumnya berasal dari rumah sakit. Peningkatan volume sampah medis dapat memperparah degradasi lingkungan dan karenanya dapat menjadi fatal apabila tidak diperhatikan.

Degradasi lingkungan merupakan perubahan, gangguan, maupun kerusakan lingkungan yang salah satu faktor penyebabnya adalah polusi (Johnson, D. L., et al., 1997). Dalam kaitannya dengan sampah medis, sungai, dan laut merupakan lokasi yang paling rawan untuk tercemar jenis polutan ini. Mengapa demikian?

Peningkatan volume sampah medis selama pandemi Covid-19 juga dibarengi dengan peningkatan sampah plastik. Peningkatan ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup masyarakat, yakni terkait kebutuhan akan alat pelindung diri APD.

Limbas masker dan sarung tangan yang ditemukan di laut (Sumber foto: Facebook/Opération Mer Propre)

Di area Jabodetabek, misalnya, terdapat peningkatan pembelian APD secara daring sebesar 30% yang mana 96% kemasannya merupakan kemasan plastik (Nurhayati et al., 2020, dalam Cordova, M. et al., 2021, p. 2). Sampah medis dikhawatirkan dapat menjadi media penularan virus apabila tidak dikelola dengan baik.

Sampah-sampah seperti masker bedah perlu untuk dikelola dengan baik dan aman mengingat mobilisasi sampah dapat berhenti di tempat-tempat yang padat penduduk. Selain itu, terdapat permasalahan krusial lainnya yang perlu diperhatikan.

Gaya hidup masyarakat yang berubah sejak awal pandemi juga mengakibatkan terancamnya ekosistem laut. Keberadaan sampah medis yang jumlahnya kian melonjak merupakan embrio dari sebuah permasalahan baru. Permasalahan yang signifikan untuk diperhatikan dan ditangani, terutama terkait dengan degradasi laut di Indonesia.

Ekosistem laut yang tercemar oleh sampah plastik merupakan hal yang “lumrah” terjadi di Indonesia. Kita sudah sering mendengar kabar mengenai bagaimana laut di Indonesia setiap tahunnya menerima 64 juta ton sampah. Sama seperti sampah plastik, sampah medis juga dapat merusak ekosistem sungai dan laut serta mengganggu kehidupan organisme-organisme di dalamnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai peningkatan volume sampah medis di Jakarta menunjukkan bahwa sampah APD yang terbuat dari plastik mengalir melalui muara-muara sungai hingga berakhir di Laut Jawa (Ambari, 2021). Apa yang terjadi di Jakarta sangatlah mungkin untuk terjadi di daerah-daerah lainnya.

Dampak signifikan yang disebabkan oleh sampah medis terhadap kesehatan lingkungan laut berangkat dari banyak hal, termasuk limbah rumah sakit. Dr. Lina Tri Mugi Astuti, Sekjen Indonesian Environmental Scientists Association (IESA) memperkirakan sebanyak 14,3 kg limbah medis dihasilkan oleh rumah sakit untuk satu orang pasien Covid-19 per harinya (Persi, 2020).

Artinya, potensi sampah atau limbah medis yang dapat mencemari lingkungan akan linear dengan seberapa banyak jumlah kasus Covid-19 di daerah tersebut. Jika kita melihat data statistik kasus aktif Covid-19, maka setiap hari akan ada ribuan ton sampah medis. Permasalahannya adalah seberapa efektifkah sistem pengelolaan sampah medis di Indonesia?

Sistem kelola sampah medis di Indonesia terbilang sangat minim dan problematik. Hanya 83 dari total 2820 unit rumah sakit di Indonesia yang memiliki alat pembakaran limbah atau insinerator. Perusahaan pengelola limbah medis yang diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun masih sangat sedikit.

Terhitung hanya terdapat enam perusahaan yang itu pun terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Kalimantan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah medis masih sangat buruk dan tidak merata. Menjadi berbahaya ketika sampah medis dalam skala besar harus didistribusikan ke perusahaan pengelola sampah yang jaraknya jauh.

Selain itu, ditemuinya kelalaian operasional dan penyelewengan dana di dalam perusahaan-perusahaan ini menambah peliknya permasalahan pengelolaan sampah medis di Indonesia. Minim dan problematiknya sistem pengelolaan sampah medis berujung pada kembali terancamnya lingkungan laut di Indonesia.

Sampah atau limbah medis yang tidak diolah dengan baik akan meningkatkan kadar infeksius yang tidak hanya berbahaya bagi manusia, tetapi juga bagi biota-biota yang ada di laut. Selain itu, pengelolaan sampah medis juga penting untuk diperhatikan mengingat Indonesia memiliki target pengurangan sampah hingga 70% di tahun 2025.

Target ini dapat tercapai hanya jika isu lingkungan menjadi salah satu sektor yang diprioritaskan dalam upaya pemulihan pasca pandemi. Laut dan sungai di Indonesia sudah terlalu banyak menampung sampah-sampah bahkan sebelum pandemi terjadi.

Oleh karena itu, diperlukan pemulihan yang meskipun berfokus pada ekonomi dan kesehatan masyarakat, tetapi masih mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan ekonomi hijau.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan