Masyarakat, Ekowisata dan Konservasi di Taman Nasional Komodo

“…Sebagai Destinasi Ekowisata Kelas Dunia Kebanggaan Nasional

Yang Terdepan Dalam Tata Kelola Kawasan Konservasi.”

Kalimat di atas merupakan sepenggal visi dari Taman Nasional Komodo (TNK) yang tertuang di dalam Rencana Pengelolaan Jangka Panjang untuk periode 2016 sampai dengan 2025. Visi ini menjadi landasan bagi semua program yang dibuat oleh pihak pengelola TNK dalam kerjasamanya dengan berbagai pemangku kepentingan, sesuai dengan kewenangan, peran, kepentingan dan tanggung jawabnya masing-masing.

Dengan membaca visi di atas kita dapat dengan mudah menangkap dua poin penting identitas TNK yakni kawasan konservasi dan destinasi ekowisata. Sebagai kawasan konservasi, TNK memainkan peranan vital untuk melindungi seluruh keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya.

TNK tidak hanya menjadi rumah bagi satwa purbakala endemik Komodo Dragon (Varanus Komodoensis) tetapi juga bagi spesies flora dan fauna lain yang hidup di darat dan laut. Sedangkan sebagai kawasan destinasi ekowisata, TNK juga dimanfaatkan untuk kegiatan wisata dan edukasi berbasis pariwisata alam. Baik sebagai kawasan konservasi maupun sebagai kawasan destinasi ekowisata, pengelolaan di TNK dilakukan dengan sistem zonasi sesuai dengan regulasi dan aturan yang berlaku.

Berangkat dari visi tersebut lantas muncul pertanyaan berikut: bagaimana masyarakat lokal yang mendiami kawasan dan sekitar kawasan menyikapi visi tersebut? Seperti apa peran mereka? Dan bagaimana model partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekowisata dan konservasi di TNK? .

Semua pertanyaan ini penting menimbang sejumlah isu yang penting yang muncul beberapa tahun belakangan. Salah satunya ialah relokasi masyarakat desa komodo di tahun 2019. Walaupun ide ini ditolak oleh pemerintah pusat namun cukup menyiratkan fenomena terkait belum adanya sinergi dan koordinasi antara masing-masing pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat, pemerintah, dan swasta, dalam hal mengelola kawasan TNK.

Photo by https://www.goodnewsfromindonesia.id/

Padahal sejatinya prinsip-prinsip ekowisata mengedepankan prinsip keberlanjutan (sustainability) baik bagi manusia dan alam lingkungan di sekitarnya. Prinsip-prinsip ini perlu diperhatikan di dalam keseluruhan tahapan kegiatan ekowisata mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, hingga evaluasi dan pengawasan.

Di samping itu, sejauh penelusuran penulis sendiri pada bulan maret 2021, partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekowisata dan konservasi cukup tinggi. Masyarakat Desa Komodo turut aktif ambil bagian dalam sejumlah aktivitas ekowisata, misalnya, dengan menjadi pemahat souvenir, ranger dan naturalist guide, pemandu wisata, serta penyedia akomodasi wisata mulai dari penginapan, makanan dan minuman, serta transportasi kapal wisata.

Dalam hubungannya dengan konservasi, masyarakat juga terlibat dalam sejumlah komunitas kelompok binaan seperti Masyarakat Mitra Polhut dan Kader Konservasi. Masyarakat yang terlibat dalam kelompok ini adalah mereka yang bermata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan pengumpul madu atau hasil hutan lainnya.

Lebih lanjut, menurut The International Ecotourism Society, ekowisata menyatukan konservasi, komunitas dan pariwisata yang berkelanjutan. Terlepas dari sejumlah permasalahan yang masih terus ditemui seperti konflik terkait zonasi, degradasi SDA dan lingkungan karena illegal fishing, perburuan dan kebakaran hutan, serta pertumbuhan populasi penduduk di dalam dan sekitar kawasan yang memberi tekanan pada keseimbangan ekosistem,

Namun kerjasama antara ekowisata dan konservasi  di TNK masih menjadi salah satu strategi yang terus dipertahankan dan digunakan karena memberikan hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Penulis berharap kiranya strategi ini terus dipertahankan sembari dievaluasi secara terbuka dan komprehensif oleh segenap pemangku kepentingan terkait guna mendapatkan model kerjasama ekowisata dan konservasi yang semakin baik dan bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan