Greenpeace: Pilih Bumi Bukan Oligarki, Pemilu Tanpa Oligarki

pemilu 2024

Tahapan Pemilu 2024 akan memasuki momen pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada 19 Oktober mendatang.

Greenpeace mengajak publik untuk mewaspadai oligarki yang menyelinap di belakang para kandidat, serta untuk bersama-sama menyerukan #PemiluTanpaOligarki dan #PilihBumiBukanOligarki. 

Gurita ‘Monster Oligarki’ menduduki kolam Bundaran HI di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta pada 6 Oktober 2023 pagi hari. Dengan tentakel-tentakelnya, ‘Monster Oligarki’ mencengkeram tiga manekin yang menyerupai figur politikus yang ingin maju sebagai calon presiden di Pemilu 2024. 

“Kami juga mendesak para capres-cawapres memiliki komitmen yang serius dan konkret untuk berpihak kepada rakyat dan melepaskan diri dari agenda-agenda oligarki. Tunjukkan komitmen itu dalam dokumen visi-misi yang diserahkan ke KPU. Rakyat sudah merasakan dampak buruk dari menguatnya kekuatan ekonomi-politik oligarki di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, seperti terancamnya demokrasi dan pelindungan lingkungan hidup, serta perampasan ruang hidup masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Pemilu 2024 berlangsung di tengah ancaman krisis iklim yang makin nyata. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan menyebut Bumi sudah memasuki era pendidihan global atau global boiling. 

Para pemimpin yang menjabat hari ini dan di masa mendatang harus berkomitmen melakukan aksi iklim yang serius, nyata, dan ambisius demi menyelamatkan Bumi.

Di sisi lain, pemilu kerap kali menjadi momentum bagi oligarki untuk melanggengkan pengaruh dan kekuasaan mereka.

Mereka ‘berinvestasi’ dengan membiayai (menjadi ijon) para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden, calon anggota legislatif, calon kepala daerah, partai politik, bahkan dengan ikut maju di pemilu. 

Kepentingan oligarki sudah begitu kuat mencengkeram tata kelola pemerintahan di Indonesia dan membajak proses pembuatan kebijakan.

Pengesahan serangkaian regulasi bermasalah, seperti revisi Undang-Undang KPK, UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi, dan UU Cipta Kerja menjadi buktinya.

Begitu juga kebijakan bermasalah lain yang diduga menguntungkan pengusaha di lingkaran kekuasaan, seperti dibukanya keran izin ekspor pasir laut, masuknya batu bara dan sawit dalam taksonomi hijau, hingga yang berkedok proyek strategis nasional seperti pembangunan lumbung pangan (food estate), wisata premium Pulau Komodo, dan Rempang Eco City.

Greenpeace pertama kali memunculkan gurita ‘Monster Oligarki’ dalam aksi damai tanpa kekerasan pada 5 Oktober 2021, sebagai simbol menolak lupa atas disahkannya UU Cipta Kerja. Selain di Jakarta, rangkaian aksi Anti-Oligarki juga digelar di beberapa daerah dalam pekan ini, seperti Sorong pada 5 Oktober kemarin dan Jayapura pada 6 Oktober. 

Tiga tahun sudah masyarakat sipil menolak UU Cipta Kerja dengan pelbagai cara, hingga yang teranyar pada 2 Oktober lalu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan mengecewakan yang menetapkan regulasi itu berlaku.

Dampak buruk UU Cipta Kerja bagi warga pun sudah tampak di depan mata. Sejumlah konflik agraria yang terjadi belakangan ini, seperti di Wadas dan Rempang, tak terlepas dari UU Cipta Kerja yang telah memberikan kemudahan pengadaan lahan dan pembangunan atas nama proyek strategis nasional.

“Situasi ekonomi politik yang ada saat ini barangkali membuat kita putus asa. Namun, bersama kita bisa berjuang untuk mengubah keadaan. Kita mesti menggugat para capres-cawapres, calon kepala daerah, hingga partai politik untuk melepaskan diri dari cengkeraman oligarki dan berpihak pada rakyat, serta memiliki agenda mengatasi krisis iklim. Greenpeace meyakini kekuatan rakyat yang akan menggunakan hak politiknya di Pemilu 2024 akan mampu melemahkan kekuatan oligarki dan menyelamatkan bumi,” kata Iqbal.***

Baca juga: Ribuan Orang Desak Perusahaan Seafood AS Stop Nikmati Cuan Dari Kapal Ikan Pelaku Perbudakan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan