Bencana Masa Depan Akibat Krisis Iklim Menurut Para Ilmuwan

Seperti yang dilansir dari Republika.co.id pada hari Kamis tanggal 24 Februari 2022 lalu telah terjadi fenomena ombak tinggi menghantam tanggul di samping jalan penghubung tiga kabupaten yang rusak dampak badai di Kecamatan Batauga, Buton Selatan, Sulawesi Tenggara.

Pihak Kabupaten Buton Selatan mencatat belasan rumah terdampak badai dan angin kencang di Kecamatan Batauga, sementara kerusakan jalan penghubung antar kabupaten terparah di wilayah Pantai Batauga.

Negara-negara di daerah tropis diperkirakan akan sangat terpengaruh. Gelombang laut memainkan peran penting dalam menentukan permukaan laut pesisir. Tetapi kontribusi mereka terhadap banjir sebelumnya sebagian besar diabaikan.

air tercemar tinja
Ilustrasi risiko banjir. / Foto: Pram / Greenpeace

Risiko banjir pesisir bisa meningkat 50 kali lipat karena krisis iklim buatan manusia, menurut penelitian terbaru. Gelombang besar akan menghantam struktur atau pantai dengan frekuensi yang meningkat, kata para ilmuwan. Fenomena cuaca, yang dikenal sebagai “overtopping,” adalah salah satu ketakutan terburuk para ilmuwan selama badai ekstrem.

Dalam skenario pemanasan global emisi tinggi, limpasan dapat membuat kota-kota di planet ini terendam air. Salah satu tantangan terbesar adalah memprediksi di mana, dan seberapa sering, gelombang dahsyat ini akan terjadi.

“Frekuensi overtopping semakin cepat secara eksponensial dan akan terlihat jelas pada awal tahun 2050, terlepas dari skenario iklim. Pada akhir abad ini, intensitas percepatan akan tergantung pada lintasan emisi gas rumah kaca di masa depan dan oleh karena itu kenaikan permukaan laut,” Dr. Almar memperingatkan dalam studyfinds.

Jika pemanasan global terbatas pada 3,6°F di atas tingkat pra-industri, para ahli memperkirakan kenaikan permukaan laut sebesar 1,6 kaki pada tahun 2100. Dalam skenario emisi tinggi di mana pemanasan dibiarkan mencapai 8,1°F di atas tingkat pra-industri, para peneliti memprediksi kenaikan hingga 4,3 kaki pada tahun 2100.

Para ilmuwan dari Prancis, Belanda, Brasil, Portugis, Italia, dan Nigeria mengidentifikasi potensi krisis dengan menggabungkan data satelit dan model digital. Mereka menemukan limpasan pantai, dan akibatnya banjir, akan semakin cepat selama abad ke-21, karena kenaikan permukaan laut dan gelombang yang lebih besar.

Wilayah pesisir dataran rendah menampung hampir 10 persen populasi dunia. Selain erosi yang sedang berlangsung, daerah-daerah tersebut dan ekosistemnya yang unik menghadapi bahaya yang merusak, termasuk banjir.

Seperti beberapa kasus; Badai Katrina, yang merenggut hampir 2.000 nyawa dan membuat satu juta lebih mengungsi pada tahun 2005. Pada tahun 2010, Topan Xynthia menewaskan puluhan orang di seluruh Eropa, sementara Topan Haiyan, yang melanda Asia pada tahun 2013, adalah topan tropis terbesar yang pernah diukur.

Para peneliti menggunakan informasi topografi yang akurat dan simulasi komputer yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini termasuk perkiraan baru dari permukaan laut ekstrim yang mengandung pasang surut, analisis gelombang yang digerakan oleh angin, dan pengukuran yang ada dari pertahanan pantai alami dan buatan.

Penelitian tersebut dimulai dengan menghitung peningkatan kejadian perendaman global yang terjadi antara tahun 1993 dan 2015. Data satelit digunakan untuk menentukan dua parameter utama untuk topografi pantai: kemiringan pantai lokal dan elevasi maksimum pantai.

Tingkat ekstrim perairan pantai dihitung dalam langkah waktu per jam untuk mengidentifikasi potensi jumlah jam tahunan di mana pertahanan pantai dapat dilampaui di setiap area.

Para ilmuwan juga melakukan penilaian awal potensi luapan pantai selama abad ke-21, berdasarkan kenaikan permukaan laut yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan jumlah jam overtopping dapat meningkat lebih cepat dari rata-rata tingkat kenaikan permukaan laut.

Dalam kasus skenario emisi tinggi, jumlah jam overtopping secara global dapat meningkat lima puluh kali lipat dibandingkan dengan tingkat saat ini. Seiring berjalannya abad ke-21, semakin banyak wilayah yang akan terkena limpasan dan banjir pesisir yang diakibatkannya, terutama di daerah tropis, barat laut Amerika Serikat, Skandinavia, dan Timur Jauh Rusia.

Penelitian lebih lanjut akan diperlukan di tingkat lokal dan regional untuk menyempurnakan proyeksi. Para peneliti memberikan dasar yang kuat untuk mengusulkan langkah-langkah adaptasi yang efektif di titik-titik potensial yang diidentifikasi.

krisis iklim
Kampanye untuk bergerak mengatasi krisis iklim. / Foto: Rivan Hanggarai / Greenpeace

Baca juga: Krisis Iklim: Perlahan Membunuh

Editor: J. F. Sofyan

Foto Thumbnail: Bente Stachowski / Greenpeace

Sumber: Republika, Studyfinds

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan