Isu Laut dan Pesisir yang Dipunggungi Capres dan Cawapres 2024

isu laut dan pesisir

Isu-isu besar Indonesia sektor kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil hampir tidak disinggung dalam 5 kali debat Capres maupun Cawapres. Padahal Indonesia adalah negara kepulauan yang sudah tentu memiliki banyak sekali persoalan besar di kepulauan, pesisir, serta lautnya. Apa saja isu besar laut dan pesisir Indonesia?

Pemerintah Membuka Keran Ekspor Pasir Laut

Tahun 2023 lalu pemerintah Indonesia membuka keran izin ekspor pasir laut yang telah dilarang 20 tahun. Kebijakan ini akan memicu kerusakan permanen di kawasan pesisir dan bisa membuat pulau-pulau kecil yang sudah terancam kenaikan muka air laut. Ekspor pasir laut juga ditengarai menguntungkan segelintir pihak.

Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan, Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil

Nelayan penangkap ikan di Indonesia berjumlah 2,73 juta jiwa, pembudidaya 3,35 juta jiwa, sehingga totalnya 6,08 juta jiwa.

Merekalah yang menopang kebutuhan penyediaan pangan protein di Indonesia sebesar 80% ketimbang perikanan komersial. Mereka menangkap ikan dengan menggunakan armada kecil berjumlah 550.310 unit (98,77 persen), sedangkan sisanya kapal > 30 GT (1,239 persen). Akan tetapi, secara sosial ekonomi, kondisi nelayan Indonesia masih tergolong miskin.

Kondisi nelayan ini menjadi realitas yang tak terbantahkan. Menelisik problem struktural yang menghinggapi nelayan hingga kini, mau tidak mau negara mesti hadir untuk merekonstruksi dan memikirkan ulang soal pembangunan kelautan dan perikanan.

Nelayan tidak butuh retorika “poros maritim dunia”. Nelayan butuh kehadiran yang serius dari negara untuk melindungi dan mengelola dengan baik sumber daya perikanan yang merupakan tumpuan hidupnya. 

Nelayan tradisional dan nelayan kecil hingga saat ini juga masih menghadapi berbagai kendala pelik seperti berhadapan atau berkonflik dengan nelayan yang menggunakan pukat trawl, serta tantangan pemasaran ikan, perlindungan, dan hambatan lainnya .

Pertambangan di Kawasan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil 

Sejarah mencatat telah terjadi banyak dampak pengrusakan lingkungan akibat penambangan yang dilakukan di pulau-pulau kecil Indonesia. Merujuk pada laporan JATAM (2019), setidaknya terdapat 55 pulau kecil di Indonesia yang mengalami dampak tambang.

Jenis-jenis tambang yang dilakukan di pulau-pulau kecil ini didominasi oleh tambang nikel, batu bara, besi dan baja. Faktanya, penambangan yang dilakukan di pulau-pulau kecil di Indonesia telah berdampak pada kerusakan lingkungan yang sangat besar.

Kerusakan lingkungan ini berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara, khususnya masyarakat pesisir, masyarakat adat, dan kelompok masyarakat lainnya yang hidup di pulau-pulau kecil Indonesia. 

Pembangunan Giant Sea Wall (Tanggul Laut)

Pemerintah merencanakan pembangunan Giant Sea Wall. Apakah ini benar-benar menjadi solusi yang tepat?Sebelum menjawab tantangan itu mari cermati penyebab tenggelamnya Pantura Jawa:

1. Alih fungsi hutan mangrove untuk lahan tambak dan pembangunan (industri, jalan dan pelabuhan) 

2. Turunnya permukaan tanah akibat beban pembangunan dan pemanfaatan air tanah yang berlebih.

3. kiriman air dari hulu karena terjadinya deforestasi di hulu. 

4. Krisis iklim menyebabkan aiknya muka air laut yang kemudian menyebabkan abrasi. Krisis iklim juga menyebabkan gelombang laut yang makin besar karena cuaca ekstrim.

Pembangunan tanggul laut hanya bersifat jangka pendek karena tidak menyelesaikan akar masalah. Pembangunan tanggul laut justru berpotensi merusak lingkungan, membutuhkan biaya besar, dan membutuhkan perawatan yang mahal.

Tanggul laut hanya akan menahan sesaat, tetapi tidak mampu menahan kenaikan level permukaan air laut yang akan terus meningkat dari tahun-ketahun jika tidak diselesaikan dari akarnya. Jadi ini hanya solusi palsu dan pemerintah serta para calon presiden harus fokus pada hal-hal substantif yang menyasar langsung kepadda akar masalah. 

Blue Carbon yang Dilematis

Hutan bakau di Indonesia diperkirakan mampu menyerap rata-rata 52,85 ton CO2/ha/tahun. Hasil riset tersebut dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai estimasi global, yaitu sekitar 26,42 ton CO2/ha/tahun.

Permasalahannya, ekosistem mangrove di Indonesia justru semakin mendapat ancaman. Sebagai contoh hutan mangrove seperti yang terjadi di Taman Hutan Rakyat, Ngurah Rai, Bali seluas 14,5 ha justru malah dijadikan sebagai terminal gas alam cair (LNG). Pemerintah seharusnya berfokus pada pengurangan emisi-emisi gas rumah kaca terutama sektor industri ekstraktif.

UU Cipta kerja menjadi peraturan yang lagi-lagi menerobos Peraturan Daerah No. 16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali 2009—2029. 

KKPL (Kawasan Konservasi Perairan Laut) yang mana secara natural memiliki manfaat baik dalam kontribusi penyerapan karbon, malah menjadi menyempit karena harus berhadapan dengan program strategi nasional seperti: pertambangan mineral (wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), eksplorasi minyak dan gas lepas pantai, pariwisata bahari padat modal, reklamasi pesisir, dan shrimp estate

Penangkapan Ikan Terukur (PIT)

Kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota melalui PP No. 11/2023 berpotensi mengancam perikanan adat/lokal (sasi, panglima laut, lubuk larangan, Mane’e) di enam zona wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Peroalannya, sebelum terbitnya kebijakan PIT, perikanan adat tak pernah diajak berbicara (tidak ada ruang partisipasi publik). Padahal, mereka mengelola perikananannya mengedepankan prinsip dan nilai-nilai konservasi adat, pengetahuan lokal, budaya hingga spiritualitas ekologi.

UU Cipta Kerja merupakan payung kebijakan PIT, pemerintah cenderung mengedepankan kemudahan investasi/bisnis yang menyampingkan keberlanjutan dan hak hidup masyarakat dan alam seperti yang terjadi pada aspek kelautan dan perikanan.***

Baca juga: Pemilu 2024 di Tengah Krisis Iklim dan Rusaknya Demokrasi serta HAM, Ini Seruan Masyarakat Sipil

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan