Dilema ‘Carbon Offsetting’ bagi Kesehatan Laut Indonesia

Sejak awal pandemi COVID-19 tahun 2019 lalu, ilustrasi milik Mackay banyak beredar di dunia maya. Ilustrasi tersebut menggambarkan tentang manusia yang tengah menghadapi bencana COVID-19 disertai dengan ancaman bencana lain yang  lebih besar. Apabila berkaca pada ilustrasi tersebut, manusia akan mengalami krisis besar-besaran jika tidak segera melakukan tindakan pencegahan.

Krisis iklim menjadi salah satu ancaman yang menjadi perhatian dunia. Sejak pertama kali dipresentasikan oleh James Hansen pada kongres AS bahwa iklim bumi menghangat, perhatian terhadap perubahan iklim mulai digencarkan. Perhatian tersebut kemudian mendorong Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 yang menghasilkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Selanjutnya konferensi terus digelar untuk melakukan pembahasan langkah-langkah pencegahan perubahan iklim. Mulai dari Conference of the Parties (COP) 1 di Berlin hingga COP26 pada tahun 2021 di Glasgow, UK. Konsistensi tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC memiliki komitmen untuk menurunkan emisi yang menyebabkan krisis iklim.

Indonesia memiliki target penurunan emisi sebanyak 29 – 41 persen pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut diperlukan kerja sama dari berbagai sektor termasuk pemerintahan, industri, LSM, dan masyarakat. Oleh sebab itu, seluruh elemen tersebut dituntut untuk mampu menggunakan berbagai sumber daya yang dimiliki guna memukul mundur krisis iklim.

Tren Carbon Offset

Carbon offsetting pada prinsipnya adalah menukar emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dengan membayar pada kegiatan lain yang mampu menyerap karbon. Konsep ini banyak dipilih oleh perusahaan-perusahaan yang menghasilkan emisi karbon untuk turut serta dalam pengurangan risiko perubahan iklim.

Carbon Offsetting banyak dipilih dengan logika bahwa, menghentikan aktivitas penyebab emisi dan melakukan penyerapan karbon adalah setara.

Di Indonesia, carbon offsetting mulai banyak diminati oleh beberapa perusahaan. Gojek bekerja sama dengan jejak.in meluncurkan go-greener. Grab bekerja sama dengan Benihbaik.com dan WRI meluncurkan fitur carbon calculator.

Langkah tersebut ditempuh oleh kedua perusahaan ojek daring ini untuk menebus jumlah karbon yang dihasilkan dalam aktivitas perusahaannya. Sebagaimana diketahui bahwa kedua perusahaan tersebut bergerak di bidang transportasi yang menyumbang emisi karbon tertinggi di lingkungan.

Langkah yang diambil oleh kedua perusahaan sudah selangkah lebih maju dengan mengalokasikan dana untuk kegiatan lain penyerap karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk membayar karbon yang dihasilkan yaitu penanaman pohon. Namun, apakah carbon offsetting betul-betul menjadi solusi ?

Pemutihan Karang

Greenwashing dalam Carbon Offsetting Mengancam Ekosistem Laut

Konsep carbon offsetting yang semakin banyak diminati perusahaan mulai menimbulkan keraguan di kalangan ilmuwan lingkungan. Keraguan tersebut terletak pada apakah pengurangan yang dijanjikan benar-benar terjadi?”.

Dilansir dari Bloomberg (13/05/2021) sebuah penelitian oleh startup bernama Sylvera Ltd menganalisis 35 proyek carbon offsetting. Berdasarkan analisis tersebut ditemukan bahwa setengah dari proyek tersebut gagal dan tidak sesuai dengan klaim yang disampaikan. Hal ini menunjukkan bahwa carbon offsetting tidak sepenuhnya dapat menjadi jawaban atas masalah lingkungan.

Beberapa ilmuwan lingkungan yang dilansir dalam The Conversation (17/05/2021) menyatakan bahwa konsep net zero adalah perangkap berbahaya. Sebagaimana diketahui penyebab krisis iklim adalah melimpahnya karbon yang ada di atmosfer.

Sedangkan dengan adanya net zero yang dapat dicapai salah satunya dengan carbon offsetting memiliki prinsip bahwa mengeluarkan emisi sebanyak-banyaknya saat ini dan membayarnya di kemudian hari. Akhirnya konsep ini banyak digunakan untuk memperlambat transisi penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).

Apabila penggunaan energi fosil terus dilakukan dan jaminan terhadap carbon offsetting belum memadai, maka kerusakan akan semakin parah. Target net zero pada tahun 2050 terlalu jauh jika kerusakan saat ini tidak segera dikendalikan.

Konsep carbon offsetting banyak digunakan untuk memperlambat transisi penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT)

Menilik pada penggunaan energi fosil yang dilabeli ramah lingkungan karena penerapan carbon offsetting dalam industrinya, membuat kondisi laut semakin terancam. Ancaman gas rumah kaca yang meningkatkan suhu bumi akan mempengaruhi peningkatan temperatur laut. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya biota laut.

Salah satu yang paling terancam akibat peningkatan suhu adalah terumbu karang. Terumbu karang dapat hidup optimal pada suhu 25-29°C dan sangat rentan terhadap perubahan temperatur. Kenaikan 1°C dapat menyebabkan stres berat pada polip karang.

Hal inilah yang membuat karang mengalami pemutihan (coral bleaching). Ketika karang sudah mengalami pemutihan maka karang tidak lagi dapat menjadi habitat yang baik bagi biota laut. Secara tidak langsung rusaknya terumbu karang juga mengancam keberadaan biota lain salah satunya ikan.

Padahal menurut Food Agriculture Organization (FAO), Indonesia memiliki peluang untuk memasok pangan dunia dari hasil laut. Lantas bagaimana jika kesehatan laut tidak terjamin perlindungannya?

Oleh sebab itu, berbagai pihak hendaknya mulai mengkaji ulang konsep carbon offsetting yang sedang berlaku. Pasalnya tidak semua masalah lingkungan dapat diselesaikan dengan carbon offsetting. Perusahaan sebaiknya menjadikan konsep carbon offsetting sebagai solusi terakhir apabila pengurangan emisi aktual sudah tidak dapat dilakukan.

Supaya konsep carbon offsetting yang diterapkan tidak hanya sekedar greenwashing

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan