Krisis Lingkungan Mengancam Indonesia Akibat Sampah Impor, Hentikan!

Isu lingkungan menjadi salah satu isu yang diperhatikan dalam hubungan internasional. Hal ini dikarenakan peningkatan aktivitas manusia menyebabkan kerusakan lingkungan yang terjadi secara global dan masif.

Salah satu permasalahan yang menjadi fokus internasional adalah perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi terhadap iklim yang secara langsung maupun tidak langsung dikaitkan dengan kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer secara global dan keberagaman iklim alami yang terjadi diamati secara periodik (UNFCCC, 1992).

Urgensi isu lingkungan mendorong pembentukan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Salah satu tujuan dibentuknya UNFCCC adalah agar anggota konvensi tersebut turut berpartisipasi untuk menstabilkan tingkat gas rumah kaca.

Salah satu bentuk kerja sama paling awal dalam mitigasi perubahan iklim adalah Kyoto Protocol yang diresmikan tahun 1997. Kyoto Protocol bertujuan agar negara-negara anggotanya, khususnya negara-negara maju, berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon dengan cara menentukan target yang mengikat (UNFCCC, 2019).

Ilustrasi ekspor sampah UK setiap hari. / Foto: Greenpeace / Park Village, Studio Birthplace

Dalam Kyoto Protocol, negara-negara anggota dibebaskan untuk menjalankan berbagai kebijakan untuk mencapai target yang ditentukan. Meskipun Kyoto Protocol menekankan pencapaian target melalui upaya yang bersifat nasional, Kyoto Protocol juga menawarkan negara-negara tersebut untuk melakukan tiga mekanisme berbasis pasar, yakni clean development mechanism (CDM), joint implementation (JI), dan emission trading (ET).

Selain itu, terdapat juga Basel Convention yang mengatur pencegahan pergerakan bahan-bahan berbahaya yang terdapat dalam sampah dan limbah.

Uni Eropa merupakan satu-satunya institusi regional yang menjadi anggota dalam Kyoto Protocol dan Basel Convention. Namun, di balik partisipasi Uni Eropa dalam kebijakan lingkungan, salah satu kebijakan yang dilakukan Uni Eropa adalah ekspor sampah ke negara-negara Asia.

Sampah ini dikirimkan oleh Uni Eropa dengan tujuan untuk didaur ulang di negara-negara tujuan. Mekanisme ini sering disebut juga sebagai global waste trade. Meskipun sudah ada regulasi mengenai jenis sampah yang bisa diekspor, regulasi tersebut tidak mampu mencegah adanya unsur bahan berbahaya dan beracun (B3) yang masih terkandung dalam sampah.

Cina Berhenti Mengimpor Sampah, Indonesia?

Selain itu, terdapat sampah material yang tidak bisa didaur ulang seperti beberapa jenis plastik. Pada tahun 2017, Cina sebagai negara pengimpor sampah terbesar memutuskan untuk berhenti mengimpor 24 jenis sampah dan kebijakan tersebut berlaku sejak tahun 2018 (Lee, 2018).

Hilangnya Cina sebagai negara tujuan ekspor sampah menjadikan negara-negara Asia lainnya menjadi target. Salah satu negara yang menjadi tujuan ekspor sampah Eropa adalah Indonesia.

Di satu sisi, Indonesia masih mengizinkan impor sampah. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016, Indonesia memperbolehkan perusahaan untuk melakukan impor limbah non bahan berbahaya dan beracun (B3) untuk keperluan bahan baku industri.

Sampah plastik dijadikan bahan bakar di Desa Bagkun, Mojokerto. / Foto: Ecoton / Fully Handoko

Namun, sejak pertengahan tahun 2019 Indonesia menerima ratusan kontainer sampah yang tidak bisa didaur ulang dan mengandung B3 (Ihsanuddin, 2019) (Anggraini & Puspita, 2019).

Bahkan terdapat kasus di mana pengusaha tahu menggunakan plastik sebagai bahan bakar untuk pabrik tahunya. Sampah plastik ini didapat para pengusaha dari pabrik kertas yang diduga mengimpor secara ilegal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Australia (Tempo, 2019).

Pada tahun 2012, total terdapat 103 kontainer penuh sampah plastik yang diimpor dari berbagai negara ke Indonesia. Umumnya negara pengekspor yang juga merupakan negara industri, mengekspor sampah plastik mereka ke negara Dunia Ketiga guna menghilangkan sampah tersebut dari negara mereka.

Hal ini dilakukan karena mahalnya biaya yang harus mereka keluarkan jika mereka mengolah dan mendaur ulang sampah plastik tersebut sendiri, sehingga alternatif yang mereka gunakan adalah dengan mengekspor sampah tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengimpor sampah tersebut pun akhirnya terkena imbasnya.

Pemulung yang menggantungkan pencahariannya dari sampah plastik, kalah saing dengan kegiatan impor sampah ini. Ketika Pemerintah akhirnya mengeluarkan larangan untuk impor sampah, ratusan kontainer yang diimpor yang tidak jelas siapa pemiliknya akhirnya terbengkalai di pelabuhan.

Kontainer yang berisi sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) ini pun tidak dapat diolah dan didaur ulang, sehingga akhirnya mencemari lingkungan disekitarnya.

Daya Rusak Sampah Plastik

Menurut penelitian yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON), lingkungan di Jawa Timur menunjukkan degradasi akibat sampah impor.

Mulai pencemaran Sungai Brantas oleh mikroplastik atau potongan plastik B3 kurang dari 4,8 milimeter mengandung PCB penemuan telur ayam buras terkontaminasi racun dioksin, hingga banyak masyarakat Desa Tropodo mengidap ISPA akibat menghirup asap pembakaran sampah plastik (Ecoton 2019; Audi 2019).

Memicu beberapa LSM termasuk ECOTON melakukan upaya peningkatan kesadaran lingkungan dengan berbagai cara, seperti publikasi dan pemberitaan melalui media dengan meliput keadaan dilapangan, hingga melakukan aksi demonstrasi ke pemerintah mendesak perbaikan regulasi yang merugikan lingkungan dan masyarakat Jawa Timur.

Krisis lingkungan yang ditimbulkan sampah impor mencemari air sungai. Sebanyak 11 industri kertas daur ulang yang ada di Jawa Timur membuang limbahnya ke Sungai Brantas yang merupakan sumber air minum dan habitat ikan air tawar.

Berdasarkan penelitian ICH (2019), pada bulan Oktober 2018 sampai Maret 2019 dari 7 lokasi di Hilir Brantas dan Kali Surabaya, ditemukan partikel mikroplastik terkandung dalam air sebanyak 293 sampai dengan 2.499 partikel/liter dan di saluran pembuangan 11 industri kertas daur ulang ditemukan 3.896 partikel per liter.

Penemuan partikel mikroplastik mengindikasikan percemaran air di Sungai Brantas. Penelitian lain yang dilakukan Ecoton juga menyebutkan sekitar 80% ikan yang hidup di sungai Brantas mengandung mikroplastik dalam lambung (Surabaya.tribunnews, 2018).

Pecahan plastik di pantai. / Foto: The 5 Gyres Institute

Konsumsi mikroplastik dapat mengganggu kematangan gonad atau kelenjar reproduksi ikan jantan dan melemahkan sel telur ikan betina sehingga mengurangi populasi ikan air tawar.

Kedua, sampah impor menyebabkan pencemaran mikroplastik pada air dan tanah yang mengakibatkan penurunan kualitas air tanah (Alamsyah 2019).

Ketiga, pencemaran udara dari pembakaran plastik yang mengeluarkan zat dioksin yang beracun.

Perubahan lingkungan seperti pencemaran air, tanah, dan udara menjadi salah satu ancaman atau krisis yang menyebabkan rasa tidak aman bagi masyarakat. Bahaya bagi masyarakat terlihat dari kualitas air yang digunakan untuk kebutuhan mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Sumber air minum dari Sungai Brantas maupun air tanah dari sumur sudah tercemar mikroplastik dan ikan-ikan yang ditangkap dari sungai mengandung mikroplastik.

Menurut laporan penelitian Azoulay et al. (2019) apabila mikroplastik dikonsumsi manusia, sejumlah penyakit berbahaya dapat timbul seperti: (1) peradangan yang terkait kanker, penyakit jantung, penyakit radang usus, artritis reumatoid; (2) penyakit kronis seperti arterosklerosis, kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular; (3) genotoksisitas atau kerusakan yang menyebabkan mutasi yang memicu kanker dan penyakit autoimun.

Bukti manusia telah mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung mikroplastik dapat dilihat dari penelitian Ecoton (2019) yang menemukan mikroplastik pada feses manusia.

Sedangkan pencemaran udara akibat pembakaran sampah plastik di Desa Tropodo untuk bahan bakar pembuatan tahu menyebabkan berbagai macam racun seperti karbon monoksida, furans, merkuri, dan dioksin lepas ke udara (ECOTON & Nexus 3 2019).

Bahaya kesehatan yang disebabkan dari pembakaran dapat merusak sistem saraf, mengganggu sistem endokrin, memicu hormon tidak seimbang, mengganggu sistem reproduksi, memutasi DNA pencetus kanker, dan mengganggu sistem kekebalan tubuh (Aliansi Zero Waste 2019).

Hentikan Plastik dan Aksi Sekarang

Sudah bukan rahasia bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang sampah plastik terbanyak di dunia. Jika pada 2030 sampah tersebut tidak dikurangi, jumlahnya bisa lebih banyak dari jumlah ikan yang ada di laut Indonesia.

Agar hal itu tidak terjadi, kita sebagai individual atau konsumen sebaiknya mulai mengurangi pemakaian plastik pada kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita bisa berkontribusi untuk mengurangi sampah plastik di Indonesia dengan cara hindari penggunaan sedotan plastik, gunakan kantong reuseable, berhenti membeli air minum kemasan, gunakan piring, mangkuk berbahan kaca dan yang bukan sekali pakai dan lain lain yg dapat mengurangi sampah plastik.

Selain upaya kita secara individual, kita bersama juga memiliki kekuatan besar dengan bersuara untuk menekan produsen (Perusahaan) serta pemerintah yang memiliki daya dan kewenangan untuk membuat kebijakan yang benar-benar serius menghentikan krisis plastik yang kompleks ini.***

Baca juga: Pulau Tunda, Pulau Indah Korban Struktural Pengelolaan Kawasan dan Produsen Sampah Plastik

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan