Pulau Anak Karas, Batam dan Jejak Penyu

Pulau Anak Karas

Pulau Anak Karas, Kelurahan Karas, Kecamatan Galang, Batam merupakan satu dari banyak pulau di Kepulauan Riau (Kepri) yang menyajikan keindahan Indonesia sebagai Negara bahari serta menjadi tempat penyu singgah ke pantainya.

Pulau dengan luas sekitar 13 hektar ini juga memegang peranan penting terhadap keberlangsungan hidup Penyu sebagai satwa yang dilindungi.

Berdampingan dengan Pulau Karas yang dihuni lebih dari 3.000 (tiga ribu) jiwa penduduk, pulau yang di dalamnya terdapat suar yang sudah berusia lebih dari 130 tahun ini ikut menopang aktivitas masyarakat yang pada umumnya berprofesi sebagai nnelayan tangkap.

Karang yang masih terjaga memberikan keuntungan buat nelayan dengan keanekaragaman serta kelimpahan hasil laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Foto Bobi Bani
Tukik (Anakan Penyu) di pantai berpasir putih

Separuh dari garis pantai yang mengelilingi Pulau Anak Karas ini menjadi area penyu (jenis Penyu Hijau dan Penyu Sisik) membuat sarang pada musim bertelur antara bulan April sampai September setiap tahun.

Pulau ini juga menawarkan kenyamanan bagi penyuka keindahan alam ditambah kearifan masyarakat Melayu yang menyambut kehadiran mereka.

Busri, warga Pulau Karas, menjadi orang yang paling dikenal dan terkait langsung dengan Pulau Anak Karas.

Ia adalah nelayan yang merangkap sebagai pengelola kawasan untuk kegiatan pengawasan ekosistem Penyu dan melayani orang-orang yang datang berkunjung.

Sejak sekitar lima tahun lalu, Busri lebih fokus menjaga keberlangsungan siklus perkembangbiakan Penyu di sini.

Pada musim bertelur penyu di Pulau Anak Karas pada 2017 lalu, ada sebanyak 648 ekor tukik yang berhasil dilepasliarkan. Angka tersebut menurun pada 2018, dimana hanya ada 280 ekor tukik yang dilepasliarkan.

Peningkatan terjadi pada 2019, ada sebanyak 1.072 ekor tukik yang berhasil menjangkau perairan bebas di sekitar Pulau Anak Karas.

Di tahun 2020, jumlah telur yang menetaskan tukik kembali mengalami penurunan, hanya ada 580 ekor tukik yang berhasil dilepasliarkan.

Pada prosesnya, fluktuasi jumlah Tukik yang berhasil dilepasliarkan di kawasan perairan Pulau Anak Karas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Salah satu faktor utamanya adalah pengawasan telur di sarang yang tidak bisa maksimal dilakukan oleh Busri. Sehingga memudahkan predator alami seperti Biawak dan Tikus memangsa telur.

Meskipun demikian, Busri tetap melakukan upaya semampunya. Ia mengidentifikasi sarang secara tradisional, menutupi sarang dengan kerangkeng terbuat dari jaring dan menutupi sarang dengan atap sehingga suhu di dalam sarang tetap stabil.

Pada musim bertelur Penyu, Busri harusnya datang setiap hari ke Pulau Anak Karas untuk memantau keadaan sarang, namun hal itu kadang tak bisa dilakukan karena keterbatasan biaya dan waktu ia bekerja sebagai nelayan.

Selain itu, penyu juga rentan dengan ancaman plastik di lautan dan predator. Sebagaimana dilansir dari website Greenpeace Indonesia, penyu memakan ubur-ubur namun sampah plastik di lautan dapat mengecoh penyu yang mirip seperti ubur-ubur.

Kemudian ancaman dari predator saat penyu masih menjadi tukik (anakan penyu) yang mendapat ancaman dari kepiting, burung, kadal, dan banyak predator lainnya.

Baca juga: Sedotan Plastik Bisa Merugikan Penyu ?

Editor: Jibriel Firman

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan