Sedotan Plastik Bisa Merugikan Penyu ?

Sudah sejak 2012 aku tinggal bersama dengan kura-kuraku yang aku beri nama Franklin. Dia adalah kura-kura jenis brazil, aku membelinya di sebuah pasar yang hanya buka pada hari Minggu. 

Waktu kecil aku sering membaca ensiklopedia tentang kura-kura. Kebanyakan jenis kura-kura bisa hidup sampai puluhan tahun. Bahkan kura-kura laut atau penyu bisa hidup hingga seratus lima puluh tahun. 

Sehingga memutuskan untuk memelihara Franklin bukanlah keputusan yang sepele, bukan lucu-lucuan, bukan hanya keinginan sesaat. Kebersamaanku dengan Franklin akan bertahan dari tahun ke tahun. Franklin akan menjadi hewan peliharaanku satu-satunya.

Memelihara Franklin membuat banyak orang di sekitarku jadi sering memberikan informasi berupa artikel dan video seputar kura-kura yang mereka temui.

Tapi ada satu video yang tidak pernah akan aku lupakan. Dalam video tersebut, di sebuah kapal, ada dua orang pria memegang seekor penyu. Sementara satu orang lagi berusaha mengeluarkan sedotan dari dalam hidung penyu tersebut.

Aku hanya bisa menerka, mungkin penyu itu kesakitan tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin juga dia sadar ada benda asing masuk ke dalam tubuhnya, tapi tidak bisa mengeluarkannya. 

Selanjutnya aku menemukan diriku menelusuri cerita tentang laut dan sampah. Melalui dokumentasi yang diunggah di YouTube oleh seorang penyelam asing di lautan Indonesia. Hingga film dokumentasi besar-besaran disebuah streaming service terkenal. 

Saat itu es kopi yang tengah aku nikmati sambil menunggu senja tidak selesai aku habiskan. Rasa bersalah menyelimutiku. Kemudian sebuah pertanyaan muncul di otak berulang-ulang.

Dimanakah berakhirnya sampah sedotan yang sudah aku pakai?

Apakah sedotan ini, sedotan yang tengah kugunakan untuk menikmati minuman kesukaanku, akan berakhir di lautan?

Tanpa sadar aku membuat misi untuk diriku sendiri. Setiap kali aku membeli es kopi, aku akan meminta barista untuk menggunakan tempat minum yang selalu aku bawa. Aku juga menggunakan sedotan yang selalu bisa dicuci. Ini mungkin hal kecil yang bisa aku lakukan untuk menjauhkan penyu dari sampah yang bisa membahayakan kehidupan mereka.

Seringkali perlakuanku dianggap terlalu ekstrim. Ejekan dan tawa dari orang disekitarku kerap muncul ketika aku menolak menggunakan sedotan. Biasanya mereka akan membujukku dengan kalimat, ya kan ini sekali doang. Tapi tahukah mereka kalau alasan itu dipakai oleh ribuan atau jutaan orang sehari, maka akan menghasilkan jutaan juga sampah di hari yang sama.

Kenyataannya, mengutip sebuah artikel “hasil perhitungan sementara dari Tim Koordinasi Sekretariat Nasional Penanganan Sampah Laut, total sampah yang masuk ke laut pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 521.540 ton, di mana sekitar 12.785 ton berasal dari aktivitas di laut.”

Berarti lebih dari 12.785 ton sampah lainnya bisa jadi adalah sedotan bekas yang telah dipakai oleh pecinta kopi dan penikmat senja seperti aku. Lebih parahnya lagi, plastik baru bisa terurai lima puluh sampai seratus tahun lamanya. 

Kalau membicarakan soal penyu di Indonesia sendiri akan sangat panjang dan mungkin bisa jadi artikel lainnya. Tapi bayangkan satu penyu berhasil dilepaskan dari penangkaran dan siap hidup di laut. Iya dia bebas, dia bisa secara leluasa menjelajah lautan.

Namun, akankah dia selamat ketika harus berenang di antara banyaknya sampah di lautan?

Atau mari bayangkan, jika penyu harus hidup di tengah-tengah sampah sepanjang hidupnya. Lima puluh tahun, tidak, seratus tahun harus hidup berdampingan dengan sampah plastik. Itu bukan kehidupan yang menyenangkan.

Aku tidak akan pernah membiarkan Franklin, kura-kuraku, hidup seperti itu. 

Bagaimana dengan kamu?

Hal kecil apa yang sudah kamu lakukan untuk melindungi laut Indonesia?

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan