Inovasi Vessel Monitoring System (VMS) dan Command Center, Jawaban Persoalan IUU Fishing?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan inovasi alat Vessel Monitoring System (VMS) untuk memantau pergerakan dan aktivitas kapal perikanan. Upaya ini juga akan didukung dengan adanya command center yang diklaim dapat mengintai praktik illegal fishing selama 24 jam.

Adapun jenis kapal yang diwajibkan memasang VMS adalah yang tergolong di atas 30 gross ton (GT). Apabila alat ini mati atau sengaja dimatikan, command center yang bekerja dengan basis pengawasan satelit akan menggerakkan petugas untuk menindak kapal tersebut dalam waktu kurang dari dua jam.

Bagi pemerintah, tentu VMS bermanfaat untuk pengendalian penangkapan ikan maupun tata kelola perikanan secara keseluruhan. Di sisi lain, keberadaan VMS juga memberikan manfaat bagi pemilik kapal sehingga mereka tidak perlu membuat sistem pemantauan tersendiri.

VMS dan Command Center Bukan Inovasi Baru

Penggunaan VMS maupun command center ternyata bukan yang pertama kali dilakukan pemerintah. Teknologi VMS di Indonesia sudah diterapkan sejak tahun 2003 melalui kerja sama antara Indonesia dan Prancis dalam pengembangan Fishing Monitoring Center dan pengadaan 1.500 transmitter VMS.

Penerapan VMS kemudian diatur dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, yaitu Permen KP Nomor 10 Tahun 2019 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan yang mewajibkan pemilik kapal perikanan di atas 30 GT yang mengantongi izin di WPP-NRI maupun yang berizin di laut lepas untuk membeli transmitter dan air time.

Dalam perkembangannya, pemerintah terus melakukan inovasi untuk mengoptimalkan penggunaan VMS. Termasuk di antaranya adalah membuka sistem penyedia layanan VMS, mengembangkan automatic warning system, dan pertukaran data (exchange) serta integrasi dengan radar satelit untuk mengawasi praktik illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing.

Sementara command center, keberadaannya telah diresmikan sejak 2022 lalu oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut B. Pandjaitan. Pemerintah meyakini pendirian command center mampu mencegah potensi pelanggaran penangkapan ikan secara real-time

Command Center KKP RI. / Foto: Antara News

Command center dikembangkan menggunakan perangkat bernama Integrated Maritime Intelligent Platform. Teknologi ini bekerja dengan basis pengawasan satelit yang bertujuan untuk menjaga dan mendeteksi aktivitas kapal ikan dengan data-data spasial tematik.

IUU Fishing Masih Terjadi

Kendati telah diterapkan selama hampir dua dekade yang lalu, isu IUU fishing masih menjadi tantangan serius yang dihadapi Indonesia. Greenpeace Indonesia mengungkapkan angka IUU fishing mencapai 4.326 kapal baik lokal maupun asing. Adapun potensi ikan yang dicuri adalah sebesar 25 persen dengan produksi menembus angka 107 persen.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) KKP pada 2005–2010, mencatat bahwa aktivitas pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing di perairan Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sebanyak 1.059 kapal pelaku IUU fishing berhasil ditangkap dalam periode ini.

Kemudian pada 2015-2021, jumlah kapal perikanan ilegal tertangkap mengalami penurunan menjadi sebanyak 842 kapal. Meskipun demikian, nilai kerugian akibat IUU fishing tetap membengkak setiap tahunnya.

Praktik ilegal ini bahkan melampaui produksi ikan di Indonesia yang hanya mencapai 24 juta ton. Akibatnya, Indonesia merugi hingga Rp45 triliun per tahun. Praktik IUU fishing tidak hanya merugikan perekonomian, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem di lautan.

Keberadaan VMS sayangnya tidak dapat mendeteksi jenis satwa laut yang ditangkap oleh kapal-kapal perikanan besar. Padahal, penanganan IUU fishing seharusnya tidak hanya berbicara soal kuota, tetapi juga perlindungan terhadap satwa laut yang dilindungi.

Salah satu satwa laut yang tergolong sebagai hewan langka, terancam punah dan dilindungi (endangered, threatened and protected species/ETP species) adalah ikan hiu. Ikan yang sering diambil siripnya ini menjadi sasaran empuk pelaku IUU fishing. Di luar data penangkapan ikan ilegal, produksi sirip hiu kering di wilayah perairan Arafura saja sudah mencapai 18,6 ton per tahun sepanjang 2018–2020.

hiu portugal atlantik
Penangkapan ETP species seperti hiu masih marak terjadi. / Foto: Greenpeace

KKP mengungkapkan Selama 15 tahun terakhir, terjadi penurunan populasi hiu hingga 28 persen di Indonesia. Pemerintah kemudian menerbitkan sejumlah regulasi untuk melindungi ikan ini dari kepunahan. Salah satunya pada jenis ikan Hiu Paus (Rhincodon typus) yang ditetapkan dalam Kepmen KP Nomor 18 Tahun 2013 dengan status perlindungan penuh.

Butuh Upaya yang Inklusif

Penerapan teknologi canggih dalam VMS maupun command center merupakan terobosan untuk mendukung tata kelola perikanan. Namun, persoalan IUU Fishing yang masih saja terjadi, mengharuskan Indonesia untuk berupaya lebih keras lagi agar dapat mengoptimalkan manfaat dari teknologi tersebut. 

iuu fishing
Aktivis Greenpeace mengejar kapal penangkap ikan purse seine ilegal, tidak terdaftar dan tidak berlisensi (IUU) di laut lepas, dekat perbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kapal penangkap ikan bajak laut, yang tidak memiliki tanda atau nama yang jelas terlihat di lambung kapal, dicat dengan kata ‘bajak laut’ oleh para aktivis. Greenpeace sebelumnya menangkap kapal tersebut melanggar hukum internasional dengan melakukan trans-shipping tuna dalam jumlah besar ke kapal reefer, atau kapal cold-storage, di perairan internasional. / Foto: Alex Hofford / Greenpeace

Kemudian yang tidak kalah penting adalah bagaimana inovasi tersebut bisa disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Perlu diketahui bahwa pelaku usaha sektor perikanan tangkap di negara ini sangat beragam. Sementara kebijakan VMS sejauh ini hanya diberlakukan bagi kapal perikanan berskala besar.

Padahal, pelanggaran juga berpotensi marak untuk kapal ikan Indonesia (KII) dengan ukuran di bawah 30 GT. Aktivitas dan pergerakan kapal-kapal ini akan sulit dideteksi karena tidak dilengkapi VMS–maupun sistem identifikasi otomatis (AIS). Sementara itu, pemerintah provinsi yang diharapkan bisa melakukan pengawasan nyatanya tidak memiliki kecukupan sarana, prasarana, dan anggaran.

Badan Keamanan Laut (Bakamla) diketahui hanya memiliki 32 armada kapal, sedangkan jumlah yang dibutuhkan Indonesia untuk menjaga luas wilayah 3,25 juta kilometer persegi dan 2,55 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di tahun 2021 mencapai setidaknya 77 kapal pengawas.

Terlepas dari inovasi penerapan VMS ataupun command center, penanganan praktik IUU fishing tetap membutuhkan upaya yang inklusif, mulai dari kesiapan sarana dan prasarana, implementasi kebijakan, hingga kapasitas sumber daya manusia yang melakukan pengawasan.***

Baca juga: Penyebab Langgengnya Penangkapan Hiu dan Overfishing dalam Industri Perikanan

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan