Peranan Akar Bahar Melalui Lensa Dua Alam: Dunia Pasar dan Dunia Bawah Laut

Tentunya sebagai pecinta laut, pengenalan organisme seperti termbu karang, pari manta, hiu, dan berbagai jenis hewan lainnya sudah tidak asing terdengar ditelinga kita bukan?

Kehadiran dan keberadaan spesies ini tentunya banyak dikenal karena adanya pembahasan topik organisme yang luas tersebar di berbagai media. Namun pernahkah kamu mengetahui, bahwasannya di antara jutaan spesies organisme laut, ternyata ada organisme yang lebih akrab dikenal peranan ataupun kehadirannya di pasar ketimbang di laut? Organisme yang dimaksud adalah Antipatharia (akar bahar).

Antipatharia atau dalam Bahasa Indonesia sering dikenal sebagai akar bahar memiliki peranan kisah yang cukup unik bila dibandingkan dengan organisme lainnya.

Bila sekilas melihat keberadaan organisme ini dipasar ataupun toko- toko perhiasan, tentunya banyak orang beranggapan bahwa organisme ini dipanen dari pohon dengan tekstur ranting berbentuk seperti akar yang sangat kuat. Namun dibalik penampakannya yang mengelabui, ternyata organisme ini berasal dari laut dan memiliki peranan penting sebagai habitat bagi puluhan hingga ribuan organisme laut hanya pada satu koloni (Love et al. 2007).

Ya, sebagai organisme laut, tentunya hewan ini memiliki sebuah peranan yang dijalankan dalam ekosistem perairan.

Lakon yang diperani oleh organisme ini memberi kontribusi sebagai penyedia habitat atau yang dikenal juga rumah bagi organisme lainnya. Namun berbeda dengan organisme penyedia habitat lain yang umumnya hanya mampu memberikan kebermanfaatan habitat pada ruang niche tertentu saja, ternyata organisme ini sangat spesial sehingga mampu memberikan kebermanfaatan dari perairan dangkal hingga kedalaman 8.900 m dengan kondisi tekanan tinggi, suhu rendah, dan tanpa cahaya sekalipun (Wagner et al. 2012).

Beberapa organisme laut yang berasosiasi dengan habitat akar bahar diantaranya seperti ikan kecil/ larva, kelomang, ular bintang laut, nudibranch, kepiting, udang, dan lain sebagainya (Parrish et al. 2002) (Gambar 1).

Gambar 1. Peran utama akar bahar sebagai habitat bagi organisme laut. / Foto: Clive

Namun sekarang pertanyaannya, mengapa nilai penting organisme laut ini masih belum banyak diketahui oleh ruang publik?

Malahan nilai sekunder organisme ini jauh lebih popular dibandingkan nilai primernya sebagai habitat. Jawaban misteri pertanyaan ini bermula dari sebuah miskonsepsi yang terjadi ribuan tahun lamanya.

Konon masyarakat pada zaman dahulu, banyak mengartikan fungsi sebuah organisme berdasarkan arti dari nama ilmiahnya. Dalam hal ini nama ilmiah akar bahar yang dikenal dengan Antipatharia berasal dari gabungan 2 bahasa Yunani yakni : “anti” yang berarti tidak dan “pathos” yang berarti kejahatan atau penyakit.

Berdasarkan terjemahannya, banyak masyarakat mengartikan kedua kata ini sebagai jimat/gelang penangkal kesialan dan penyakit (Gambar 2). Hal ini merupakan suatu kepercayaan lama yang diyakini oleh berbagai kelompok masyarakat secara turun temurun di berbagai negara seperti Indonesia, China, India, dan negara-negara di Kepulauan pasifik (Bruckner 2016).

Pernyataan ini juga didukung dari salah satu survey yang telah dilakukan oleh tim Our ConservaSea pada tahun 2021, yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengenal fungsi akar bahar sebagai jimat dan obat-obatan dari orang tua seperti om, tante, dan lain sebagainya.

Gambar 2. Gelang akar bahar yang dikenal sebagai jimat penangkal kesakitan atau kesialan. / Sumber foto: 7perhiasan.com

Namun bila kita telusuri dan melihat organisme ini dari lensa saintifik, ternyata asal usul nama akar bahar (Antipatharia) sebenarnya bukan berasal dari terjemahan kata, melainkan berasal dari protein penyusun kerangka koloni akar bahar yang bernama Antipathin (Goldberg 1978).

Lebih lanjut ternyata kekeliruan antara pemahaman arti Antipatharia terjemahan dan makna sebenarnya, telah menimbulkan banyak efek samping yang tidak berkelanjutan.

Peranan akar bahar yang diyakini dapat memberi perlindungan ataupun menangkal berbagai bentuk kesialan, telah menggeser nilai primer organisme laut ini dari habitat penting menjadi komoditas perhiasan di berbagai belahan dunia. Selain itu popularitasnya juga banyak dipertahankan berbagai kelompok masyarakat karena dapat mendukung tiang perekonomian komunitas pesisir, kerajinan, dan pegagang.

Sifat biologis akar bahar yang membutuhkan waktu ribuan tahun untuk tumbuh sebagai satu bagian koloni yang utuh, merupakan salah satu alasan mengapa praktik pemanenan akar bahar tidak berkelanjutan.

Apabila praktik pemanenan akar bahar terus dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya upaya penaganganan khusus, maka akan berpotensi mengancam populasi organisme ini dilaut.

Lebih uas lagi, efek samping praktik ini dapat berubah menjadi efek domino berkepanjangan yang dapat mengancam kelestarian dan keseimbangan ekosistem laut secara keseluruhan.

Melihat besarnya pengaruh miskonsepsi masyarakat terhadap kelestarian akar bahar, maka ketersediaan informasi akurat dan terpercaya merupakan salah satu kunci solusi yang dapat mengurangi ancaman terhadap organisme ini.

Melalui penyebaran informasi secara luas dari berbagai media cetak dan elektronik, semoga dapat berkontibusi dalam menggeser miskonsepsi fungsi akar bahar  sekunder dan berahli pada fungsi primernya sebagai penyedia habitat bagi kelestarian laut kita.

Nah jadi buat sobat yang saat ini sudah membaca artikel ini dan mengenal pentingnya peranan akar bahar bagi laut kita, yuk bersama kita jaga  keberadaannya dilaut dan melestarikannya dengan tidak membeli produk akar bahar.

Jangan lupa juga untuk membagikan informasi penting ini ke sobatmu yang lain agar bersama kita dapat mendukung kelestarian hidup akar bahar demi kehidupan laut yang lebih baik.***

Baca juga: Demi Nikel Dan Kendaraan Listrik, Kemelut Tailing Di Dasar Laut

Editor: J. F. Sofyan

Referensi:

Bruckner AW (2016) Advances in management of precious corals to address unsustainable and destructive harvest techniques. In: Goffredo S, Dubinsky Z (eds) The Cnidaria, Past, Present and Future, 1st edn. Springer International Publishing, Cham, Switzerland, pp 747–786

Goldberg WM (1978) Chemical changes accompanying maturation of the connective tissue skeletons of gorgonian and antipathariancorals. Mar Biol 49:203–210

Love, M.S., Yoklavich, M.M., Black, B.A. & Andrews, A.H., 2007. Age of black coral (Antipathes dendrochristos)
colonies, with notes on associated invertebrate species. Bulletin of Marine Science, 80, 391–400.

Parrish, F. A., K. Abernathy, G. J. Marshall, and B. M.  Buhleier. 2002. Hawaiian monk seals (Monachusschauinslandi) foraging in deep-water coral beds. Mar. Mammal Sci. 18:244-258.

Wagner, D., Luck, D. G., & Toonen, R. J. (2012). The biology and ecology of black corals (Cnidaria: Anthozoa: Hexacorallia: Antipatharia). Advances in marine biology63, 67-132.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan