Melestarikan Padang Lamun, Mengatasi Dampak Perubahan Iklim

Aktivitas manusia telah menyumbangkan gas karbon dioksida yang cukup banyak ke  udara dan atsmofer bumi. Hal tersebut berdampak pada terjadinya perubahan iklim.

Perubahan iklim merupakan permasalah global, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca mendorong suhu global pada tingkat berbahaya. Berdasarkan penelitian dari  Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahawa suhu permukaan global 1.09 0C lebih tinggi dalam sepuluh tahun antara tahun 2011-2020 dibandingkan 1850 -1900.

Laporan ini mengidikasikan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir merupan kondisi suhu bumi memasuki suhu terpanas dalam sejarah sejak tahun 1850, hal ini tentunya berdampak pada kenaikan permukaan laut yang mencapai tiga kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1901-1971.

Tak hanya kenaikan permukaan air laut  dampaknya kian dapat kita rasakan. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan hingga kekeringan panjang merupakan tak bisa kita pisahkan sebagai dampak perubahan iklim.

Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon, dengan target pada tahun 2030 dapat mencapai net zero untuk membalikan kenaikan suhu. Pengunaan energi alternatif seperti pembangkit listrik tennaga nuklir, pengelolah sampah merupakan upaya nyata yang sedangf dikembangkan.

Namun pernahkah kita berfikir bahwa lautan merupakan salah satu kunci untuk mengatasi permasalah perubahan iklim?

Lautan menyimpan 93% CO2 yang telah dilepaskan ke bumi, hal inilah yang menjadikan peranan lautan sangat penting dalam siklus karbon.

Di dalam lautan terdapat berbagai sumber daya alam hayati yang dapat mendukung mengurangi dampak perubahan iklim salah satunya adalah lamun (seagrass).

Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang telah beradaptasi dan tumbuh di dalam lautan. Lamun merupakan salah satu tumbuahan yang dapat menyerap gas CO2. Lamun melakukan proses fotosintesis menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari.

Hasil penyerapan karbon dioksida melalui proses fotosintesis yang dilakukan tanaman lamun kemudian akan disimpan dalam bentuk biomassa, dibawah maupun diatas substrat.

Dari aktivitas fotosintesis padang lamun mampu menyerap karbon dengan rerata 0,21 ton/ha. Penelitian lain meyebutkan bahwa padang lamun mampu menyerap karbon sebesar 1.15 ton/ha, dimana kandungan karbon dibawah substrat sebesar 0.08 ton/ha atau 76.3% lebih tinggi dibandingkan karbon diatas substrat yang hanya mampu menyerap 0.26 ton/ha atau 23.7% (Rahadiarta et al., 2018).

Padang lamun. / Foto: Greenpeace / Paul Hilton

Tak hanya berperan dalam penyeraban karbon padang lamun juga memimilki banyak pernan bagi biota laut, seperti tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), maupun sebagai tempat memijah atau berkebang biak (spawning ground).

Berbagai biota berasosiasi dengan lamun untuk memperoleh tempat asuhan seperti fauna sessile yaitu fauna yang tidak banyak bergerak seperti bulu babi (Echinoidea), teripang (Halothuroidea), ikan baronang (Siganus guttatus), penyu (Chelonioidea), kepiting (Brachyura)(Rahman et al., 2020).

Lamun sebagai produsen memilkik tingkat produktivitas primer yang lebih tinggi jika dibandingkat dengan ekositem dangkal lain  seperti ekosistem mangrove atau ekositem terumbu karang. Hal ini lah yang menjadikan lamun sebagai tempat mencari makan (feeding ground) dari beberpa biota laut seperti manate, penyu dan dugong.

Keberadan dugong bahkan tak bisa terlepas dari ekosistem padang lamun, hal ini disebabkan hewan ini mencari makanan dari daerah padang lamun. Makanan utama dugong ialah dari jenis lamun pioneer seperti genus Halophila dan Halodule. Selain itu padang lamun juga sebagai tempat berpijah (spawing ground) beberapa jenis ikan(Sunuddin et al., 2016).

Dogong di padang lamun. / Foto: Roberto Sozzani / Greenpeace

Padang lamun memegang peran penting bagi kehidupan biota laut maupun manusia, namun beberapa dekade padang lamun terus menerus mendapatkan tekanan yang mengancam kelestarianya. Ancaman terhadap kelestarian padan lamun berasal alami maupun akibat aktivita manusia.

Secara alami ancaman padang lamun berasal dari ombak besar, arus kuat, badai sedangkan aktivitas manusia seperti kegiatan penangkapan ikan mengunakan alat tangkap yang merusak, alur lalu lintas lapan maupun kegiatan lain yang dapat memicu terjadinya pencemaran perairan yang berdampaj terjadinya degradasi padang lamun(Rahman et al., 2020).

Mengingat peran vital padang lamun makan diperlukan berbagai upaya untuk menjaga dan melestarikanya. Upaya rehabilitas padang lamu dapat melalui dua cara yaitu rehabilitas lunak dan rehabitias keras.

Rehabilitas lunak berkenaan dengan penangulangan akar permasalah yang berfokus pada penekanan pengendalian prilaku manusia. Rehabilitas lunak dapat mencakup pembuatan kebijakan dan stategi pengolahaan oleh para pemangku kepentingan, penyadaran masyarakat yang dapat dilakukan melaui kampanye, penyebaran materi, pengikut sertaan tokoh masyarakat dalam penyebaraluasan bahan penyadaran, Pendidikan hingga penegakan hukum secara konsisten bagi pelaku pelangar(Warahmah et al., 2022).

Rehabilitas keras merupakan kegiatan yang berkenaan secara langsung dengan perbaikan lingkungan, Kegiatan rehabilitas keras dapat berupa transplatasi lamun di lingkungan yang memerlukan rehabitas.

Metode penanaman dapat melalui metode pembibitan atau pembenihan (Seed/Seeding). Metode spring dengan menggunakan jangkar dan metode plug yaitu dengan pengambilan bibit tanaman dengan patok paralon dan tanaman dipindahkan dengan substarat(Warahmah et al., 2022).

Padang lamun merupakan kunci untuk dapat mengatasi dampak permasalahan perubahan iklim dan melestarikan padang lamun juga berarti kita memberikan kehidupan bagi biota peraian lain.***

Baca juga: Fungsi Lamun dalam Ekosistem Laut

Editor: J. F. Sofyan

Referensi

Rahadiarta, I. K. V. S., Putra, I. D. N. N., & Suteja, Y. (2018). Simpanan Karbon Pada Padang Lamun di Kawasan Pantai Mengiat, Nusa Dua Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 5(1), 1. https://doi.org/10.24843/jmas.2019.v05.i01.p01

Rahman, I., Astriana, H., Diniarti, N., Waspodo, S., Damayanti, A. A., Perikanan, J., Kelautan, I., Pertanian, F., & Kunci, K. (2020). Pendampingan Masyarakat Dalam Kegiatan Monitoring Sebagai Upaya Pelestarian Ekosistem Lamun Di Perairan Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara. 1(4). http://http://jurnal.lppm.unram.ac.id/index.php/jurnalpepadu

Sunuddin, A., Khalifa, M. A., Lubis, S. B., Setiono, & Tania, C. (2016). Bunga Rampai Konservasi Dugong Dan Habitat Lamun Di Indonesia.

Warahmah, S., Jannah, R., Yolanada, S. D., & Halimatussyadiah, E. (2022). Metode Transplantasi Ekosistem Padang Lamun di Indonesia (Vol. 4

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan