Potensi Rumput Laut Merah sebagai Bioremediasi Logam Berat di Perairan Teluk Jakarta

Tahukah kamu mengenai flora yang satu ini ???

Flora yang satu ini sangat terkenal memiliki beragam manfaat dan berasal dari lautan.  Yaa tentu saja rumput laut!

Rumput laut merupakan salah satu jenis flora yang berasal dari lautan. Flora satu ini biasanya di manfaatkan oleh masyarakat wilayah pesisir untuk membuat berbagai jenis olahan  makanan dan minuman.

Karena proses pembuatan dengan mengunakan bahan ini tergolong sangat mudah dan tidak memperlukan bantuan teknologi khusus untuk merubah bahan ini menjadi makanan dan minuman siap saji.

Rumput  laut tidak hanya di gunakan untuk membuat agar- agar atau  untuk bahan dasar pembuatan produk kecantikan, ternyata  manfaat rumput laut jenis alga merah ini lebih dari itu. Rumput laut merah atau lebih dikenal dengan nama glacilaria sp.

Glacilaria sp. memiliki ciri umum yaitu berbentuk thallus yang sedikit lebih pipih atau silindris dengan ciri khusus memiliki warna merah. Flora kecil dari lautan ini memiliki berjuta manfaat mulai dari bidang kecantikan sampai bahan yang di gunakan untuk mengurangi akumulasi cemaran logam di perairan.

Menurut penelitian yang di lakukan oleh (Purba et al. 2019; Apriani dan Zulhami. 2017) Glacilaria sp. yang merupakan jenis alga merah (Rhodophyceae) yang hidupnya di daerah tropik dan  subtropik dan  tumbuh dominan di perairan laut dangkal, maka rumput laut jenis ini sering ditemukan di perairan indonesia.

Rumput laut ini cukup melimpah keberadaan nya dengan potensi di dalamnya yang sangat sesuai dengan kondisi lautan yang ada di Indonesia. Kondisi lautan di Indonesia saat ini banyak tercemar kandugan logam berat. Seperti perairan di Teluk Jakarta yang memiliki kandungan logam berat cukup tinggi.

Berdasarkan dengan penelitian yang di lakukan oleh Rochayatun dan Rozaik pada tahun 2007 perairan Teluk Jakarta memiliki tingkat akumulasi logam berat paling tinggi di ungkapkan bahwa kandungan logam berat pada sedimen Teluk Jakarta sangat mengkhawatirkan, yaitu dan Pb (27,8 – 104,9 mg/g) serta dan  Pb  dalam  perairan  (1,570-1,750  mg/ml).

Berdasarkan  berdasarkan Kepmen-LH no 51 tahun 2004 ambang batas yang diperbolehkan untuk logam berat pb berkisar 0,008 mg/ml sedangkan di perairan teluk Jakartalogam berat pb telah melampaui batas. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di teluk Jakarta sudah tercemar oleh logam berat Pb. Padahal jakarta merupakan wilayah terpadat di indonesia.

Hal ini sangat membahayakan apabila manusia mengkonsumsi makanan yang bahan nya bersumber dari perairan yang tercemar oleh logam berat. Pb adalah  logam berat yang  mempunyai afinitas yang paling tinggi terhadap belerang dan menyerang ikatannya didalam enzim.

Sebagai logam berat,  Pb  digolongkan  ke  dalam  bahan  pencemar  yang  berbahaya  di  suatu perairan. Logam berat Pb dalam  perairan akan sulit mengalami degradasi bahkan logam akan mengendap di dasar perairan dan akan teradsorpsi ke dalam tubuh organisme.

Logam Pb merupakan salah satu logam berat beracun dan berbahaya, banyak ditemukan sebagai pencemar dan cenderung mengganggu kelangsungan hidup organisme perairan.

Oleh sebab itu hal semacam ini seharusnya tidak di biarkan berlarut-larut karena cukup membahayakan untuk kelangsungan biota yang ada pada perairan tersebut. Oleh sebab itu melihat potensi dari glaciaria sp. yang dapat di jadikan sebagai agen bioremediasi untuk mengurangi kosentrasi logam berat Pb di suatu perairan.

Maka hal tersebut dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kosentrasi Pb di perairan. Bioeremediasi itu sendiri merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan  memanfaatkan  proses  biologi  dalam  mengendalikan  pencemaran.

Keberadaan glacilaria sp. yang sangat melimpah di indonesia ini diharapkan dapat mengurangi kosentrasi logam berat di suatu perairan demi menjaga kelangsungan hidup biota dan manusia serta menjaga keseimbangan lingkungan, khususnya perairan laut di Indonesia.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan