Analisis Degradasi Terumbu Karang pada Kawasan Wisata Bahari Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah

Secara administratif, Karimunjawa berada di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Indonesia. Terdapat 27 pulau di kawasan Kepulauan Karimunjawa, namun hanya 22 pulau yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional.

Karimunjawa memiliki luas daratan 7.033 ha dan luas lautan 104.592 ha yang meliputi seluruh ekosistem hutan pantai, dataran rendah, mangrove, lamun dan terumbu karang.

Menurut (Kartawijaya et al., 2011 dalam Prasetya et al., 2021) Taman Nasional Karimunjawa dibagi menurut sistem zona yang terdiri dari 9 zona. Pada wilayah perairannya terbagi menjadi beberapa zona, yaitu zona inti, zona perlindungan bahari, pemanfaatan bahari, zona budidaya bahari, dan zona perikanan tradisional. Kekayaan flora dan fauna yang ada di Karimunjawa terdiri dari 353 spesies ikan karang, 69 genus karang keras, 9 spesies lamun, 2 spesies penyu, 44 jenis mangrove.

Menurut (Yusuf, 2013 dalam Muhammad et al., 2021) ekosistem karang termasuk ekosistem yang paling subur dan produktif di lautan karena kemampuan terumbu karang untuk menyimpan nutrisi di dalam sistem dan bertindak sebagai kolam untuk menerima berbagai organisme dari luar.

Kondisi lingkungan tersebut membuat ekosistem terumbu karang menjadi potensi bagi beragam spesies penghuni dengan nilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan hasil observasi dari wisatawan (Muhammad et al., 2021) saat ini, masih banyak terjadi penyalahgunaan dalam pengelolaan sumber daya alam laut.

Aktivis Greenpeace mengapung dengan pelampung dan tanda bertuliskan “Dilarang Jangkar untuk Tongkang Batubara” saat kampanye bersama komunitas nelayan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah, Indonesia. Mereka memprotes tongkang batubara yang biasa berlabuh di kawasan Taman Nasional ini dan merusak terumbu karang. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Bentuk penyalahgunaan ini termasuk eksploitasi terumbu karang untuk pariwisata dan pelayaran, yang dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang dan ikan. Hal inilah yang mendasari perlunya dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai struktur komunitas dan kondisi terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa yang belakangan ini sangat ramai dikunjungi.

Menurut (Giyanto, 2017 dalam Suryono et al., 2022) terumbu karang dan biota lautnya memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi, namun terumbu karang rentan terhadap degradasi.

Degradasi terumbu karang terutama disebabkan oleh sedimentasi, pencemaran air, penambangan karang, praktik penangkapan ikan yang merusak, badai, peningkatan populasi predator terumbu karang dan kenaikan suhu air laut akibat pemanasan global. 

Penelitian (Manulang et al., 2014 dalam Suryono et al., 2022) menunjukkan bahwa degradasi terumbu karang disebabkan oleh kombinasi faktor alam dan buatan manusia (antropogenik) seperti perubahan iklim, polusi, sedimentasi, penangkapan ikan yang merusak, penambangan karang, wisata bahari dan pembangunan pesisir. Tekanan (antropogenik) akibat aktivitas manusia terhadap terumbu karang merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap degradasi terumbu karang.

Pratchett dkk. (2014) mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang telah mengalami degradasi akibat aktivitas manusia dalam jangka waktu yang sangat lama. Muklis (2011) menambahkan bahwa terumbu karang sangat peka terhadap pengaruh lingkungan, baik fisik (dinamika laut dan pantai), aktivitas manusia, polusi, dan aktivitas biologis.

(Stanis et al., 2007 dalam Cahyani & Wijaya, 2021) menyatan bahwa ekosistem terumbu karang adalah sumber daya yang terbatas dan dapat mengalami degradasi. Oleh karena itu, tindakan pengelolaan diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya terumbu karang tetap layak dan digunakan secara berkelanjutan.

Untuk mencegah degradasi terumbu karang, perlu dilakukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan adalah suatu proses mengarahkan tindakan manusia dengan cara yang memungkinkan sumber daya digunakan secara bijaksana, dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan.

Proses pengelolaan sumberdaya alam khususnya terumbu karang harus dilakukan sesuai dengan masyarakat pesisir, karena masyarakat pesisir merupakan pelaku utama yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya laut tersebut.

Saat dunia dilanda pandemi Covid-19 dua bulan yang lalu, Indonesia dan negara-negara lain di dunia mengadakan lock down. Kegiatan manusia terhenti karena adanya batasan oleh pemerintah yang secara tidak langsung juga mengurangi emisi karbon yang ada di alam.

Terumbu karang di Karimunjawa difoto dari udara. / Foto: Nugroho Adi Putera / Greenpeace

Wisata bahari Karimunjawa juga mengalami penurunan pengunjung dan tidak ada pengunjung yang melakukan kegiatan di perairan tersebut, sehingga biota laut terutama terumbu karang juga secara tidak langsung mengalami pemulihan.

Menurut Rudiyanto (2020) dalam (Yuliana et al., 2019) pembatasan dan penutupan sosial di beberapa negara berdampak positif terhadap keanekaragaman flora dan fauna. Pandemi Covid-19 menawarkan peluang untuk pertumbuhan flora yang lebih baik dan kebebasan bergerak yang lebih besar bagi hewan, yang juga berlaku untuk pemulihan ekosistem karang. Dengan adanya pandemi Covid-19, ekosistem terumbu karang dapat pulih kembali.

Pemulihan hanya akan terjadi jika tekanan tambahan dari manusia dibatasi. Proses pertumbuhan dan regenerasi pada ekosistem terumbu karang tentunya terus berlangsung agar kelestarian ekosistemnya tetap terjaga. Namun, semakin besar tekanan yang mengarah pada kerusakan terumbu karang secara progresif, kemampuan terumbu karang untuk tumbuh dan beregenerasi semakin tidak dapat lagi mengimbangi tingkat kerusakan yang menyebabkan terumbu karang secara bertahap mati.***

Baca juga: Mentari, Mengabdi di Tanah Bahari Kepulauan Karimunjawa

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan