Ancaman Mikroplastik di Perairan Indonesia

Bagaimana rasanya makan plastik? Mungkin pertanyaan itu terdengar aneh. Faktanya, manusia bisa menelan plastik setara dengan satu kartu kredit dalam sepekan. Inilah yang ditemukan studi WWF International pada 2019. Studi tersebut menemukan bahwa sumber plastik paling banyak dikonsumsi manusia berasal dari air minum kemasan dan makanan laut yang mengandung plastik. 

Memang bukan plastik utuh yang kita telan, melainkan mikroplastik, yaitu potongan plastik berukuran kurang dari 4,8 milimeter yang sangat berbahaya karena mengandung bahan kimia seperti PCB yang terkandung di dalamnya.

Mikroplastik terbentuk dari gunungan sampah plastik di daratan maupun lautan yang berubah bentuk dan ukuran menjadi lebih kecil sehingga lebih mudah masuk ke dalam jaringan tanah dan terbawa ke lautan.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Australia menemukan ada sekitar 14 juta metrik ton mikroplastik di dasar laut. Jumlah ini 25 kali lebih banyak dari temuan sebelumnya dan 35 kali lebih banyak dibandingkan jumlah sampah plastik di permukaan.

Sebelumnya, para peneliti memperkirakan ada sekitar 5–50 triliun partikel mikroplastik di lautan. Tapi, para ilmuwan yang menjelajah perairan lepas pantai di Inggris dan Amerika Serikat menemukan lebih banyak partikel mikroplastik saat menyaringnya dengan mata jaring berukuran lebih halus daripada jaring yang biasa digunakan untuk menyaring mikroplastik, yaitu sekitar 12–125 triliun partikel mikroplastik.

Selain itu, jumlah mikroplastik di lautan juga diperkirakan lebih banyak daripada jumlah zooplankton di beberapa perairan. Padahal, zooplankton adalah binatang yang jumlahnya sangat berlimpah dan berperan penting dalam menjaga rantai makanan serta kelangsungan hidup biota laut.

Banyaknya mikroplastik yang tersebar di daratan dan lautan ini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup biota laut, tapi juga binatang lain yang tinggal di darat dan udara. Mikroplastik yang tersebar di wilayah perairan sungai terbukti membuat burung-burung di wilayah tersebut mengonsumsi ratusan partikel mikroplastik setiap harinya melalui serangga air tempat mereka makan.

Mikroplastik di Perairan Indonesia

Di Indonesia sendiri, beberapa perairan telah terkontaminasi mikroplastik. Pada Desember 2020, lembaga riset Ecoton menemukan bahwa dalam 100 liter air laut perairan timur Surabaya di Kenjeran hingga Tambak Wedi terkandung 195–598 partikel mikroplastik. Sementara itu, di wilayah Gunung Anyar terdapat sekitar 89–124 partikel mikroplastik per 100 liter air.

Banyaknya polusi mikroplastik di wilayah perairan Surabaya ini menjadi ancaman tersendiri bagi warga setempat karena kawasan tersebut merupakan daerah tangkapan perikanan bagi nelayan. Artinya, temuan mikroplastik ini akan berpengaruh besar terhadap kualitas perikanan di wilayah tersebut. 

Selain itu, kerang dan udang di wilayah tersebut juga ditemukan mengandung 10–20 partikel mikroplastik per ekornya. Jenis mikroplastik yang ditemukan dalam tubuh kerang tersebut antara lain adalah fiber, fragmen, dan filament. 

Hasil penelitian mahasiswa Universitas Hang Tuah menyebutkan bahwa rata-rata sumber mikroplastik di perairan Surabaya ini berasal dari sampah kantong plastik, sedotan, dan styrofoam yang terakumulasi di bantaran sungai dan terbawa sampai ke lautan.

Sebelumnya, Ecoton juga menemukan bahwa 11 industri kertas di sepanjang DAS Brantas menjadi sumber terbentuknya mikroplastik. Untuk mengendalikan polusi mikroplastik di perairan, Ecoton menyarankan agar pemerintah segera menetapkan kebijakan untuk mengurangi atau bahkan melarang penggunaan plastik sekali pakai.

Bioplastik untuk Mengurangi Mikroplastik

Selain mengurangi produksi dan konsumsi plastik sekali pakai, penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) baru-baru ini juga menemukan bioplastik sebagai alternatif pengganti plastik yang aman dan ramah lingkungan.

Bioplastik merupakan plastik yang terbuat dari bahan biologis atau biomassa, seperti minyak kedelai, tebu, tepung jagung, dan kentang yang bisa mengurangi limbah plastik dan emisi karbon dioksida.

Sayangnya, tidak semua bioplastik yang ada saat ini bisa terurai saat menjadi sampah sehingga masih terdapat potensi terbentuknya mikroplastik seperti pada plastik konvensional. Selain itu, penggunaan bahan baku nabati pada bioplastik juga menjadi tantangan tersendiri bagi sektor ketahanan pangan karena hal ini bisa memicu persaingan pemanfaatan bahan baku nabati untuk pangan dan bioplastik.

Untuk mengatasinya, KKP melakukan penelitian bioplastik yang terbuat dari biota laut, seperti serat alami yang terbuat dari krustasea (rajungan atau udang), cangkang kepiting, agar-agar, dan karagenan yang dihasilkan mikroalga.

Dalam rangka mewujudkan pembuatan bioplastik tersebut, diperlukan dukungan dan kerja sama dari pemerintah, industri, serta ilmuwan untuk mendorong penelitian dan pengembangan bioplastik dari biota laut.

Dukungan dari pemerintah dan sektor industri bisa berupa komitmen untuk mengurangi sampah laut hingga 70 persen pada 2025, serta menjalankan rencana aksi nasional (RAN) pengurangan sampah plastik di laut dengan cara meningkatkan pengelolaan sampah, mengurangi atau mengganti penggunaan plastik untuk mencegah konsumsi plastik satu juta ton per tahun, mendesain ulang produk dan kemasan plastik agar dapat digunakan kembali dan didaur ulang, menggandakan tingkat pengumpulan sampah plastik, serta memperluas fasilitas pembuangan sampah.

Selain itu, kesadaran masyarakat dalam mengurangi konsumsi plastik dan tidak membuang sampah sembarangan juga berperan penting dalam mendukung upaya pemerintah untuk mencegah dan mengatasi polusi mikroplastik. 

Yuk, sama-sama jaga lingkungan dari ancaman mikroplastik!

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan