78 Tahun Indonesia Merdeka, Apa Kabar Poros Maritim Dunia?

poros maritim

Menginjak usia yang ke-78 tahun, Indonesia punya banyak ‘senjata’ untuk beranjak dari middle income trap dan menjadi negara maju–salah satunya dari sektor kelautan dan perikanan. 

Dalam pidato pelantikannya pada 2014, Presiden Jokowi menggagas visi Poros Maritim Dunia untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia sebagai negara maritim yang maju, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif sesuai dengan kepentingan nasional.

Dua periode berselang, beragam perubahan kebijakan dilakukan dengan harapan bisa mewujudkan impian besar itu. Upaya yang patut diapresiasi, kendati banyak di antaranya yang justru mengundang kontroversi dan kekecewaan, terutama dari kalangan masyarakat sipil.

Kaburnya Poros Maritim Dunia

poros maritim dunia
Nelayan dan lautan. / Foto: Freepik.com

Di awal kepemimpinannya, Jokowi terkesan enggan membatalkan–atau setidaknya merevisi–aturan soal reklamasi pulau di Teluk Jakarta yang diteken sejak masa Soeharto. Padahal, kebijakan itu rentan mengundang bencana dan membuat praktik jual-beli pasir ilegal makin marak.

Tak lama setelah itu, pemerintah justru membuat program rumah susun (rusun) untuk nelayan–solusi yang barangkali hanya upaya meredam kehebohan publik.

Memasuki periode kedua, rezim ini tak henti-hentinya membuat kontroversi. Awal Mei 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan, di bawah Menteri Edhy Prabowo, membuka keran ekspor benih lobster ke luar negeri. Aktivitas ini sebelumnya telah dilarang sebagai wujud kedaulatan atas keberagaman sumber daya alam hayati Indonesia.

Seakan menutup mata, Jokowi tak banyak mengambil sikap tegas saat praktik monopoli dalam ekspor keanekaragaman hayati menggeliat di bawah hidungnya. Publik pun tak kaget ketika Edhy dicokok KPK. Ia terbukti terlibat korupsi karena mendapat keuntungan dari kebijakan yang ia teken sendiri. Posisinya lalu digantikan oleh Sakti Wahyu Trenggono, bekas Wakil Menteri Pertahanan yang juga menjadi salah satu eksportir benur.

Cita-cita agung Poros Maritim Dunia makin kabur di akhir masa jabatan Jokowi. Nelayan dielu-elukan sebagai pilar utama sektor perikanan Indonesia, nyatanya terus mengalami nestapa. Sebagai contoh dua kebijakan berupa peraturan pemerintah yang terbit sejak awal 2023.

Pertama, PP No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). PP ini mengendalikan aktivitas penangkapan ikan berdasarkan kuota dan zonasi. Sepintas, kebijakan ini terkesan menjalankan misi yang sangat mulia–memastikan kelestarian sumber daya ikan. Namun, pemberlakuan sistem kuota nyatanya bak palu godam yang memukul nelayan kecil karena ….

Kebijakan tersebut membenarkan pemanfaatan kuota industri melalui kontrak kerja sama dan perizinan berusaha. Hal ini berpotensi menyuburkan praktik kapitalisme komprador dengan keterlibatan elit politik hingga aparat keamanan. Perikanan industri dalam PIT juga membuka perizinan kapal berukuran besar bagi siapa pun termasuk korporasi asing.

Alih-alih untuk keberlanjutan ikan dan kelestarian alam, kebijakan PIT tetap berorientasi ekonomi. Korporasi (termasuk asing) akan secara leluasa mencicipi kekayaan laut Indonesia. Seperti udang di antara paus-paus raksasa, nelayan kecil ditempatkan dalam ‘perang’ merebutkan area penangkapan. Dengan kapal dan alat tangkap ala kadarnya, mereka hanya akan mendapat sisa-sisa.

Kedua, PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi yang disahkan Jokowi pada 15 Mei 2023 ini diklaim bertujuan untuk pemulihan lingkungan dan keberlanjutan. Namun, Pasal 9 dan Pasal 15 dalam beleid tersebut justru menyinggung tentang praktik ekspor pasir laut yang sudah dua dekade dilarang.

Greenpeace Indonesia mengecam aktivitas penambangan pasir lantaran dapat mengubah kontur dasar laut sehingga pulau-pulau kecil di sekitarnya akan makin cepat tenggelam. Perubahan ekologis akibat tambang pasir ini juga akan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat pesisir.

Dalam pilar kedua Poros Maritim Dunia, Jokowi jelas mengatakan komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Akan tetapi, nelayan kita rupanya masih saja sengsara selama hampir satu dekade pilar ini digaungkan.

Menanti Kebijakan yang Adil dan Relevan

Jokowi dilantik menjadi Presiden RI. / Foto: Setneg

Ambisi untuk menjadi negara maju memang membuat pemerintah suka meniru apa yang dilakukan negara-negara maju. Padahal, keberhasilan kebijakan tersebut masih perlu penyesuaian untuk dapat diimplementasikan di Indonesia–negara yang masih berusaha untuk maju.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, meminta agar pemerintah lebih banyak mendengar masukan dari masyarakat sipil dan lebih banyak mengajak para nelayan berbicara. Jika memang nelayan adalah pilar utama sektor perikanan di Indonesia, maka kebijakan yang dibuat semestinya adil dan relevan bagi mereka–bukannya fokus di aspek ekonomi dan lebih menguntungkan industri besar.

“Idealnya kalau ada 70 pulau di Indonesia, maka ada 70 regulasi yang berbeda dalam pengelolaan perikanan, pesisir dan laut. Idealnya seperti itu, jadi memang konsep Bhineka Tunggal Ika yang kita gaung-gaungkan itu muncul sehingga keberagaman itu menjadi ada,” katanya.

Hal terpenting setelahnya adalah bagaimana pemerintah bisa mengimplementasikan kebijakan secara adil. Jangan sampai kebijakan ini menjadi alat dominasi pihak berkuasa atas sumber daya sehingga menyebabkan peminggiran kelompok marjinal (tragedy of enclosure) seperti yang dikatakan Timothy Forsyth dalam bukunya, Critical Political Ecology: The Politics of Environmental Science (2003).

Kontras dengan kampanyenya yang berapi-api, Poros Maritim Dunia kini hanya seperti angin lalu. Jokowi justru lebih fokus dalam retorika mimpi kemajuan bangsa melalui infrastruktur dan investasi.

Jangankan bermimpi jadi negara maju, beberapa orang bahkan tak merdeka di tengah sukacita perayaan Hari Kemerdekaan tahun ini.

Ada yang masih dijajah kemiskinan, ada yang kehilangan kemerdekaan menangkap ikan, ada pula yang perlahan disingkirkan dengan kebijakan.***

Baca juga: PR Besar Menyongsong Merdeka Laut 2025

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan