Perempuan Pesisir Paling Parah Terdampak Krisis Iklim

Sejarah penindasan terhadap perempuan sejalan dengan sejarah penindasan terhadap lingkungan yang kini telah memasuki era krisis iklim. Padahal perempuan sebagai makhluk manusia sejatinya diakui sebagai hak yang inheren yang tidak bisa dipisahkan.

Hal tersebut memposisikan perempuan sebagai manusia yang bermartabat. Perbedaan biologis dengan laki-laki tidak bisa menjadi alasan untuk menjadikan perempuan manusia kelas kedua.

Krisis iklim memicu terjadinya kenaikan muka air laut, badai, gelombang tinggi, dan kekeringan. Dampak dari fenomena tersebut memang tidak membeda-bedakan jenis kelamin. Akan tetapi, konstruksi sosial atas gender (patriarki) yang sudah terbangun cukup kuat, membuat dampak tersebut menjadi berbeda dan menjadi persoalan yang sensitif gender.

Perempuan Nelayan Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi, Akses Layanan Kesehatan, dan Tidak Diakui Pekerjaannya sebagai Nelayan

Penelitian Andi Misbahul Pratiwi menunjukan bahwa kaum perempuan dan anak perempuan di kawasan pesisir mengalami kerentanan yang jauh lebih parah. Perempuan nelayan yang biasa ikut melaut bersama suaminya untuk mencari ikan lebih rentan karena ikan semakin langka serta adanya ancaman cuaca ekstrem yang membuat mereka kerap kali batal melaut.

Selain itu, perempuan yang berperan besar dalam aktivitas ekonomi perikanan (Perempuan Nelayan) diperparah dengan tidak bisa mengakses layanan perlindungan sosial yang disediakan pemerintah seperti asuransi jiwa melalui Kartu Nelayan maupun Kartu KUSUKA karena tidak diakui oleh laki-laki maupun masyarakat secara umum.

Ilustrasi perempuan nelayan.

Perempuan pesisir juga kesulitan mengakses layanan kesehatan serta fasilitas lainnya akibat adanya banjir rob.

Kebijakan Adaptasi Iklim di Indonesia Masih Netral Gender

Analisis Andi Misbahul Pratiwi menunjukkan kebijakan adaptasi iklim di Indonesia masih netral gender. Dalam analisisnya, kata gender justru tidak muncul sama sekali dalam Buku 4: Pendanaan Ketahanan Iklim.

Di Indonesia, data terpilah gender juga tidak tersedia. Data terpilah gender yang dimaksud misalnya, berkaitan dengan jumlah perempuan dan laki-laki yang berpotensi kehilangan pekerjaan akibat krisis iklim baik di perkotaan maupun perdesaan. Menurut Andi, tidak ada satupun dokumen iklim yang menyediakan data semacam itu.

Data terpilah gender hanya disebutkan dalam dokumen Komunikasi Adaptasi Indonesia (2022) sebagai tantangan yang sedang dihadapi Indonesia.

Andi lantas mendorong negara ini, termasuk juga pemerintah daerah untuk membuka mata lebar-lebar bahwa krisis iklim bukanlah persoalan yang netral gender.

Masyarakat Indonesia juga diharapkan mulai terbuka tentang isu kerusakan alam, pelanggaran hak perempuan, serta pengakuan terhadap kerentanan perempuan dalam krisis iklim. Hal-hal tersebut sangat berkaitan erat dan berperan dalam keberlanjutan hidup bangsa Indonesia kedepannya.***

Baca juga: Krisis Iklim dan Disparitas Gender di Kawasan Pesisir

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan