Senja di Batas Kota

Sendu merindu.

Pagi ini enggan rasa untuk bangun.

Ku buka jendela, masih banyak rintik hujan menetes di tepi terasku.

Aku berharap matahari datang lebih awal.

Menyinari genangan hujan yang masih tersisa.

Merindu sungguh aku rindu.

Hatiku terasa sendu, pilu yang membelenggu.

Kian memicu aroma tubuh mu di pikiranku.

Namun, aku tau itu telah berlalu.

Berlalu menyisakan kisah dan luka.

Membuat cerita di goresan luka nya dengan imajinasi di kisahnya.

Aku rela. Senjaku.

Ketika proses mulai menjadi angka.

Dan senja pergi meninggalkan mentari.

Tak satupun terlihat terang.

Begitupula di kejauhan.

Keheningan terbias dan menunggumu.

Namun senja tak pernah mengingkari.

Kesepakatan pergi dan selalu kembali esok hari.

Tak pernah lari.

Selalu tiba sempurna waktu.

Menunggu mentari dan pergi bersamanya.

Menyerbu bibir pantai.

Seakan membawa rindu yang hanyut bersamamu.

Aksara Senja.

Bias jingga di ujung cakrawala.

Terukir indah dalam remang.

Lembayung menata warna.

Di garis lurus sang surya senja.

Embusan bayu.

Membelai pucuk riak.

Berkejaran menuju pantai.

Menghempas di tepian karang.

Pecah berderai menciprak pasir.

Camar kepakkan sayap.

Terbang edari tiang sampan.***

Baca juga: Menabung Rindu di Lekukan Ombak Lakey

Editor: J.F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan