Pemerintah Sangat Keliru Mengizinkan Ekspor Pasir Laut

stop ekspor pasir laut

Laut kita telah lama berduka. Berbagai tindakan kriminal yang merampas bukan hanya keindahannya tapi juga eksistensi dari laut itu sendiri.

Mungkin sebagian orang menganggap ini adalah fenomena yang lumrah, mengira bahwa memang tabiatnya laut hanya untuk diperas seperti sapi yang bisa diperas kapan saja tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya.

Bukti bahawa kita setega itu, berbagai tindakan mulai dari pembuangan sampah yang merusak ekosistem laut, aktivitas overfishing yang mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan di Indonesia maupun dunia, ditambah isu yang baru-baru ini viral terkait pemerintah yang kembali membuka pertambangan pasir dan masih bnyak hal lainya yang sangat melukai laut dan seisinya.

Teman-teman, sudah selayaknya kita berbalas budi kepada laut yang telah banyak berkontribusi demi keberlangsungan hidup kita terlebih kita bermukim di negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Apakah ini tidak membuat kita bangga yang seharusnya mengawal laut dan seisinya yang hidup berdampingan dengan perairan.

Sangat disayangkan kita masih lalai untuk menjaga laut. Kalau teman-teman tau, ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan garis pantai dan sendimentasi oleh alam dan manusia.

Dikutip dari jurnal Ilmu dan Teknologi  Kelautan Tropis, Vol 9, No 1, Hlm 46-55, juni 2017, faktor manusia diantaranya  pembangunan pelabuhan dan fasilitas fasilitasnya, pertambangan, pengerukan, perusakan vegetasi pantai, serta reklamasi pantai, di mana salah satu poin diatas yaitu pertambangan pasir laut cukup  berkaitan erat dengan kabar yang masih hangat diperbincangkan dari tiap elemen masyarakat tanah air yang sampai hari ini menuai pro dan kontra.

Melalui tulisan ini kita akan coba mengupas terkait PP NO 26 TAHUN 2023 TENTANG HASIL SENDIMENTASI DI LAUT.

Orang No 1 Di Indonesia Disorot Lantaran Mengizinkan Pasir Laut untuk Kemudian di Ekspor, Tepatkah keputusan yang diambil oleh Presiden Jokowi?

Aksi Nelayan di sekitar kapal Boskalis (dok. WALHI Sulsel) / Ekspor pasir laut
Aksi Nelayan di sekitar Kapal Boskalis. / Foto: WALHI Sulsel

Setelah selama dua dekade terakhir, pemerintah kembali mengizinkan ekspor pasir laut, sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu  yang baru bagi indonesia, kahususnya di wilayah perairan.

Mari kita bergeser ke beberapa tahun yang lalu pada masa pemerintahan Megawati antara tahun 1997 hingga 2002. Indonesia menjadi pemasok utama bagi Singapura melalui reklamasi untuk perluasan negara mereka.

Seiring waktu berjalan, alih-alih Megawati menyadari hal ini sangat merugikan Indonesia, dimana aktivitas ini dihargai hanya secuil ketimbang dampak yang ada di lingkungan tersebut, salah satu dampak buruknya adalah wilayah Kepulauan Riau yang mengalami abrasi dibuktikan dengan Pulau Nipa di Batam yang terancam hilang akibat aktivitas pengerukan pasir laut. Dimana wilayah ini menjadi salah satu indikator perbatasan antara Singapura dan Indonesia.

Dalam hal ini Megawati akhirnya resmi melarang aktivitas ekspor pasir laut tepat pada tahun 2003 melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 117.

Pertambangan pasir diiringi dengan tujuan ekspor yang yang dibalut dengan bahasa yang halus membuat kita bertanya-tanya ada hal urgent apa?

Keputusan pemerintah untuk mengkspor pasir laut dengan dalih karena masih banyak titik dasar laut yang terlalu dangkal karena memiliki sendimen pasir sehingga menjadi keuntungan adalah keputusan yang sangat keliru.

Dalam waktu yang sama kepala staf kepresidenan menanggapi bahwa “penambangan pasir laut disebut mampu mengatasi pendangkalan laut juga sebagai upaya pelestarian laut menggunakan teknologi GPS”.

Hal ini kemudian dibantah oleh Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir Dan Laut Nasional WALHI bahwa perusahaan Boskalis asal belanda yang merupakan salah satu armada pengerukan terbanyak di dunia yang diketahui memiliki alat yang sangat canggih pun tidak luput dari kerusakan yang terjadi seperti di pulau Kodingareng Sulawesi selatan yang mengalami abrasi bahkan banyak nelayan pergi dari pulau itu karena sudah tidak bisa melaut.

Lantas Bagaimana Dampak yang Akan Terjadi Akibat Aktivitas Pengerukan Pasir Laut

Setidaknya ada beberapa dampak dari kegiatan penambangan psir laut diantaranya;

  1. Kerusakan lingkungan yang semakin masif
  2. krisis iklim yang berkepanjangan
  3. Nelayan yang kehilangan sumber daya dan mata pencariannya
  4. Biota laut akan terkeruk dan terganggu

Sekali lagi pemerintah harus membatalkan izin pertambangan pasir laut apalagi diekspor, yang jelas merugikan banyak pihak.

Dan satu hal yang perlu kita ingat bahwa laut kini menjelma sebagai bom yang bisa meledak kapan saja kalau kitas terus menerus mengabaikan apa yang laut butuhkan dan tidak sukai.

Laut bukan komoditas semata yang bisa kita abaikan dan peringatan keras kepada siapapun yang masih bernapas dengan oksigen maka harus bertanggungjawab untuk menjaga ekosistem laut sebagai penyuplai sumber oksigen terbesar di Bumi.***

Editor: J. F. Sofyan

Referensi:

https://www.detik.com Jokowi Izinkan Ekspor, KLHK Bakal Awasi Pengeruk Pasir Laut

Hasil Ekspor Pasir Laut Sangat Kecil, namun Biaya Rehabilitasinya Sangat Besar https://youtu.be/HbpSDLktZL8

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan