Kriminalisasi Aktivis Lingkungan di Karimunjawa

Kriminalisasi aktivis lingkungan karimunjawa

Debat cawapres dengan tema lingkungan yang menyinggung soal kriminalisasi aktivis lingkungan baru saja didegungkan, namun kondisinya tidak lantas membaik bagi para aktivis pembela lingkungan.

Selang 2 minggu setelah debat cawapres, terjadi lagi korban baru kriminalisasi terhadap aktivis yang menyuarakan penyelamatan lingkungan Karimunjawa dari limbah tambak udang ilegal.

Daniel Frits adalah seorang pegiat wisata di Karimunjawa. Ia merasa tidak rela indahnya alam Karimunjawa rusak oleh limbah tambak udang yang dibangun secara ilegal. Suara penolakan terhadap tambak udang ilegal di Karimunjawa ia dengungkan dengan megunggah pesan penolakan di sosial media. Lantas ia dilaporkan dengan meggunakan UU ITE.

Siaran pers Walhi Jawa Timur mengungkapkan, kriminalisasi pejuang lingkungan hidup kembali terjadi di Karimun  Jawa, Jepara, Jawa Tengah. Sekitar 4 orang warga yang dijerat UU ITE oleh pengusaha tambak, kini satu orang pejuang bernama Daniel ditahan oleh kepolisian setempat dan berkas kasunya telah dilimpahkan atau P.21.

Sejak 2016 usaha tambak udang memenuhi pesisir Karimunjawa, diduga tambak udang tersebut tidak berizin. Dampak dari tambak tersebut adalah kerusakan pada eksosistem pesisir pantai, termasuk cemaran limbah dari usaha budidaya tersebut. Bahkan KLHK melalui GAKKUM  pada 27 November 2023 melalukan kunjungan lapangan dan menertibkan pelaku tambak udang di Karimunjawa, karena praktiknya yang mencemari lingkungan.

Karimunjawa merupakan wilayah dengan status Taman Nasional (Wilayah Konservasi). Merujuk pada aturan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA. No. SK.28/IV-SET/2012 tentang Zonasi Taman Nasional Karimun Jawa, lalu Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Jepara 2023-2043, secara tegas melarang kegiatan tambak udang di Pulau Karimun Jawa.

Lalu merujuk pada Undang-undang No 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 57 menegaskan bahwa kawasan konservasi sumber daya alam harus dilindungi. Begitu pula dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pembukaan sampai pada pasal 28 tentang konservasi. Aturan tersebut menekankan pada perlindungan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas tambak udang pada kawasan Taman Nasional, lalu statusnya yang ilegal sangat bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 23 tentang pemanfaatan. Sekaligus juga melanggar Undang-undang No 32 Tahun 2009 pasal 36 tentang perizinan, lalu pasal 67 terkait kewajiban menjaga lingkungan hidup, pasal 69 pelarangan melakukan pencemaran dan pasal 97 terkait ketentuan pidana perusak lingkungan.

Seharusnya yang ditangkap dan ditindak adalah para perusak tersebut bukan warga yang menyuarakan tentang kerusakan, serta tengah berupaya mendorong lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pelaporan menggunakan UU ITE atas frasa “otak udang” sangat tidak berdasar jika dikaitkan dengan aturan di atas. Seharusnya kepolisian dapat melihat konteks persoalan. Justru yang melanggar adalah penambak udang ilegal tersebut dan hingga saat ini belum juga ditindak.

Hal ini bersandar pada Undang-undang No 32 Tahun 2009 pasal 66 telah jelas mengatakan bahwa setiap warga negara yang menyuarakan soal lingkungan hidup atau berkaitan dengan kerusakan lingkungan seharusnya tidak dengan mudahnya dijadikan tersangka bahkan sampai dilempar ke pengadilan.

Kejadian ini mempertontonkan ketidakadilan yang terjadi terus menerus pada mereka yang bersuara atas hak atas lingkungan hidup. Serta menunjukkan lemahnya pemahaman hukum lingkungan pada aparat penegak hukum. Serta menunjukkan bagaimana masih lemahnya keberpihakan negara pada mereka yang memperjuangkan lingkungan tanah air kita.***

Baca juga: Hari Perikanan Sedunia: Stok Ikan Menipis, Wilayah Tangkap Terdampak Industri, dan Ketidakadilan Antara Nelayan dengan Industri Perikanan

Editor J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan