Perubahan Garis Pantai di Perairan Pesisir Muara Banyuasin, Sumatera Selatan

Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Banyuasin dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Musi Banyuasin. Secara hukum, pembentukan pemerintahan Banyuasin telah disetujui oleh Undang-Undang Nomor 6 Republik Indonesia tahun 2002, seluas 1.183.299 hektar atau sekitar 12,18% dari luas Sumatera Selatan. Memiliki luas total 11.832,99 km2 atau 1.183.299 hektar.

Kabupaten Banyuasin merupakan wilayah perairan terluas di Sumatera bagian selatan. Kabupaten Banyuasin memiliki pantai sekitar 275 km dan luas laut 1.765,4 km², dan wilayah pesisir membentang dari perbatasan Kabupaten Ogan Comering Ilir menghadap Selat Bangka hingga perbatasan provinsi Jambi.

Untuk delineasi wilayah pesisir, batas daratan berbasis ekologi adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses oseanik seperti pasang surut, intrusi air laut, dan percikan air gelombang.

Perairan pesisir Banyuasin merupakan bagian dari Selat Bangka dan merupakan kawasan strategis untuk pengembangan pesisir. Kawasan ini digunakan sebagai kawasan perikanan dan pemukiman serta direncanakan sebagai kawasan pelabuhan.

Peningkatan pemanfaatan wilayah pesisir berdampak pada ketidakseimbangan dinamika pesisir. Masalah yang dapat timbul di wilayah pesisir antara lain abrasi dan sedimentasi. Sebagai daerah yang banyak menerima sedimen dari sungai-sungai besar di sekitarnya, bentuk perairan pesisir Banyuasin akan berubah secara dinamis akibat adanya sedimen tersebut (DKP, 2001).

Secara umum, menurut hasil perhitungan dengan menggunakan data lapangan, nilai rata-rata rasio sedimen di daerah survei adalah 22,77-175,35m (berkisar dari lanau sedang sampai pasir halus). Nilai klasifikasi sedimen di daerah penelitian berkisar antara 0.776 hingga 1,772 phi (didominasi poorly sorted dan moderately sorted) dan nilai kemiringan (asimetris) berkisar antara 0,476 0,478, dengan nilai rata-rata 0,027 (sebagian besar simetris). Kurtosis rata-rata 0,962 (kebanyakan platikurtika), mulai dari 0,758 hinggal,690unit pi.

Pantai merupakan kawasan yang dinamis karena merupakan titik pertemuan dan interaksi darat, laut dan udara. Pantai selalu beradaptasi dengan keseimbangan alam dari pengaruh yang mempengaruhi perubahan garis pantai.

Perubahan garis pantai, seperti perubahan delta dan batimetri pantai, merupakan proses yang cukup dinamis dalam dinamika pantai (Mills et al. 2005). Menurut Arief et al. (2011) Perubahan garis pantai adalah proses berkelanjutan yang melibatkan berbagai proses alami di sepanjang pantai, termasuk pergerakan sedimen, arus pantai, dampak gelombang permukaan laut, dan penggunaan lahan.

Secara khusus wilayah pesisir pantai timur Sumatera Selatan di Kabupaten Banyuasin merupakan daerah muara atau estuari. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis, yang dapat menyebabkan perubahan permanen seperti perubahan garis pantai akibat erosi pantai (abrasi) dan perluasan pantai (Akresi).

Abrasi adalah pengikisan atau pengurangan luas daratan (pantai) akibat aktivitas gelombang, arus dan pasang surut. Akibatnya, pemadatan bumi menyebabkan permukaan tenggelam dan membanjiri air hingga mengubah garis pantai (Nur.2004).

Sebuah pantai dianggap mengalami abrasi jika sedimen yang bergerak ke suatu titik melebihi jumlah yang dibawa pada titik tersebut (Suwedi, 2006). Di sisi lain, terjadinya sedimen dan abrasi tidak stabil di bawah pengaruh pasang surut, gelombang, dan arus, selain karena akumulasi sedimen dari darat dan sedimen melalui muara.

Pengolahan digitalisasi menggunakan citra dari Google Earth dari tahun 2000 hingga 2020 mengungkapkan adanya perubahan panjang garis pantai di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Luas wilayah Kabupaten Banyuasin tahun 2000-2020 sebesar 1.494.227 m2, sedangkan wilayah pesisir tahun 2000-2020 dengan Luas Abrasi Tahum 2000- 2020 seluas 877.818 m2.

Dampak perbedaan terjadinya dan akumulasi disebabkan oleh faktor meteorologi seperti arah angin, pasang surut dan gelombang. Dapat dilihat bahwa garis pantai bagian barat setiap sepuluh tahunnya terjadi kejadian yang berulang ulang dan berbeda, ada yang terkena abrasi dan akresi.

Perbedaan garis pantai setiap sepuluh tahunnya di beberapa titik lokasi terlebih lagi lokasi yang terkena angin langsung dari arah barat laut menuju tenggara akan dominan mengalami abrasi. Daerah yang terletak di dekat muara sangat rentan terhadap akresi.

Muara Sungai Banyuasin merupakan kawasan yang relatif terlindungi, energi pergerakan air di sini jauh lebih rendah, sehingga sedimen, terutama yang berukuran lebih kecil atau lebih kecil, lebih mudah mengendap (Surbakti 2010).

Sedimen tersebar luas di darat, pantai dan laut. Sifat sedimen seperti ukuran butir, bentuk butir, tekstur, kadar, dan komposisi mineral sedimen bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lain. Karakteristik sedimen ini sangat bergantung pada jenis sumber batuan, asal, dan karakteristik proses sedimentasi (Dewi dan Yudi, 2008).

Sedimen dari muara sungai yang semakin panjang mempengaruhi banyak aspek di sekitarnya dalam hal perubahan topografi, penambahan atau pengurangan Jahan, dan bahkan berdampak pada flora dan fauna di sekitarnya.

Perubahan garis pantai ditunjukkan sebagai perubahan lokasi yang disebabkan oleh satu faktor serta interaksi beberapa faktor yang merupakan hasil kombinasi proses alam dan antropogenik.

Faktor alam muncul di bawah pengaruh proses hidro- oseanografi yang terjadi di lautan, seperti dampak gelombang, perubahan arus, fluktuasi pasang surut, dan perubahan iklim. Adanya arus dan gelombang menyebabkan sedimentasi yang intens di perairan pantai barat, sehingga mempengaruhi perubahan garis pantai (Iriadenta, 2013).

Perairan di muara Banyuasin di Sumatera Selatan merupakan salah satu muara yang mengalami sedimentasi, Hal ini disebabkan oleh faktor alam yaitu pengaruh bumi akibat pengikisan oleh aliran sungai.

Sementara akresi diakibatkan oleh penumpukan sedimen dari daratan dan terendapkan di pantai terutama muara sungai. Perairan Banyuasin umumnya disebabkan oleh akumulasi sedimen di perairan yang cenderung berukuran lebih kecil (silt), yaitu sedimen dengan klasifikasi buruk (poorly sorted), kategori sedang (moderately sorted) dan ketebalan (skwenes) sebagian besar simetris.

Penyebab kerusakan antropogenik wilayah pesisir antara lain pergeseran dan transformasi fungsi perlindungan lahan pesisir untuk pengembangan wilayah pesisir yang tidak sesuai dengan peraturan terkait, mengakibatkan ketidakseimbangan pergerakan sedimen di sepanjang pantai, dan penambangan pasir yang mengubah pola arus laut dan gelombang (Shuhendry, 2004).

Ekosistem mangrove seringkali rusak parah. Kerusakan ini disebabkan oleh meningkatnya tingkat eksploitasi, buruknya koordinasi dan sinkronisasi program lintas sektor, lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove (Noniji, 1987).***

Baca juga: Budidaya Terumbu Karang di Area Buatan Menggunakan Sistem Irigasi Air Laut

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan