Cryptocurrency dan Laut Indonesia

Sejak pandemi melanda, di Indonesia mulai banyak berbagai kegiatan baru yang menjadi tren, salah satunya adalah investasi. Faktor bekerja dari rumah (work from home) menjadi salah satu faktor yang memantik banyak orang mulai mempelajari apa itu investasi.

Instrumen investasinya pun beragam mulai dari emas, saham, forex, dan yang terkini adalah cryptocurrency. Pilihan terakhir bisa jadi adalah salah satu opsi terbaru, bahkan masih banyak belum paham bagaimana caranya bekerja.

Yang diketahui masyarakat pada umumnya cryptocurrency sama dengan Bitcoin. Padahal, Bitcoin hanya merupakan salah satu contoh kecil dari Cryptocurrency itu sendiri.

Photo by Worldspectrum from Pexels

Cukup wajar jika masih banyak yang belum paham, karena Cryptocurrency generasi awal baru ‘dibuat’ sekitar tahun 2008, yaitu Bitcoin. Namun perkembangan nilainya melonjak drastis.

Saat pertama kali diluncurkan, Bitcoin hanya bernilai sekitar 1 US Dollar. Namun dalam waktu 10 tahun, 1 Bitcoin per April 2021 bernilai 60.000 US Dollar. Suatu perkembangan nominal yang fantastis (jika tidak mau dibilang gila).

Statistic: Bitcoin price from October 2013 to May 28, 2021 (in U.S. dollars) | Statista
Find more statistics at Statista

Cryptocurrency sendiri bukan tanpa sensasi, banyak pihak sudah mulai kontra dengan teknologi ini. Diawal kemunculannya, penggunaan Bitcoin sering kali untuk transasksi dark web, biasanya untuk keperluan kriminal dan kegiatan terlarang.

Yang terbaru, Cryptocurrency dituding bisa menghancurkan sistem keuangan yang sudah ada saat ini. Meski begitu banyak juga yang pro terhadap kemunculan Cryptocurrency.

Diantara pro kontra yang muncul, tahukah Anda bahwa ada sisi gelap lain dari Cryptocurrency yang sering diabaikan padahal tidak kalah berbahaya?

Ya betul, Isu Lingkungan.

Sekilas tentang Cara Kerja Cryptocurrency

Cryptocurrency adalah produk turunan dari sebuah teknologi lain yang bernama Blockchain. Pada tulisan ini saya akan coba jelaskan dengan bahasa yang sesederhana yang saya bisa.

Saya akan coba contohkan penggunaan blockchain dalam hal industri Keuangan. Dan saya menggunakan ilustrasi Adi dan Budi sebagai tokoh disini.

Skema Transaksi Keuangan Saat Ini

Pada sistem keuangan yang bekerja saat ini, ketika Adi ingin mentransfer uang ke Budi yang Adi butuhkan adalah nomor rekening budi. Dan Adi hanya perlu mentransfer uang melalui ATM / e-Banking. Semua selesai.

Skema Transaksi Keuangan Saat Ini

Pada sistem keuangan yang bekerja saat ini, ketika Adi ingin mentransfer uang ke Budi yang Adi butuhkan adalah nomor rekening budi. Dan Adi hanya perlu mentransfer uang melalui ATM / e-Banking. Semua selesai.

Photo by Expect Best from Pexels

Padahal ada rentetan sistem yang terjadi ‘dibalik layar’, secara sederhana kurang lebih begini:

  • Adi mengirim uang ke rekening Budi melalui Bank
  • Bank akan memvalidasi transaksi sesuai dengan Database yang ada:
    – Apakah saldo Adi mencukupi?
    – Apakah nomor rekening sudah benar?
    – Apakah transaksinya valid ?
  • Kalau ternyata valid, maka bank akan melanjutkan proses dan uang akan sampai di rekening Budi

Sekali lagi, ini versi sederhananya ya.

Fungsi bank disini adalah sebagai perantara (Intermediary), jadi untuk menentukan valid atau tidaknya suatu transaksi sangat bergantung terhadap bank.

Transaksi Keuangan Menggunakan Blockchain

Sedangkan transaksi Cryptocurrency prosesnya kurang lebih seperti ini:

  • Adi ingin mengirimkan uang ke Wallet Budi.
  • Transaksi akan divalidasi oleh sebuah kumpulan jaringan. Yang melakukan validasi biasa kita kenal dengan sebutan : Miner.
  • Sebuah transaksi akan divalidasi oleh beberapa miner dalam satu jaringan. Miner akan mendapatkan komisi tiap kali berhasil menyelesaikan validasi.
  • Setelah berhasil dilakukan validasi sebanyak jumlah yang berlaku, maka transaksi dinyatakan valid dan akan langsung masuk ke Wallet Budi.

Perbedaan Transaksi Cryptocurrency dan Konvensional

Perbedaan terbesarnya adalah transaksi dilakukan tanpa adanya pihak tertentu yang berperan sebagai perantara.

Jika transaksi dilakukan melalui Bank, dan ternyata jaringan Bank tersebut sedang error maka transaksi bisa dipastikan macet sampai kendala selesai. Namun dengan teknologi Blockchain validasi bisa dilakukan siapa saja selama memenuhi kriteria.

Pihak yang melakukan validasi disebut miner. Dinamakan miner karena mereka seolah sedang menambang uang tiap kali berhasil menyelesaikan sebuah validasi.

Mereka akan mendapat semacam “komisi” jika berhasil menyelesaikan sebuah transaksi. Namun untuk menjadi miner dibutuhkan serangkaian teknologi dan software tertentu.

Dampak Lingkungan dan untuk Laut Indonesia

Untuk menjadi seorang miner, dibutuhkan serangkaian perangkat komputer yang cukup kompleks. Salah satunya adalah Graphics Card atau biasa kita kenal dengan VGA Card.

Perangkat ini nantinya akan memproses validasi dari tiap transaksi. Semakin banyak dan semakin tinggi spesifikasi perangkat yang ada maka makin banyak transaksi yang bisa divalidasi.

Disini kisah buruk dimulai.

Untuk menjalankan perangkat tersebut, konsumsi listrik yang dibutuhkan juga sangatlah besar. Belum lagi konsumsi energi untuk AC dan pengatur suhu ruangan. Ini penting agar perangkat tadi tidak overheat.

Dibawah ini adalah data konsumsi listrik yang diperlukan untuk mining sebagaimana yang dilansir oleh The Guardian:

Dalam Artikel tersebut Benjamin Jones, seorang profesor ekonomi yang meneliti tentang dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh Bitcoin, mengatakan:

“Jumlah konsumsi energi yang digunakan untuk mining Bitcoin sama besarnya dengan konsumsi yang dibutuhkan oleh seluruh negara seperti Irlandia”.

Benjamin Jones

Hal tersebut menunjukan betapa “boros energi”-nya kegiatan mining ini.

Namun fungsi miner yang krusial adalam sebuah transaksi Cryptocurrency membuat mau tidak mau kegiatan penambangan Cryptocurrency ini akan terus berjalan.

Masalah selanjutnya, kalau kita coba cari di Google: “the most large electricity source in the world”, maka yang akan muncul adalah:

Ya, batu bara. batu bara saat ini masih jadi sumber terbesar untuk tenaga listrik hampir diseluruh dunia. Dan menurut NS Energy, Indonesia adalah negara keempat terbesar penghasil batu bara.

Seperti kita tau, kasus pengelolaan batubara di Indonesia cukup sering terjadi. Dan “ulah batubara” ini sering kali berdampak pada laut. Mulai dari kapal yang tumpah, pengelolaan PLTU yang tidak sesuai Amdal, dan banyak sekali masalah lainnya.

Dengan semakin maraknya transaksi menggunakan Cryptocurrency kemungkinan untuk hal ini menjadi lebih buruk bukan hal yang sulit untuk dibayangkan.

Akankah harus Lingkungan lagi jadi Korban?

Beberapa waktu yang lalu salah satu orang terkaya di dunia saat ini, Elon Musk, mengeluarkan statement untuk menunda implementasi penggunaan Bitcoin untuk transaksi di perusahaanya, Tesla.

Elon menganggap konsumsi listrik yang terlalu besar ini bisa jadi isu jangka panjang. Selama sumber listrik masih belum menggunakan renewable energi maka implementasi secara menyeluruh sangat berbahaya bagi lingkungan.

Untuk di Indonesia sendiri, masih banyak sekali hal-hal yang perlu diperbaiki. Pengelolaan Amdal selalu jadi isu yang dijadikan urusan paling akhir.

Padahal untuk menciptakan sebuah ekosistem dan bisnis yang sustainable, saya rasa ini adalah isu yang tidak kalah pentingnya. Sebagaimana yang selama ini diperjuangkan oleh kawan-kwan Greenpeace, Walhi, ataupun LSM lingkungan lainnya.

Masa harus lingkungan lagi yang jadi Korban?

Editor: Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan