Akankah Bumi Menuju ke Kepunahan Massal ?

Saat ini Bumi kita telah menginjak usia 4.543 miliar tahun, dengan lamanya usia ini bukan hal mudah untuknya mampu bertahan. Bumi telah melewati zaman es, oksigen holocaust, letusan gunung berapi, pemanasan global, dan kepunahan massal pertama hingga kelima.

Bumi juga telah menunjukan berbagai keajaiban, seperti munculnya makhluk bersel satu, lahirnya fotosintesis, evolusi makhluk multiseluler, dan munculnya banyak kingdom. Bumi pula tempat tinggal bagi  jutaan spesies,  seperti Serangga, Krustasea, ikan, amfibi, reptil, reptil raksasa, mamalia, dan spesies kita sendiri, yaitu homo sapien.

Peradaban homo sapien cukup baru jika dibandingkan dengan spesies lain. Meskipun begitu, keberadaannya sudah harus bertanggung jawab atas punahnya banyak spesies yang dulu pernah ada. Homo sapien memiliki sifat egois yang cukup tinggi dan terbuktikan dengan adanya pemburuan flora dan fauna langka, peralihan fungsi lahan di darat dan laut, menciptakan polusi, dan perubahan iklim. yang berdampak besar pada kehidupan spesies lain.

Dalam laporan IPBES Global Assessment oleh PBB, dinyatakan ada sekitar satu juta spesies flora dan fauna di Bumi yang terancam punah dalam beberapa dekade mendatang, dan jika kepunahan massal itu benar terjadi, maka manusialah yang semestinya bertanggung jawab.

Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa kita sedang berada pada fase kepunahan massal keenam. Berbeda dengan kepunahan massal sebelumnya yang diakibatkan oleh kejadian dahsyat, seperti letusan gunung super vulcanic, zaman es, dan objek luar angkasa. Namun, kepunahan massal keenam ini disebabkan oleh aktivitas manusia sendiri.

Terdapat lima faktor utama penyebab kepunahan massal keenam yang dipaparkan dalam laporan IPBES Global Assessment oleh PBB meliputi:
– Perubahan fungsi lahan di darat dan laut
– Eksploitasi langsung kepada organisme Bumi
– Perubahan iklim
– Polusi
– Spesies invasif (kelompok flora atau fauna yang memasuki suatu wilayah tertentu sehingga mengganggu ekosistem yang telah ada)

Salah satu permasalahan yang sedang banyak di perbincangkan adalah polusi air, banyak orang tidak menyadari bahwa air memiliki arti dan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Air sendiri sebenarnya bukan berasal dari bumi, melainkan dari meteor bernama Carbonaceous Chondrite.

Air yang ada di bumi ini terdiri atas 97.5% air laut dan 2.5% air tawar dan bersih. Dalam sejarah peradaban umat manusia, aliran air adalah sumber utama yang kita butuhkan, daerah yang dialiri air menjadikan tanah disekitarnya subur, manusia yang dulu hidup berpindah-pindah tempat (nomaden), mulai hidup menetap dengan bercocok tanam dan membangun peradaban.

Namun, air yang seharusnya kita jaga justru kini telah kita cemari sendiri dengan masuknya bahan-bahan kimia, partikel, limbah industri, pertanian, dan perumahan. Yang didalamnya temasuk sampah plastik.

Hasil studi menunjukan Sungai terpanjang di asia yakni Yangtze di Tiongkok, merupakan sungai paling tercemar. sungai ini telah menyumbang 1,5 juta ton plastik ke Laut Kuning setiap tahunnya. Sungai-sungai di Indonesia pun turut ambil bagian dalam pencemaran sampah plastik dunia: sungai Brantas menyumbang 85 juta lbs sampah setiap tahun, sungai Serayu 37 juta lbs, dan 28 juta lbs dari sungai Progo.

World Economic Forum mengatakan sampah plastik di laut dunia saat ini, terdapat lebih dari 150 juta ton pada 2016 lalu dan terus bertambah 8 juta ton setiap tahunnya. Murah, tahan lama dan praktis adalah alasan mengapa plastik masih menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia modern, kita telah menggunakan plastik hampir disegala aspek kehidupan.

Misalnya seperti peralatan rumah tangga, transportasi, furnitur, kesehatan, seni, mainan dan berbagai keperluan lainnya. Plastik sebenarnya benda yang relatif baru, yang kemudian diproduksi secara masif pada tahun 1950 hingga sekarang.

Pada awalnya plastik merupakan barang subsidi yang digunakan untuk menyelamatkan lingkungan, karna dahulu kantong kertas lebih banyak digunakan, yang mana jika kantong kertas terus diproduksi maka akan banyak pohon yang harus ditebang. Namun, barang penyelamat itu kini berubah menjadi polutan.

Plastik kini mendominasi jenis sampah di masyarakat, seperti kantong plastik, gelas plastik, botol plastik, sedotan, pembungkus makanan, dan produk saset. Salah satu solusi untuk mengurangi penggunaan plastik adalah dengan cara membeli suatu produk dengan ukuran besar, sehingga bahan plastik yang digunakan akan lebih sedikit.

Namun, para pelaku industri tetap saja memproduksi dengan ukuran kecil, dengan alasan daya beli masyarakat yang rendah, misalkan pelaku industri menjual produknya dalam ukuran besar, masyarakat belum mampu untuk mengimbanginya.

Sampah plastik perlu waktu hingga ratusan tahun untuk dapat terurai menjadi partikel-partikel kecil yang kemudian menyebar ke seluruh perairan dan kemudian menjadi partikel kecil disebut mikroplastik dan dimakan oleh fauna di lautan.

Pada tahun 2016 lalu, Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention On Biological Diversity) menerbitkan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies dan 44% adalah spesies burung laut dan 40% lainnya adalah spesies mamalia laut.

Kemudian ada tahun 2017, Konferensi Laut PBB di New York memperbarui data ini. Dalam Konferensi tersebut dinyatakan limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan dalam jumlah besar, tiap tahunnya.

Tidak hanya berbahaya bagi spesies laut, sampah plastik juga berbahaya bagi manusia. Sampah plastik yang telah terurai menjadi partikel-partikel kecil itu akan dimakan oleh plankton lalu plankton dimakan oleh ikan, lalu dimakan oleh ikan yang lebih besar, lalu ditangkap oleh nelayan, dan berakhir di meja makan kita.

Ikan laut yang telah memakan partikel kecil plastik akan menyerap racunnya. Dan racun inilah yang kemudian berpindah ke manusia yang memakannya. Plastik kini sama seperti bom waktu dan kita harus terus berusaha menjinakan bom waktu itu, atau paling tidak melambatkan waktunya.

Jika tidak, Kesehatan Planet kita akan memburuk lebih cepat dari sebelumnya. Kita telah merusak tempat tinggal, sumber makanan, dan sumber kehidupan, tempat kita dan seluruh makhluk hidup bergantung.

Meski begitu, para peneliti mengatakan, masih ada waktu untuk memperbaiki kondisi ini, dengan melakukan perbaikan dibanyak aspek, seperti teknologi, sosial budaya, gaya hidup, pendidikan dan kesehatan.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan