Kerusakan Bumi Seperti pada Film Geostorm Bisa Kita Cegah dengan Konservasi Blue Carbon

Apakah kamu sudah pernah menonton film fiksi ilmiah berjudul Geostorm? Film yang diproduksi oleh Warner Bros dan dirilis pada 2017 ini menceritakan kehancuran planet bumi akibat global warming atau pemanasan global.

Berbagai bencana alam yang terjadi di seluruh belahan dunia diperlihatkan pada pembuka film ini. Mulai dari meningkatnya suhu udara dengan drastis, mencairnya es di daerah kutub, hingga kondisi cuaca yang berubah-ubah. Hal ini mengakibatkan terjadinya angin topan, angin tornado, badai es, badai petir, banjir, gelombang panas, dan kekeringan yang mengancam kehidupan.

Umat manusia pun berusaha untuk mengatasi dampak dahsyat global warming tersebut. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah dunia yaitu membangun satelit pengendali cuaca bernama Dutch Boy. Meski berhasil melindungi Bumi selama tiga tahun, alat tersebut akhirnya mengalami kerusakan sehingga membahayakan kehidupan di planet biru ini.

Harus kita akui, cerita di atas memang merupakan sebuah karya fiktif. Meski demikian, dampak-dampak global warming pada film yang meraih penghargaan aktor terbaik dari Imagen Foundation Award, ini sudah muncul satu per satu. Tentu kita tidak ingin semua bencana besar yang dikisahkan dalam film tersebut terjadi di kehidupan nyata, bukan? Apa yang bisa kita lakukan agar planet yang sudah tua ini tetap lestari dan masa depan umat manusia tidak terancam?

Pertama, kita perlu mengetahui penyebab global warming. Salah satunya adalah peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2). Penambahan intensitas senyawa kimia tersebut berpotensi menimbulkan efek rumah kaca yang bisa menaikkan suhu di Bumi.

Berita buruknya, menurut data Energy Institute, emisi CO2 yang dihasilkan selama 2022 dari sektor energi mencapai 34,37 miliar ton. Ini merupakan nilai emisi paling besar sepanjang sejarah. Adapun Indonesia menempati peringkat ke-6 negara penyumbang emisi terbesar pada tahun tersebut, dengan hasil CO2 sebanyak 691,97 juta ton.

Untuk mengatasi global warming, perlu dilakukan penanganan yang tepat. Dan, laut merupakan “senjata utama” bumi dalam menghadapi global warming. Sebab, separuh dari seluruh karbon yang ada di atmosfer ditangkap dan disimpan oleh organisme di laut.

Karbon dalam jumlah besar yang tersimpan di ekosistem laut dan pesisir ini dinamakan blue carbon atau karbon biru. Istilah blue carbon mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang. Potensinya yang sangat efektif juga sering terlupakan. Alih-alih dimanfaatkan dengan baik, ekosistem laut dan pesisir justru makin terancam rusak akibat ulah manusia.

Potensi Besar Laut di Indonesia dalam Menyerap Karbon

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan mencakup lebih dari 60% total wilayah Coral Triangle. Negara Maritim ini memiliki potensi blue carbon yang sangat bagus di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ekosistem blue carbon yang ada di dalamnya yaitu berupa mangrove, padang lamun, dan rawa payau. Sekitar 50—99% karbon yang diserap oleh ekosistem ini disimpan dalam tanah dengan kedalaman enam meter di bawah permukaan laut dan bisa bertahan sampai ribuan tahun.

Kawasan mangrove di negara kita luasnya sekitar 3,2 juta hektare dan kawasan lamun kurang lebih 3 juta hektare. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dengan ekosistem blue carbon seluas itu, Indonesia saat ini mampu menyimpan hingga 17% cadangan blue carbon dunia.

Pada tahun 2030, luas kawasan konservasi perairan ditargetkan mencapai 32,5 juta hektare. Setidaknya 20 juta hektare di antaranya bisa dikelola dengan baik agar ekosistem mangrove dan lamun dapat berfungsi lebih optimal.

Berbagai Upaya Konservasi Blue Carbon yang Bisa Kita Lakukan

Setelah memahami pentingnya blue carbon dalam mengatasi global warming, kita bisa mengambil langkah-langkah untuk memelihara ekosistem laut dan pesisir sedini mungkin.

  1. Menerapkan perilaku ramah lingkungan dimulai dari diri sendiri

Misalnya, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, memilih kendaraan umum saat bepergian, menghemat listrik, mengurangi pemborosan makanan, menghemat air, tidak membuang sampah sembarangan, serta mengikuti gerakan penghijauan, penanaman mangrove, dan transplantasi karang.

Geostorm
  1. Memberikan edukasi tentang blue carbon di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi

Sekolah bertanggung jawab dalam mengedukasi siswa tentang blue carbon dan memotivasi mereka untuk menjadi agen perubahan dalam melindungi lingkungan. Adapun perguruan tinggi mempunyai peran dalam memfasilitasi penelitian ilmiah serta menjadi pusat pengembangan dan pelatihan bagi mahasiswa yang tertarik dengan isu blue carbon.

  1. Melibatkan berbagai pihak untuk berkontribusi dalam konservasi blue carbon

Pemerintah memiliki peran paling sigifikan dan penentu arah kebijakan dan keberpihakan anggaran, di samping sektor swasta dan organisasi non-pemerintah pun dapat memberikan pendanaan tambahan untuk mendukung proyek konservasi mangrove .

Nelayan bisa berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya mangrove secara berkelanjutan, salah satunya dengan mempraktikkan budi daya mangrove yang ramah lingkungan. Adapun masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir bisa berkontribusi dengan tidak melakukan hal-hal yang merusak ekosistem mangrove, seperti penangkapan ikan secara merusak atau penebangan liar.

Beberapa contoh konkret konservasi blue carbon yang telah dilakukan berikut ini bisa kita ikuti. Misalnya, warga Pesisir Tanjungpunai, Kabupaten Bangka Barat, yang menjaga kelestarian hutan mangrove dan memanfaatkannya secara bijaksana. Lalu, penanaman ribuan pohon bakau di Pesisir Bedono, Kabupaten Demak, oleh para penggemar BTS di Indonesia. Dengan melibatkan partisipasi aktif dari semua pihak, konservasi blue carbon dapat tercapai lebih efektif.***

Baca juga: Memahami Overfishing (Penangkapan Ikan Berlebih)

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan