Populasi Penyu: Sudahlah Jarang, Kini Bertarung dengan Logam Berat

Penyu adalah salah satu hewan yang saat ini keberadaannya sangat dilindungi dikarenakan terjadinya penurunan populasi bahkan rentan menuju kepunahan.

Penyu bukan termasuk dalam golongan ikan melainkan kelompok reptil yang mempunyai ciri-ciri dengan karapas kuat juga empat kaki yang berbentuk menyerupai sirip. Kaki yang berbentuk seperti sirip ini digunakan untuk penyu ketika berenang di laut (Pratama & Romadhon, 2020).

Terdapat tujuh spesies penyu di dunia, namun di Indonesia hanya terkenal enam spesies. Spesies yang ada di Indonesia antara lain penyu belimbing, penyu lekang, penyu pipih, penyu hijau, penyu sisik, juga penyu tempayan. Spesies – spesies ini memiliki ciri tersendiri.

Penyu berhabitat di dalam laut yang ditumbuhi oleh banyak lamun juga alga sehingga penyu bisa mendapatkan makanan dengan mudah. Akan tetapi ketika penyu betina ingin bertelur, penyu akan naik kedaratan dan melakukan peneluran.

Keberadaan penyu memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi terhadap kepunahan. Kerentanan kepunahan ini menjadikan penyu masuk dalam red list IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan Appendix I CITES.

Penyu di ekosistem terumbu karang.

Siklus Hidup Penyu dan Indra yang Unik

Siklus kehidupan penyu dimulai dari telur. Induk penyu bertelur dalam siklus 2-4 tahun sekali. Induk penyu akan bertelur kepantai dan menggali lubang dipasir untuk meletakan ratusan butir telurnya di dalam pasir yang ia gali dan menutupnya lalu kembali ke laut.

Setelah 6- 12 minggu kemudian bayi-bayi penyu akan menetas dan bergerak keluar pasir. Sayangnya 99% dari bayi penyu itu tidak berhasil atau selamat sampai dewasa. Hampir semua akan binasa dalam perjalanan.

Biasanya mereka menuju laut saat malam hari untuk mencari satu sinyal dengan menggunakan naluri mereka menuju arah cahaya bulan. Di laut, bayi penyu akan berenang terus hingga 24 jam. Penelitian menunjukkan penyu dapat mendeteksi medan magnet bumi dan menggunakannya sebagai kompas untuk memberi arahan mereka saat berada di laut (Pangestu, 2019).

Dalam melakukan perkembangbiakan, penyu termasuk hewan ovipar dengan mengubur telur dalam pasir (Marshellyna F, L., 2015 dalam As’ariah, Samsul Kamal, 2018).

Pencemaran Logam Berat dan Efeknya Terhadap Penyu di Laut

Ulah manusia yang menjadi pemicu utama terjadinya kerentanan populasi penyu adalah perburuan, aktivitas rumah tangga, industri, perdagangan, dan penyebab pencemaran lainnya. Perilaku pelanggaran yang dilakukan manusia membawa dampak yang sangat cepat bagi kepunahan suatu spesies.

Menurut Sahetapy 2011 dalam Asrin et al., 2020, pencemaran laut yang sering terjadi adalah pencemaran logam berat. Logam berat ini dapat masuk ke tubuh biota melalui beberapa cara yaitu rantai makanan, insang, dan juga permukaan kulitnya.

Terganggunya sistem peredaran darah akibat infeksi logam berat dalam jangka panjang. Tidak hanya itu, kegagalan dari penetasan telur juga dapat terjadi akibat kontaminasi logam berat. Hal ini dikarenakan efek toksik dari logam berat yang dapat merusak sel. Akibat kontaminasi logam berat ini menjadikan mutasi gen, kanker, dan kematian pada sel (Endrinaldi 2009 dalam (Asrin et al., 2020).***

Baca juga: Hari Satwa Liar Sedunia dan Pembunuh Senyap Tak Bernyawa

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan