Menanti Implementasi dari Deklarasi ASEAN “Penempatan dan Pelindungan Nelayan Migran”

asean labuan bajo

Deklarasi ASEAN tentang perlindungan nelayan migran yang terjadi pada momentum pertemuan para pemimpin ASEAN dalam rangkaian KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, NTT 10 Mei 2023 merupakan pertama kali dalam sejarah.

Tentu hal tersebut menjadi angin segar dan sebuah harapan yang baik khususnya bagi masyarakat yang bekerja sebagai Awak Kapal Perikanan (AKP). Akan tetapi, sebagai masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk selalu mengawal dan menagih janji-janji serta komitmen para pemimpin tersebut dalam implementasinya.

Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia yang tergabung dalam Tim 9, koalisi masyarakat sipil yang selama ini melakukan kerja-kerja untuk mendesak pelindungan AKP migran yang lebih baik mengapresiasi ASEAN yang “mengakui bahwa nelayan migran adalah juga pekerja migran dan bahwa mereka memiliki hak dan pelindungan yang sama dengan pekerja migran lainnya”.

Selanjutnya tim 9 mendesak ASEAN untuk membawa deklarasi itu, yang telah diadopsi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada Mei lalu, ke level berikutnya dengan menyusun panduan teknis yang lebih konkret.

Pada 30 Agustus lalu, Tim 9, koalisi masyarakat sipil bertemu dengan Direktur Pembangunan Manusia Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Rodora Babaran, di Sekretariat ASEAN di Jakarta, Indonesia.

ASEAN, Greenpeace
Tim 9, Koalisi Masyarakat Sipil mendatangi kantor ASEAN di Jakarta. / Foto: Greenpeace

Pembahasan utama dari pertemuan di Jakarta itu memperluas gerak masyarakat sipil untuk berkontribusi pada implementasi Deklarasi ASEAN yang sudah terjadi di Labuan Bajo lalu.

Selain dari panduan teknis yang merupakan substansi dari implementasi deklarasi itu, Tim 9 juga menyoroti pentingnya semua negara anggota ASEAN untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan atau yang akrab disebut C-188–instrumen hukum internasional paling komprehensif yang fokus pada kondisi dan hak nelayan migran.

Sejauh ini, dari 11 negara anggota ASEAN, hanya Thailand yang sudah meratifikasi itu.

Terlepas dari keterbatasan ASEAN dalam campur tangan atas keputusan negara anggota untuk meratifikasi konvensi apa pun, Rodora menyebut asosiasi telah membentuk beberapa inisiatif tingkat regional yang secara prinsip telah sesuai dengan norma-norma dalam C-188 dan memanfaatkan isu-isu pelindungan tenaga kerja.

Untuk konteks Indonesia, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, menyebut pihak otoritas juga sering mengatakan hal serupa.

“Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa hampir semua kebijakan yang berkaitan dengan nelayan atau pekerja perikanan migran sudah sejalan dengan norma C-188. Yang belum adalah keinginan politik mereka untuk mengimplementasi secara serius,” kata Arifsyah.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyebut organisasinya akan terus menjaga komunikasi dengan semua pemangku kepentingan yang relevan, termasuk ASEAN, untuk terus berdiskusi soal keberlanjutan C-188.

Ketua Tim 9, Syofyan yang merupakan Sekjen Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI) berharap kepada semua negara anggota ASEAN untuk dapat segera meratifikasi C-188 demi pelindungan nelayan migran.

“Saya punya mimpi semua negara anggota ASEAN meratifikasi C-188 dan bekerja sama melindungi nelayan migran,” kata Syofyan.

Tim 9 baru saja merampungkan laporan berjudul “Rekomendasi untuk Akselerasi Peta Jalan Ratifikasi Konvensi Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, 2007 (C-188)”.

Laporan tersebut berisi sembilan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia mempercepat pembahasan peta jalan untuk meratifikasi konvensi itu.

Sejak dirampungkan pada April lalu, laporan itu telah dikirim ke Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, dan sejumlah pemerintah daerah.

Sebelumnya, pada 2021, tiga organisasi ini bersama 19 organisasi masyarakat sipil lainnya menyerahkan laporan lainnya ke Sekretariat ASEAN berjudul “Kertas Arah atas Ratifikasi dan Implementasi Konvensi ILO 188 untuk Negara-Negara Anggota ASEAN”.***

Baca juga: Anak Ceritakan Ayahnya Menjadi Awak Kapal Perikanan (AKP) yang Jadi Korban Perbudakan Modern di Laut

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan