Bangkit (Rise Up) – Chapter 1: Cerita Pak Edy Lelaki Paruh Baya dan Jam Tangan Merek Alba

Rusmaidi Ramlan, seorang nelayan dan juga pekerja buruh bangunan yang selamat dari gelombang Tsunami Aceh 2004 lalu, mampu menolong anak-anak di tengah laut saat ia terhempas gelombang Tsunami, namun ia harus kehilangan anaknya sendiri.

Dalam film Bangkit – Rise Up yang diproduksi oleh Literasi Visual, sosok Rusmaidi Ramlan atau akrab disapa Edy, adalah sosok lelaki kuat yang mampu bangkit dari keterpurukannya

Film semi dokumenter yang menampilkan beberapa saksi korban tsunami Aceh 2004 lalu, yang kini sudah bangkit dan tumbuh menjadi orang-orang yang hebat.

bangkit
Rusmaidi Ramlan atau akrab disapa Edy sedang menceritakan kondisi rumanya. / Foto: Dok Literasi Visual

Sedihnya, sendirian terapung ditengah laut, baju tidak ada hanya memakai celana, hanya sepotong celana training dan sebuah jam tangan yang melekat di tubuh, kenang Edy.

“Jam itu, iya jam tersebut masih ada,” terangnya.

Walaupun saya bercerita seperti ini, saya tidak sedih, cuma berharap pengalaman ini bisa kita ambil iktibarnya, kata Edy sambil memperlihatkan wajah yang sedikit murung.

Saat banyak orang masih tidak rela kehilangan keluarganya, dengan alasan begini dan begitu, tapi bukan gitu, terangnya.

Edy hanya mengimbau agar kita selalu berdoa.

“Itu yang kita bisa, dan semoga dia yang telah meninggalkan kita, bisa tenang di alam sana,” katanya.

Duduk di sudut balai, tempat persinggahan para nelayan lokal yang berada di Gampong (Desa/Kelurahan) Alue Deah Teungoh, Edy lelaki paruh baya menceritakan kisahnya.

Kisah kelam yang juga banyak dialami oleh ribuan orang lainnya.

Pada pagi tanggal 26 Desember 2004 itu, pak edy sedang bersiap untuk pergi ke sebuah acara pesta salah seorang kerabat dekatnya.

“Saat itu, saya mau bersiap pergi, setelah selesai mandi bersiap berangkat, ke salah satu rumah kerabat saya di Gampong Ateuk Kabupaten Aceh Besar”

Namun, ia agak terlambat pergi, karena harus memastikan ternaknya.

“Saya ada ternak, beberapa ekor kambing dan ayam, sedangkan anak-anak sudah bersiap, ibunya pun sudah siap untuk berangkat”

Dan saat itulah bencana itu datang. Dengan pakaian yang melekat di badan, hanya memakai celana training, saat air tiba-tiba datang, Edy sempat merangkul dua anaknya.

“Saya sempat merangkul dua anak saya, mereka kembar dan duduk di kelas 5 SD saat itu, namun mereka tidak selamat, terlepas dari genggaman tangan saya saat di tengah lautan,”

Lalu Edy menerangkan kalau seluruh keluarganya habis semua, tiga orang anak istrinya ikut menjadi korban.

Sejenak ia terdiam dan terlihat sedikit murung. Suasana menjadi hening se saat… Tiba tiba ia menarik nafas dalam dan berujar.

“Sekarang udah nikah lagi dan sudah dikaruniai empat orang anak dan satu orang masih dalam kandungan,” katanya sambil berusaha tersenyum.

Menarik nafas sedikit dalam, lalu pak Edy kembali bercerita tentang bagaimana ia dapat selamat dan anak-anak yang telah ia diselamatkan nya.

Edy menagkui, kalau ia selamat berkat bantuan sebuah boat pukat yang ikut selamat di tengah laut.

“Saya minta bantuan mereka dengan berusaha melambai tangan ke mereka, dan mereka mendekat untuk menyelamatkan saya,”

Kondisinya saat itu, masih sanggup melambaikan tangan, dan minta pertolongan

Sebelum diselamatkan oleh boat pukat, ia terus berusaha mengapung dengan memanfaatkan kayu kayu ikut terbawa air ke tengah laut.

“Saat saya mencoba mengapai tumpukan kayu itu, saya tidak menyangka kalau sudah ada beberapa orang disitu,”

Ada anak-anak berumur sekitar umur 5 tahunan, ada juga dua orang tua, ibu-ibu dan bapak-bapak, kemudian mereka dibantu masukkan ke dalam boat sebelum dirinya.

“Saya terakhir dinaikan ke boat, diiringi dengan sujud syukur kepada Allah, dengan izinnya lah saya dan beberapa orang yang bersama saya bisa selamat,” ujarnya

Berhasil menepi di daerah Ujong Bate, kira-kira kalau dari daratan ke lokasi saya itu lebih kurang satu kilo setengah ke laut.

Saat itu, kelihatan begitu kosong, begitu rata, daratan yang nampak hanya Mesjid Raya baiturrahman, yang lainnya rata.

“Saat itu, saya meyakini kalau hanya masjid Rayalah satu-satunya rumah Allah yang masih tertinggal,” ujarnya.

Lalu Edy menuturkan kejadian yang dialaminya, tentang mereka yang telah diselamatkannya.

“Kalau yang saya selamatkan, tidak banyak juga,” katanya.

Edy menerangkan bahwa yang berhasil ia diselamatkan di laut itu ada empat orang, setelah itu di darat ada lima orang.

Salah satu alasan Edy menyelamatkan anak-anak adalah, karena sudah tidak diketahui lagi keberadaan orang tua anak-anak tersebut.

“Saat saya temukan, mereka sedang menangis-nangis, dan rata-rata umur mereka dibawah umur 6 tahun, masih TK lah,” ungkapnya.

“Kalau di lautan, yang paling kecil berumur sekitar 2 bulan setengah, ditemukan di atas badan ibunya yg meninggal, kemudian di dalam tumpukan kayu saya temukan sebanyak tiga orang lagi,”.

Edy memperihatkan bentanggan laut dari atas Bscape Building Gampong Alue Deah Tengoh. / Foto: Dok Literasi Visual

Diantara mereka sudah ada yang dapat berbicara dan mengatakan berasal dari Kuala dan anak Gampong Keudah, hal itu diketahui saat di boat nelayan yang telah menyelamatkan kami, sempat kami tanya informasi yang mungkin didapatkan.

“Walaupun saya terkena Tsunami, namun keadaan saya sehat bersama dengan orang yang menyelamatkan diri dalam sebuah boat nelayan, sehatnya gak hilang akal”

“Bukan bermaksud untuk bilang orang lain gak sehat,” ujarnya sambil tersenyum sendiri.

Edy masih dapat mengidentifikasi, siapa ini? dimana ini? dan masih mengingat semuanya

Alhamdulillah, saya tidak panik.

Edy juga sempat mengantar beberapa orang anak yang diselamatkannya ke  posko Seve The Children sebuah Ngo yang berkantor di Gampong Peuniti.

“Saya titip disitu,” katanya.

Sejak saat itu, sudah tidak pernah jumpa lagi dengan mereka.

“Tau pun tidak, dan hanya sekejap saja, saya tanyai dari mana, dan mereka tidak mampu menjawabnya, hanya bisa menangis, pada sorenya sekitar jam setengah 6, langsung saya antar,” katanya.

“Tidak saya tanyai lagi ibu dan bapak mereka kemana, dari mana dan tinggal dimana, karena tidak ada jawaban, terpaksa saya antar kesana”.

Bertemu dengan mereka, itu bukan tidak ada sebabnya, Edy menerangkan bahwa niat sebenarnya, ia sedang mencari sanak familynya yang juga menjadi korban Tsunami saat itu.

“Saya itu mencari istri, anak-anak dan saudara saya lainnya, sambil mencari berjalan tanpa arah, siapa yang jumpa saya tanyain, namun tidak juga bertemu dengan saudara-saudara saya,” kenangnya.

“Saya sangat bersyukurlah kepada Allah, karena bisa selamat dari Tsunami dan mudah-mudahan bisa berhasil dari cobaan ini,”

Edy juga menerangkan bahwa ia sempat mengungsi ke komplek Dolog, perbatasan Aceh Besar sekitar satu tahun, ke Medan, Jakarta, Lhokseumawe, Bireuen, dan balik ke kampungnya pada tahun 2010 silam.

“Tidak ada perlakuan khusus, saya kerja dan berkeluarga, sempat sekitar tiga tahun dikontrak oleh Save The Children,”

Beranjak dari duduknya, Edy lelaki paruh baya dengan keriput yang mulai menghiasi wajah dan kulitnya. Mengajak kami untuk menyambagi rumah nya saat ini sambil menunjukan sebuah jam tangannya yang ikut selamat bersamanya.

Membawa kami ke rumah barunya, pak Edy banyak bercerita tentang kondisi kampunya sebelum terjadi Tsunami tahun 2004 silam.

“Disini dulu adalah sebuah lapangan voli, dan di lokasi itu ada sebuah pohon Asam dan batangnya paling besar, dan disini adalah pos jaga,” terangnya sambil berjalan dengan tangan yang menunjukan kesebuah semak belukar.

“Namun semuanya telah hilang dibawa oleh tsunami,”

Sesampainya di rumah, Edy meminta kami untuk menunggu sejenak dan kembali sambil membawa sebuah jam tang using.

Sebuah Jam tertulis Alba terbungkus kaca yang terlihat pecah, jam tangan tersebut telah menjadi saksi sejarah Edy yang berusaha bangkit dari masa kelam sebagai penyintas Tsunami 2004 silam.

Dan saat ini pak Edy telah membangun keluarga barunya, beraktifitas sebagai nelayan lepas dan juga sebagai buruh bangunan, Edy hidup bahagia dengan empat orang anak-anaknya dari istri barunya.*** (Rat)

Bangkit | Rise Up

Editor: J. F. Sofyan

Foto Thumbnail: Dok Literasi Visual

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan